Tahun 1920-an adalah era ketika api pergerakan nasional mulai berkobar di Hindia Belanda. Di tengah arus perjuangan, berdirilah Jong Java, sebuah organisasi pemuda yang awalnya lebih peduli pada budaya ketimbang politik. Namun, roda sejarah berputar, dan organisasi ini tak bisa menghindar dari gelombang zaman.
Di Surabaya, sebuah kelompok radikal lahir—dikenal sebagai kaum merah—yang menolak diam dalam bayang-bayang kaum ningrat yang anggun dan hati-hati. Di tengah mereka, seorang pemuda bernama Soekarno muncul sebagai bintang paling bersinar, membawa ide-ide besar tentang nasionalisme, rakyat, dan perlawanan terhadap kolonialisme.
Jong Java: dari budaya ke perlawanan
Lahir dari rahim Tri Koro Dharmo pada 1915, Jong Java awalnya didirikan untuk melestarikan budaya Jawa. Mereka bercita-cita membentuk federasi Hindia yang kuat, tetapi tanpa menyentuh urusan politik. Sikap ini mirip dengan organisasi induknya, Budi Utomo, yang lebih memilih jalur diplomasi ketimbang konfrontasi.
Namun, zaman menuntut perubahan. Di kongres mereka pada 1919 di Yogyakarta, para anggota terpana ketika seorang tokoh komunis dengan lantang menyerukan, “Sudah saatnya Jong Java berdiri bersama kaum proletar melawan kapitalisme yang merugikan!”
Gelombang baru pun mulai terbentuk—terutama di cabang Surabaya.

Surabaya: basis radikal, sarang kaum merah
Jika Jakarta adalah pusat administrasi kolonial, maka Surabaya adalah jantung pergerakan rakyat. Di sinilah markas Sarekat Islam (SI) pimpinan Tjokroaminoto, dan juga tempat lahirnya Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV), cikal bakal Partai Komunis Indonesia.
Ketika Jong Java Cabang Surabaya berdiri pada 1 Februari 1920, organisasi ini tak hanya menjadi tempat berkumpul anak muda elite, tetapi juga berkembang menjadi pusat perdebatan ideologi. Soekarno, salah satu pemuda paling berpengaruh saat itu, ingin mengubah Jong Java dari sekadar klub anak sekolah Belanda menjadi organisasi politik yang berjuang untuk rakyat.
“Tidak mungkin bisa memimpin rakyat tanpa menyatu dengan mereka,” kata Soekarno.
Ia pun mulai memperkenalkan simbol perjuangan: peci hitam. Menurutnya, peci adalah identitas rakyat yang bisa menyatukan semua golongan dalam melawan kolonialisme.
Di cabang Surabaya, semangat perlawanan menyebar ke berbagai sekolah elite seperti HBS (Hogere Burger School)—tempat Soekarno menimba ilmu—juga MULO, BAS, dan MTS. Para pemuda di sini bukan sekadar murid yang patuh, tetapi pemberontak intelektual yang mulai mempertanyakan sikap lunak kaum tua.
Kaum merah vs kaum halus
Di Jong Java Cabang Surabaya, ada dua faksi yang bersaing: pertama, kaum merah, yang mewakili kelompok progresif dan ingin membawa Jong Java ke ranah politik. Yang kedua, kaum halus, yaitu kelompok konservatif yang lebih suka menjaga tradisi dan menjauhi hiruk-pikuk politik.
Konflik pecah berkali-kali. Salah satu kejadian paling seru terjadi pada Oktober 1920 saat Jong Java Surabaya berencana mengadakan pawai. Kaum merah ingin membuat acara yang lebih demokratis dan terbuka untuk rakyat, sementara kaum halus menolak karena menganggapnya tidak sesuai dengan martabat ningrat.
Tensi makin tinggi pada Desember 1920, ketika seorang anggota kaum merah, Soepardi (pelajar MULO), mengusulkan agar Jong Java masuk ke sekolah-sekolah rakyat. Ide ini ditentang oleh Taberani, tokoh dari kelompok halus, yang dianggap terlalu takut bertindak. Soepardi pun mencemoohnya:
“He, Tuan ‘Taberani’, tuan ini ternak atau manusia? Kalau manusia, tentu tuan harus mendukung aksi kita di sekolah!”
Tahun 1921, dalam sebuah pertemuan Jong Java. Sukarno menginginkan agar ceramahnya disampaikan dengan menggunakan bahasa Jawa-Dipa (Ngoko), bahasanya kaum pembaru. Soegito, selaku ketua sidang, melarang Sukarno menggunakan bahasa tersebut dan menganjurkan agar ceramah dilanjutkan dengan bahasa Belanda. Namun, Sukarno menolak menggunakan bahasa Belanda. Akhirnya, rapat itupun bubar disertai dengan teriakan-teriakan dan bunyi gamelan.
Sebulan kemudian, pertikaian kembali terjadi diantara kedua kubu. Soekarno dan kalangan anggota merah mengusulkan agar keanggotaan Jong Java diperluas pada sekolah-sekolah menengah dan lanjutan, termasuk yang tidak menggunakan bahasa Belanda. Selain itu, kalangan merah menginginkan agar surat kabar Jong Java menggunakan bahasa melayu, bukan bahasa belanda. Mereka juga mengusulkan agar bahasa melayu diperbolehkan dipergunakan dalam rapat-rapat. Kelompok konservatif (halus) menolak keseluruhan gagasan ini.

Puncaknya terjadi pada 1921, saat Soekarno dan kelompok radikalnya menantang dominasi kaum konservatif dalam Kongres Jong Java ke-4 di Bandung. Di forum besar ini, Sukarno mendesak peserta kongres untuk berbicara mengenai penderitaan rakyat dan “kapitalisme yang terkutuk”. Ia juga mengusulkan agar bahasa Djawa-dipa dipergunakan sebagai bahasa resmi. Demi menguatkan argumentasinya, Sukarno mengutip semboyan terkenal revolusi Perancis: ,” dan telah memperkuat argumentasinya dengan mengutip slogan revolusi Perancis: “Kemerdekaan, Persamaan, dan Persaudaraan”.
Semboyan Revolusi Prancis itumengguncang kongres. Namun, kubu konservatif tak tinggal diam. Basoeki dan Soepomo, pemimpin dari cabang Batavia, membalas dengan slogan khas teosofi Belanda:
“Kepala yang dingin dan hati yang gembira.”
Debat berlangsung panas. Semaun, tokoh komunis yang hadir sebagai wartawan, dengan sinis mencibir kelompok konservatif sebagai “pers putih/kanan”, yang hanya bisa bertepuk tangan menyambut pidato kaum tua tanpa berani bertindak.
Namun, sejarah sudah berpihak. Kaum merah menang!
Jong Java dan awal kebangkitan politik pemuda
Kemenangan kubu radikal ini menandai peralihan Jong Java dari organisasi budaya menjadi organisasi yang lebih terbuka terhadap politik. Bahkan, surat kabar resmi Jong Java akhirnya setuju untuk menggunakan bahasa Melayu, bukan Belanda—sesuatu yang sebelumnya dianggap mustahil.
Dari sinilah, pemuda-pemuda yang kelak menjadi tokoh nasional mulai menempa diri. Soekarno, yang baru saja merasakan manisnya kemenangan ideologis, semakin percaya diri untuk melangkah lebih jauh dalam politik.
Tahun 1929, Jong Java akhirnya melebur ke dalam Indonesia Moeda, organisasi yang lebih tegas dalam memperjuangkan nasionalisme.
Dari percikan api di Surabaya inilah, semangat perlawanan terus berkobar, membawa Indonesia ke jalan panjang menuju kemerdekaan.