Ketimpangan kekayaan adalah salah satu tantangan terbesar di zaman kita, namun analisis kelas–yang merupakan pilar fundamental dalam sosiologi–justru sedikit sekali membahas tema ini. Dengan mempertimbangkan hal ini, Nora Waitkus mengeksplorasi bagaimana Marx, Weber, dan Bourdieu masing-masing dapat menawarkan cara menarik untuk melihat ketimpangan kekayaan dengan lebih bernuansa.
Selama ini, teori kelas biasanya fokus pada kekuatan ekonomi dan struktur sosial. Tetapi, pembahasan umum tentang ketimpangan kekayaan seringkali menyederhanakannya menjadi sekadar pembagian kekayaan secara satu dimensi, misalnya dengan menyebut statistik tentang “1 persen orang terkaya”.
Dalam sebuah tulisan bersama Mike Savage dan Maren Toft, saya membahas bagaimana kita bisa memakai pendekatan berbasis kelas untuk memahami ketimpangan kekayaan. Jadi, alih-alih melihat kekayaan hanya sebagai tumpukan aset (harta atau barang berharga), pendekatan ini membantu kita menganalisis struktur, hubungan kekuasaan, dan dinamika sosial yang mendasari proses mengumpulkan dan membagikan kekayaan tersebut. Berbagai pendekatan sosiologis, dari aliran Marx, Weber, hingga Bourdieu, bisa memberikan alat bantu penting untuk melihat ketimpangan ini dengan lebih lengkap.
Pemikiran Marx: Kepemilikan, eksploitasi, dan “kelas pemilik modal”
Analisis Marx mendefinisikan kelas berdasarkan hubungan seseorang dengan alat produksi (alat atau sarana untuk menghasilkan barang dan jasa) – apakah seseorang memiliki modal produktif atau harus menjual tenaga kerja untuk bertahan hidup.
Dalam kerangka ini, ketimpangan kekayaan bukan sekadar soal perbedaan angka dalam kepemilikan aset, tetapi soal struktur kekuasaan yang membuat kelas penguasa bisa mengambil nilai lebih dari para pekerja.

Contohnya, di pabrik, pemilik pabrik bisa untung dengan membayar pekerja lebih murah daripada nilai barang yang mereka hasilkan. Marx menyebut ini sebagai “nilai lebih” (surplus value). Hal yang mirip juga terjadi di ekonomi digital seperti ojek online, di mana perusahaan besar memakai jasa mitra pengemudi yang harus menanggung biaya sendiri, sementara perusahaan tetap mendapat keuntungan besar. Ini menunjukkan bahwa ketimpangan kekayaan diperkuat oleh sistem eksploitasi (pemanfaatan secara tidak adil) yang tertanam dalam sistem kapitalisme (sistem ekonomi berbasis keuntungan dan kepemilikan pribadi).
Dari sudut pandang ini, kepemilikan rumah oleh individu sering dianggap kurang penting dibandingkan relasi kelas. Namun, jika dilihat dari lensa Marx yang lebih dalam, kita bisa melihat bahwa kepemilikan rumah oleh perusahaan besar – seperti perusahaan investasi properti, dana lindung nilai (hedge funds), dan lembaga keuangan lain – menciptakan bentuk eksploitasi baru. Pasar perumahan, yang didorong oleh perilaku mencari untung dari sewa (rent-seeking), gentrifikasi (penggusuran dan perubahan kawasan oleh kelompok lebih kaya), dan gelembung spekulatif (kenaikan harga tak wajar), menjadi alat untuk mengeruk kekayaan – menguntungkan pemilik modal dan menyusahkan penyewa dari kelas pekerja.
Fleksibilitas Weber: Situasi pasar dan kelas berbasis aset
Sosiolog klasik Max Weber menawarkan cara pandang yang lebih fleksibel dalam memahami kekayaan, karena ia mendefinisikan kelas sebagai “situasi pasar” – artinya, kelas ditentukan oleh akses seseorang terhadap sumber daya ekonomi, termasuk tempat tinggal dan modal keuangan.
Dalam pandangan ini, kekayaan sangat menentukan peluang hidup seseorang, karena hal ini memengaruhi kemampuan mereka untuk bergerak di pasar dan memperoleh keuntungan lain.

Dengan cara ini, kita bisa melihat bahwa rumah bukan sekadar barang, tetapi faktor penting yang membedakan kelas sosial. Menurut sosiolog masa kini seperti Lisa Adkins, aset perumahan sekarang menjadi penentu utama dalam menentukan peluang hidup, seperti akses ke kredit, mobilitas sosial (kemampuan naik kelas), dan keamanan keuangan.
Walaupun pendekatan berbasis aset tidak bisa sepenuhnya menggantikan pendekatan berbasis pekerjaan, menggabungkan keduanya akan memberi pemahaman yang lebih lengkap tentang ketimpangan zaman sekarang.
Pandangan Bourdieu: Kekayaan sebagai praktik sosial dan budaya
Sosiolog Prancis Pierre Bourdieu sangat berpengaruh dalam studi kelas sosial. Ia sering dikenal karena gagasannya tentang modal budaya (cultural capital – pengetahuan, kebiasaan, dan selera yang diwariskan dari keluarga dan mendukung posisi sosial seseorang). Tapi ia juga memberikan pandangan penting tentang kekayaan yang punya dimensi sosial dan budaya yang kuat.

Konsep Bourdieu tentang berbagai bentuk modal budaya bisa membantu kita memahami juga berbagai bentuk modal ekonomi (economic capital – segala bentuk kekayaan dan harta yang dimiliki), dan bagaimana proses mengumpulkan kekayaan sangat terikat pada struktur sosial yang lebih luas. Berikut tiga contohnya:
Pertama, modal ekonomi yang dilembagakan, yaitu sistem hukum dan keuangan yang mengatur hak milik, warisan, dan praktik investasi membantu mempertahankan perbedaan kekayaan antar generasi.
Kedua, modal ekonomi yang berwujud, yaitu kekayaan bisa muncul dalam bentuk nyata seperti rumah, barang mewah, dan investasi keuangan. Barang-barang ini bukan cuma punya nilai uang, tapi juga memberi status sosial dan pengaruh.
Ketiga, modal ekonomi yang tertanam dalam diri, yaitu kebiasaan, pengetahuan, dan cara berpikir yang dibentuk seseorang tentang kegiatan ekonomi akan memengaruhi bagaimana mereka mengelola dan mengembangkan kekayaan. Kemampuan memahami keuangan (literasi finansial) dan akses ke jaringan elit ikut memperkuat kesenjangan antar kelas.
Pendekatan Bourdieu menekankan bahwa ketimpangan kekayaan bukan cuma soal angka – tapi juga tentang cara kekayaan itu ditanam, dijaga, dan diwariskan melalui kebiasaan sosial dan budaya. Dengan kata lain, kebiasaan finansial, sikap terhadap risiko, dan warisan antar generasi ikut memperkuat keunggulan kelas atas dan mempertahankan hierarki sosial.
Lebih dari sekadar “Top 1 Persen”
Terakhir, jika kita memakai pendekatan berbasis kelas untuk melihat kekayaan, kita bisa memahami juga ketimpangan kekayaan yang berkaitan dengan ras dan gender (jenis kelamin sosial).
Secara sejarah, kapitalisme rasial (racial capitalism – sistem ekonomi yang memanfaatkan perbedaan rasial untuk keuntungan) telah memainkan peran penting dalam mengatur kepemilikan properti dan pengumpulan kekayaan berdasarkan garis ras. Warisan perbudakan, kolonialisme, dan kebijakan diskriminatif seperti redlining (praktik menolak layanan perbankan ke wilayah tertentu berdasarkan komposisi ras) dan pinjaman predator telah menciptakan jurang kekayaan yang terus ada hingga sekarang.
Peneliti seperti W.E.B. Du Bois menunjukkan bahwa pemisahan rasial dalam perumahan dan pekerjaan bukan sekadar diskriminasi, tapi juga cara sistematis untuk mengeruk kekayaan yang menguntungkan kelas dominan.
Begitu juga dalam analisis berbasis gender, kita bisa melihat bahwa pengumpulan kekayaan sangat dipengaruhi oleh struktur keluarga dan rumah tangga. Sistem warisan yang dikuasai laki-laki, keputusan keuangan yang didominasi pria, dan kontrol aset oleh laki-laki memperkuat ketimpangan berbasis gender.
Perempuan, terutama di kalangan ekonomi atas, sering mewarisi kekayaan yang nilainya lebih kecil daripada laki-laki dan menghadapi hambatan sistemik dalam proses mewariskan kekayaan. Perceraian dan tanggung jawab mengurus keluarga juga memperparah kesenjangan kekayaan perempuan dalam jangka panjang.
Dengan kembali ke akar-akar disiplin sosiologi, sambil tetap terbuka pada pandangan yang inklusif dan memperhatikan banyak sisi (intersectionality – pendekatan yang melihat bagaimana berbagai identitas seperti ras, gender, dan kelas saling berhubungan), kita bisa memakai analisis kelas yang fleksibel untuk menjawab masalah ketimpangan kekayaan abad ke-21.
Analisis kelas modern punya potensi besar untuk mengatasi ketimpangan ekonomi tanpa mengabaikan bentuk-bentuk ketimpangan lainnya, dan membuka jalan menuju masa depan riset sosiologi yang lebih cerah.
Nora Waitkus adalah Profesor Sosiologi di Max Weber Institute, Universitas Heidelberg, serta Asisten Profesor Peneliti di International Inequalities Institute, London School of Economics (LSE). Ia meneliti tentang stratifikasi sosial-ekonomi dalam masyarakat kapitalis modern, serta faktor-faktor institusional yang memengaruhi ketimpangan dan konsentrasi kekayaan. Minat penelitiannya mencakup berbagai tema seperti kelas sosial, perumahan, elite, opini publik, dan proses akumulasi kekayaan. Karya-karyanya telah diterbitkan di jurnal akademik bergengsi seperti American Sociological Review, Sociology, Socius, dan Feminist Economics.