Mewaspadai Indonesia Menuju Otoritarianisme

Cuitan doktor ilmu politik Yoes Kenawas di platform X, beberapa waktu lalu, menyentak perhatian saya. Ia menyatakan para ahli melihat Indonesia bukan lagi negara demokrasi, melainkan “competitive authoritarianism”.

Istilah competitive authoritarianism pertama kali muncul dalam sebuah artikel “The Rise of Competitive Authoritarianism”, besutan Steven Levitsky dan Lucan Way pada 2002. Kemudian konsep itu dibahas lebih dalam di buku “How Democracies Die” karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018).

Dalam “How Democracies Die”, Levitsky yang seorang profesor ilmu politik di Universitas Harvard bersama Ziblatt, memperluas konsep ini dan membahas bagaimana competitive authoritarianism dapat menjadi salah satu cara bagi pemerintah otoritarian untuk mempertahankan kekuasaannya, serta melemahkan demokrasi.

Memperhatikan situasi politik nasional dewasa ini, sepertinya analisis Levitsky dan Zibatt sangat relevan. Pelbagai kejadian politik berlangsung mengiringi pergantian kepemimpinan nasional dari Joko Widodo (Jokowi) ke tangan Prabowo.

Beberapa fakta yang relevan untuk membuktikan competitive authoritarianism berlangsung di Indonesia, antara lain:

Pertama, pemilihan umum diselenggarakan dengan lancar tetapi diwarnai kasus kecurangan dan manipulasi. Mulai dari proses seleksi peserta pemilu di mana banyak partai dan caleg yang terjegal aturan, proses pencalonan capres-cawapres yang kontroversial hingga pelaksanaan yang melibatkan aparat negara dan lain sebagainya.

Kedua, keterlibatan warga negara dalam proses politik “bebas”, tapi banyak batasan dan hambatan dalam berbagai bentuk. Perubahan-perubahan dalam sistem pemilihan umum juga dapat membatasi partisipasi dan persaingan politik.

Ketiga, lemahnya institusi-institusi demokratis, seperti partai politik, KPU, Bawaslu, DPR, MA dan MK, dalam menjalankan perannya salama proses demokrasi dan akuntabilitas penyelenggara negara. Ini diperparah lagi dengan adanya keterlibatan unsur aparat negara yang tidak netral dan berpihak pada salah satu peserta pemilu.

Keempat, penggunaan kekuasaan oleh negara untuk mengontrol dan membatasi pihak-pihak yang dianggap sebagai oposisi dan pengkritik.

Kelima, adanya aturan baru dan beberapa perubahan atas aturan perundangan-undangan yang dapat membuat Indonesia lebih dekat dengan konsep competitive authoritarianisme, seperti penggunaan UU ITE untuk mengontrol dan membatasi kebebasan berekspresi di internet. Penggunaan kekuasaan untuk mengontrol dan membatasi oposisi dan kritik, juga terasa menguat. Pada saat yang sama perilaku elite politik yang arogan, dan menciptakan kultus kekuasaan pada lingkaran kecil elite dan oligarki, terlihat semakin nyata.

Competitive authoritarianism dapat menjadi awal dari autoritarianisme mutlak. Pemerintah yang mempraktikan competitive authoritarianisme dapat secara bertahap meningkatkan kontrolnya atas masyarakat dan institusi-institusi demokratis, sehingga mengarah pada autoritarianisme mutlak.

Kekhawatiran itu semakin besar dengan adanya revisi UU TNI yang akan diikuti oleh revisi UU Polri dan revisi UU Kejaksaan, serta teror kepada media massa. Ditambah lagi intervensi negara pada lembaga akademik dengan berbagai cara.

Tidak ada jalan lain, mahasiswa dan seluruh elemen rakyat harus bersiap mencegah terjadinya otoritarianisme di negeri ini.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Kisah Socrates Melawan Rezim Militer Lewat Sepak Bola

Kisah Socrates Melawan Rezim Militer Lewat Sepak Bola

Sepanjang karier profesionalnya yang merentang dari 1974 hingga 1989, Socrates

Next
Kisah Kaum Merah di Jong Java Surabaya

Kisah Kaum Merah di Jong Java Surabaya

Di Surabaya, sebuah kelompok radikal lahir—dikenal sebagai kaum merah—yang

You May Also Like
Total
0
Share