Sukarno dan Kenangan di Ende

Sukarno dan Ende tidak bisa dipisahkan. Ya, pemimpin revolusi Indonesia itu pernah dibuang selama lima tahun di pulau tersebut. Tepatnya, dari 1934 hingga 1938. Jejak perjuangan dan pikiran Sukarno juga masih membekas abadi di pulau itu.

Saat dibuang ke Pulau Bunga itu, jumlah penduduknya baru 5.000-an orang. Sebagian besar bekerja sebagai nelayan. Sisanya adalah petani kelapa dan petani biasa. Jumlah pegawai bisa dihitung jari.

Sukarno dan keluarganya ditempatkan di sebuah kampung bernama Ambugaga. Di kampung yang cukup terpencil itu, Sukarno menempati sebuah rumah sederhana berukuran sekitar 12 X 9 meter. Rumah itu hanya memiliki dua kamar tidur.

Baru sampai di Ende, Sukarno kehilangan mertuanya. Ibu Amsi, nama mertuanya, meninggal di pangkuannya. Di tengah keterasingan, juga belum akrab dengan warga setempat, Sukarno sendiri yang mengantar mertuanya itu ke makam dan menguburkannya.

Awal-awal kedatangannya, Sukarno bak manusia asing di pulau itu. Ditambah lagi, ada provokasi Belanda yang berusaha menjauhkan Sukarno dengan rakyat setempat. Sukarno, seorang pemberontak dan musuh Belanda nomor wahid, tentu manusia berbahaya. Sementara bagi Sukarno, seorang yang suka dengan kumpulan massa, pekik, dan agitasi, terasing dari massa adalah tekanan psikologis.

Sukarno dan keluarga di depan rumahnya di Ende. Kredit foto: Wikipedia

Beruntungnya, Sukarno tak mudah patah. Ia segera menyadari bahwa kawannya adalah rakyat jelata. Sukarno membentuk masyarakatnya sendiri, dengan para pemetik kelapa, sopir, dan pemuda menganggur. Orang pertama yang dikenal Sukarno adalah seorang nelayan bernama Kota.

Sukarno mengajak Kota ke rumahnya. Kota tak datang sendiri, tapi mengajak temannya, Darham, seorang tukang jahit. Setelah dikunjungi, Sukarno pun membalas kunjungan dua kawan barunya itu.

Di Ende, untuk membunuh rasa sepi, Sukarno banyak menghabiskan waktu dengan menulis sandiwara. Ada 12 judul sandiwara yang dibuatnya dari tahun 1934 hingga 1938. Karya pertamanya, Dokter Setan, terinspirasi oleh Frankenstein. Karyanya yang lain adalah Rendo, Rahasia Kelimutu, Jula Gubi, KutKutbi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, Aero Dinamit, Nggera Ende, Amoek, Rahasia Kelimutu II, Sang Hai Rumba, dan 1945.

Selain itu, untuk mementaskan karyanya, ia membentuk kelompok sandiwara bernama “Kalimutu”, nama danau dengan warna indah di Flores. Sukarno menjadi sutradaranya. Para pemainnya adalah anak-anak setempat, yang terkadang belum bisa berbahasa Indonesia.

Setiap malam, di bawah pohon rimbun, ditemani sinar rembulan, kelompok sandiwara asuhan Sukarno ini berlatih. Sebagian besar anggotanya adalah laki-laki. Maklum, selain terkungkung oleh aturan, sebagian perempuan itu takut dengan Sukarno. Karena itu, hampir tidak ada lakon perempuan dalam sandiwaranya. Kalaupun ada lakon perempuan, maka itu dimainkan oleh laki-laki.

Untuk tempat pentas, Sukarno meminjam sebuah gudang gereja. Karcis untuk pementasan dijual sendiri oleh Sukarno. Setiap pementasan membutuhkan waktu tiga hari dan dihadiri 500-an penonton. Orang-orang belanda pun terkadang beli karcis dan ikut menonton pementasan.

Untuk keperluan dekorasi panggung, Sukarno membuatnya sendiri. Ia kadang melukis gambar hutan atau istana sebagai latar panggung. Ia pula yang membuat iklan-iklan pentas dengan menggunakan kertas sederhana.

Setiap selesai pementasan, Sukarno membawa anggota “kru”-nya untuk makan bersama di rumahnya. Semua itu demi menyenangkan anggotanya. Keuntungan dari sandiwara ini dipakai untuk menopang kehidupan sehari-hari.

Sukarno berfoto bersama teman-temanya di rumah pengasingan Ende, 1936. Kredit foto: Wikipedia

Dari pementasan inilah Sukarno berkenalan dengan Riwu Ga, seorang pemuda Ende berusia 14 tahun, yang rela berjalan kaki 3 kilometer hanya untuk menonton pertunjukan Sukarno. Dengan membawa pisang, Riwu Ga bertanya kepada Soekarno tentang cara memotong kayu.

Riwu Ga punya jasa besar saat proklamasi kemerdekaan di Jakarta. Sukarno menugaskan Riwu Ga dan Sarwoko untuk mengabarkan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia di Jakarta. “Wo, kini giliran angalai (anda). Sebarkan pada penduduk Jakarta bahwa kita sudah merdeka. Bawa bendera!” kata Sukarno. Dari Pegangsaan Timur, Riwu Ga bersama Sarwoko sambil menumpangi jip terbuka bergerak ke Tanah Abang, Pasar Baru, Jatinegara, Pasar Ikan dan seluruh sudut Jakarta. Ia berteriak: Indonesia sudah merdeka!

Sukarno juga berkawan akrab dengan kelasi-kelasi kapal, khususnya yang orang-orang Indonesia. Hampir semua kelasi-kelasi itu bersimpati pada perjuangannya. Ketika Sukarno membutuhkan kelambu, maka kelasi menyelundupkan satu kelambu untuknya.

Suatu hari, seorang stokar kapal mengajak Sukarno melarikan diri. “Bung, katakanlah kepada kami,” kata stokar itu, “kami akan menyelundupkan Sukarno dan tidak akan ada yang tahu.”
Sukarno menolak dengan sopan ajakan berharga itu. Menurutnya, melarikan diri adalah tindakan sia-sia bagi seorang yang terbiasa bekerja legal. Kalaupun berhasil melarikan diri, Sukarno tentu gampang diciduk. Maklum, setiap ia tampil di tengah pergerakan, maka pihak kolonial akan segera menangkapnya.

Sukarno berpikir, jika dirinya tetap bertahan di pengasingan, setidaknya kaum marhaen tahu bagaimana pemimpinnya menderita demi cita-cita. Ia rela menjadi lambang dari pengorbanan rakyat untuk kemerdekaan.

Selama pembuangan di Ende, Sukarno sering menerima kiriman makanan, pakaian, dan uang dari kawan-kawannya di Jawa. Tapi, Sukarno tidak memakai semua kiriman-kiriman itu. Sebagian besar kiriman itu dikirimkan kembali ke kawan-kawannya yang lebih menderita di Digul, Papua. Sukarno adalah seorang pemimpin yang tak pernah surut menyalakan semangat perkawanan.

Begitulah, Ende yang semula dianggap penjara bagi Sukarno, justru menjadi “rumah pergerakan” Sukarno. Ende sangat melekat di hati Sukarno. Karenanya, lima tahun setelah Indonesia merdeka, tepatnya 1950, Sukarno menyempatkan diri untuk bernostalgia di Ende.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Lirik-lirik Perlawanan Tracy Chapman

Lirik-lirik Perlawanan Tracy Chapman

Ingatan masa kecil adalah monumen kehidupan yang sulit dirobohkan

Next
Mengenal Utang Najis: Konsep dan Implikasinya

Mengenal Utang Najis: Konsep dan Implikasinya

Hampir tidak ada negara di dunia ini yang terbebas dari utang

You May Also Like
Total
0
Share