Hampir tidak ada negara di dunia ini yang terbebas dari utang. Kita hanya mengecualikan negara kecil, seperti Makau (semi-merdeka), Brunei, dan Liechtenstein.
Utang merupakan konsekuensi dari belanja negara yang ekspansif dan penerimaan negara yang seret. Itu tidak masalah, asalkan pengelolaannya sehat dan produktif.
Namun, utang akan jadi masalah kalau dikelola secara tidak sehat dan tidak produktif. Ini, misalnya, kalau hanya jadi bancakan para politisi. Atau jika penggunannya tak memberi manfaat bagi kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Apalagi, kalau utang itu masuk dalam kategori utang tidak sah (illegitimate debt). Nah, kalau utang itu masuk kategori illegitimate debt tidak perlu dibayar oleh negara debitur.
Konsep utang najis (odious debt)
Konsep odious debt diperkenalkan oleh seorang ahli hukum Rusia, Alexander Nahum Sack, pada 1927.
Konsep ini merujuk pada rezim despotik yang berutang untuk memperkaya diri dan memperkuat rezimnya. “Utang ini najis bagi semua warga negara,” kata Sack.
Menurut Sack, utang itu tak boleh dibayar kalau: (1) pemberi utang mengetahui kondisi penerima utang, (2) utang itu tanpa persetujuan publik, dan (3) tidak memberi manfaat bagi warga negara.
Praktik utang najis
Meksiko merupakan negara pertama di dunia yang menolak membayar utang najis. Pada 1861, Presiden Meksiko Benito Juarez menolak membayar utang najis yang diwariskan oleh diktator Antonio Lopez de Santa Anna.
Pada 1898, ketika AS mengambilalih Kuba dari tangan Spanyol, Negeri Paman Sam itu menolak membayar utang warisan kolonialis Spanyol. Argumentasinya: utang itu tanpa persetujuan rakyat Kuba.
Pada 1919, perjanjian Versailles membatalkan utang Polandia yang diwariskan oleh penjajahan Jerman. Pada 1947, prinsip yang sama berlaku atas Etophia. Prancis tidak mau membayar utang warisan kolonialis Italia di Ethiopia.
Pada 1923, Kosta Rika membuat undang-undang yang membatalkan semua utang yang dipinjam oleh diktator Federico Tinoco dari Royal Bank of Canada (Bank Inggris).
Baru-baru ini, doktrin odious debt juga dipraktikkan di Rwanda, Irak, dan Nigeria.
Konteks Indonesia
Ada dua momentum utang Indonesia yang bisa dikategorikan odious debt.
Pertama, utang warisan kolonialisme Belanda. Untuk diketahui, berdasarkan kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB), pemerintah Indonesia diharuskan menanggung utang Belanda sebesar 4,5 miliar gulden atau USD 1,13 miliar. Utang itu merupakan uang yang dipinjam oleh Belanda dari berbagai pihak untuk membiayai agresi militer terhadap Indonesia.
Kedua, utang warisan rezim Orde Baru. Menurut pengakuan Bank Dunia, sebanyak 30 persen utang di masa Orde Baru masuk ke kantong pribadi Soeharto. Soeharto sendiri mewariskan utang sebesar 551,4 triliun (setara 57,7 persen PDB saat itu).