Beberapa hari lalu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) resmi mencabut Ketetapan (TAP) MPRS Nomor 33 Tahun 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Negara dari Presiden Soekarno.
TAP MPRS Nomor 33 Tahun 1967 lahir setelah MPRS, yang isinya tentara dan pengikut Orde Baru, menolak dua kali pidato pertanggungjawaban Sukarno di MPRS. Selain mencabut kekuasaan Sukarno, TAP MPRS tersebut juga mengaitkan Sukarno dengan peristiwa G30S/PKI.
Selain itu, TAP MPRS ini juga menjadi salah satu tonggak awal dari proyek besar Orde Baru untuk menghilangkan nama, pemikiran, dan jasa perjuangan Sukarno dalam ingatan masyarakat Indonesia. Proyek besar itu sering disebut dengan istilah Desukarnoisasi.
Desukarnoisasi adalah istilah untuk kebijakan rezim Orde Baru yang berusaha menghapus jejak perjuangan dan pemikiran Sukarno dalam pengetahuan maupun ingatan rakyat Indonesia.
Kebijakan ini dimulai sejak Orde Baru berhasil mengambilalih kekuasaan dari Sukarno pada pengujung 1966 dan mencapai puncaknya pada 1970-an.
Menghukum Sukarno
Setelah mengambilalih kekuasaan lewat kudeta merangkak, rezim Orde Baru lewat MPRS mengeluarkan putusan yang mendeligitimasi Sukarno: Tap MPRS Nomor XXXVIII/1966 tentang pencabutan kekuasaan Presiden Sukarno.
Selain mencabut mandat kekuasaan Sukarno, Tap MPRS itu juga melarang Sukarno melakukan kegiatan politik untuk jangka waktu hingga pemilu.
Setelah kekuasaan dicabut, pada 16 Agutus 1967, Sukarno dipaksa meningalkan Istana. Awalnya Sukarno ditempatkan di Istana Bogor tanpa ruang gerak yang bebas.
Lalu, pada 10 Desember 1967, Sukarno dipindahkan ke Wisma Yaso. Sukarno seperti menjalani tahanan rumah. Ruang geraknya dibatasi dan dilarang berhubungan dengan dunia luar. Bahkan, ketika sakit, proklamator kemerdekaan ini tidak mendapat perawatan kesehatan yang layak.
Memanipulasi sejarah Pancasila
Orde baru berjuang keras untuk memisahkan Sukarno dan Pancasila. Tonggak pertamanya, pada 1970, Kopkamtib melarang peringatan Hari Lahirnya Pancasila pada setiap 1 Juni.
Pada 1971, Nugroho Notosusanto, ideolog terkemuka Orde Baru, menerbitkan buku berjudul Naskah Proklamasi Otentik dan Rumusan Pancasila yang Otentik. Buku itu mulai mengaburkan peran Sukarno sebagai penemu/penggali Pancasila.
Nugroho mulai memunculkan klaim bahwa Sukarno bukan penemu Pancasila, melainkan Mohammad Yamin.
Selain itu, Nugroho juga mengajukan klaim bahwa rumusan Pancasila yang paling otentik adalah rumusan tanggal 18 Agustus 1945, yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Pada 1984, dalam buku “Pejuang dan Prajurit” karya Nugroho Notosusanto, wajah Sukarno tidak tampak dalam foto pengibaran bendera merah-putih saat proklamasi kemerdekaan.
Menghapus jejak Sukarno
Upaya menghapus Sukarno dalam ingatan rakyat Indonesia lainnya adalah mengganti penamaan sejumlah tempat atau bangunan yang menggunakan nama Sukarno.
Stadion Gelora Bung Karno diubah menjadi Stadion Utama Senayan, Jembatan Bung Karno diubah menjadi Jembatan Ampera, Kota Soekarnopura diubah namanya menjadi Jayapura, dan Puncak Soekarno diubah namanya menjadi Puncak Jaya.
Melucuti ajaran Sukarno
Pada 5 Juli 1955, MPRS menerbitkan TAP MPRS nomor XXVI/1966 tentang pembentukan panitia peneliti ajaran-ajaran pemimpin besar revolusi Sukarno. Intinya, panitia ini hendak melucuti ajaran Sukarno yang dianggap terpapar oleh marxisme dan komunisme.
Soegiarso Soerojo, seorang perwira intelijen di masa Orba, dalam bukunya “Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai” menyebut Marhaen akronim dari Marx, Hegel, dan Engels. Dengan label itu, marhaenisme hendak ditekan layaknya marxisme.