Tahun 1990-an, dalam materi pengajaran sejarah Orde Baru, kita diberitahu bahwa bambu runcing menjadi senjata penting dalam perjuangan kemerdekaan.
Hampir semua film-film berlatar perang kemerdekaan juga banyak yang menyelipkan adegan pejuang bersenjatakan bambu runcing. Bahkan film yang diproduksi oleh Jepang, Merdeka 17805, juga menyelipkan scene pasukan gerilya bersenjatakan bambu runcing.
Bermula dari zaman Jepang, bambu runcing bertambah fungsi dari sekadar pagar dan bahan bangunan menjadi senjata peperangan. Saat itu, Jepang yang terdesak di pengujung perang dunia ke-II berusaha melibatkan rakyat untuk melawan potensi serangan sekutu.
Di tangan tentara Jepang, bambu diruncingkan dan diberi nama takeyari. Skenarionya, ketika pasukan terjun payung sekutu mendarat, maka milisi rakyat menyerbu dengan bambu runcing, mirip dengan senjata yang moncongnya dipasangi pisau belati atau sangkur.

Tahun 1945, usai bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Belanda tetap ngotot mereklaim wilayah Indonesia sebagai jajahannya. Secara sukarela, rakyat mengorganisir diri untuk mempertahankan kemerdekaan. Karena itu, selain Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai alat pertahanan keamanan yang resmi, menjamur laskar-laskar rakyat.
Sayangnya, karena keterbatasan persenjataan, banyak laskar yang bersenjatakan bambu runcing. Di daerah Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, seorang ulama kharismatik bernama Kyai Subchi mendirikan laskar rakyat bernama Barisan Muslimin Temanggung (BMT) pada 30 Oktober 1945.
Yang menarik, dalam nuansa realisme magis, sebelum dipergunakan di medan perang, bambu runcing disepuh dengan doa oleh para kyai. Banyak yang percaya dengan tradisi ini. Konon, laskar-laskar kiri, seperti Barisan Rakyatnya dr Mawardi hingga Pesindo rajin mengunjungi Kyai Subchi untuk mendapatkan barokah.
Jelang palagan pertempuran 10 November 1945, bambu runcing mulai dipergunakan, terutama saat penyerbuan untuk perebutan senjata milik Jepang. Di Museum Sepuluh November, ada patung pejuang dengan bambu runcing.
Soal kiprah bambu runcing dalam perang kemerdekaan, memang ada bumbu-bumbu heroisme yang ditaburkan dalam racikan sejarah Orde Baru maupun film-film.
Sejarawan dari Universitas Indonesia, Andi Achdian, mengatakan, penggunaan bambu runcing tak terhindarkan karena keterbatasan senjata modern kala itu. Namun, penggunaannya jarang untuk pertempuran langsung, tetapi pada aksi perebutan senjata.
Menurutnya, penggunaan bambu runcing lebih kepada simbol untuk membangkitkan semangat rakyat melawan penjajah Belanda. “Jadi dibuat citra bahwa ini adalah satu perang rakyat, keterlibatan rakyat, lebih melayani simbol dibanding perang terbuka karena enggak mungkinlah bambu runcing melawan senjata modern,” katanya, seperti dikutip CNN Indonesia dalam artikel “Cerita Bambu Runcing dan Simbol Digdaya Senjata Perjuangan”, 17 Agustus 2019.

Jenderal Besar AH Nasution, yang pada saat revolusi menjabat sebagai Panglima Divisi Siliwangi dan Wakil Panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR), menyebut narasi bambu runcing di masa revolusi sebagai “setengah mitos”.
“Di minggu-minggu pertama merdeka, maka rakyat dengan bambu runcing seakan-akan pagar betis dan menjadi kekuatan untuk memaksa pejabat di kantor, lingkungan, pabrik, dan lain-lain agar taat kepada RI. Tapi, pada pertempuran riil, bambu runcing itu lebih banyak jadi senjata semangat,” kata Jenderal Nasution dalam Bisikan Nurani Seorang Jenderal (1997).
Namun, terlepas dari narasi “setengah mitos” itu, bambu runcing punya andil besar dalam revolusi Indonesia.
Indonesia, negeri yang memiliki 176 atau 10 persen jenis dari 1600-an jenis bambu di dunia, menerima manfaat ekologis dan ekonomis bambu yang terus berlipat-ganda. Bambu menjaga ekosistem air, mencegah erosi, dan menyerap karbon dioksida. Bambu juga bermanfaat untuk beragam konstruksi, dari rumah, jembatan, pagar, dan lain-lain. Bambu juga bisa memperkaya industri kerajinan kita.
Hari-hari ini, jelang 80 tahun usia kemerdekaan kita, bambu bertemu ironi sejarah. Sebuah pagar laut, yang berupa patok-patok bambu, membentang sepanjang 30,16 kilometer di laut Tangerang.
Ironisnya, meski membentang sejauh 30 kilometer, nyaris menyamai jarak Jakarta Pusat ke Cileungsi di Bogor, hampir tak ada pejabat yang mengetahuinya kalau tak viral di media sosial terlebih dahulu.
Para pejabat, dari tingkat menteri hingga perangkat desa, semua menggelengkan kepala ketika ditanya siapa yang menjadi aktor pemasangan pagar bambu itu.
Belakangan terkuak, wilayah perairan yang sudah terpatok itu memiliki surat hak guna bangunan (SHGB) dan surat hak milik (SHM). Ada dua perusahaan yang disebut memiliki bidang tanah di area pagar laut itu, yakni PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa.
Menariknya, dua perusahaan itu terafiliasi dengan Agung Sedayu Group (ASG), sebuah kerajaan bisnis yang dikendalikan oleh keluarga konglomerat Sugianto Kusuma alias Aguan.
Bersama Salim Group, Agung Sedayu Group mengembangkan kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, yang bersebelahan dengan titik awal pagar laut di Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang.
Tak jauh dari pagar laut itu, Agung Sedayu Group juga bermaksud membangun PIK Tropical Coastland, yang telah masuk daftar proyek strategis nasional (PSN) sejak Maret 2024.
Menurut Menteri ATR/BPN Nusron Wahid, SHGB dan SHM sekitar pagar laut itu terbit pada 2023. Saat itu, Kementerian ATR/BPN dipimpin oleh Hadi Tjahjanto selaku Menteri dan Raja Juli Antoni sebagai Wakil Menteri.
Lucunya, pejabat-pejabat mengaku tak mengetahui perihal penerbitan sertifikat itu. Bahkan, Menteri ATR/BPN penggantinya, Agus Harimurti Yudhoyono, juga mengaku tak tahu menahu.
Meskipun Presiden Prabowo sudah memerintahkan TNI AL untuk membongkar pagar laut itu, tetapi aktor utama di balik pemagaran itu dan kepentingan ekonomi-politiknya belum tersingkap.
Entitas bisnis yang berkelindan dengan pagar laut itu pun sudah terendus. Selain itu, pejabat yang terkait langsung dan tidak langsung dengan pemberian izin juga harusnya bisa diendus, dari aparat terendah hingga menteri.
Tapi, ya, begitulah. Negara kita memang kerap tak berkutik ketika berhadap-hadapan dengan entitas bisnis. Apalagi, sudah sejak lama penyelenggaraan negara terjebak dalam “state capture”, sebuah istilah yang merujuk pada intervensi entitas bisnis dalam mempengaruhi kebijakan politik demi kepentingannya.
Laut yang dipagari oleh oligarki itu tak seberapa dibanding dengan UU yang dibegal oleh oligarki, dari revisi UU KPK, revisi UU Minerba, UU Cipta Kerja, hingga UU IKN.
Btw, sertifikat kawasan pagar laut dan UU pesanan oligarki terbit di era Presiden siapa, ya? Silahkan dijawab sendiri.
Menutup artikel ini, ucapan Sukarno lebih dari setengah abad yang lalu semakin relevan: “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Namun, perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”