Memberikan sambutan pada Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) XXII di Surakarta, 19 September 2024, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan untuk berhati-hati dengan ekonomi gig.
Pasalnya, ekonomi paruh waktu dan serabutan ini akan menjadi tren dengan kontrak jangka pendek. Selanjutnya, perusahaan lebih memilih pekerja freelancer untuk mengurangi risiko ketidakpastian global.
Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) melihat ekonomi gig sudah menjadi tren di Indonesia. Hal ini bisa dilihat secara gamblang pada pekerja platform pengemudi daring, seperti ojek online (ojol), taksi online (taksol), dan kurir.
Para pengemudi angkutan online ini bahkan tidak diakui sebagai pekerja, sebaliknya hanya diakui sebagai mitra. Kondisi ini menjadi lebih buruk karena tidak dipenuhinya hak-hak pekerja seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Hak yang terabaikan ini menjerumuskan para pekerja platform ke jurang ketidakpastian pendapatan dan kondisi kerja yang tidak layak.
Pendapatan pengemudi ojol, taksol dan kurir semakin menurun dari tahun ke tahun. Tiap hari penghasilannya tidak pasti. Kadang dapat orderan, kadang tidak sama sekali. Membawa pulang uang Rp 50 ribu ke rumah sudah sangat berat. Setiap bulan, rata-rata pendapatan yang diperoleh di bawah standar upah minimum.
Pendapatan yang tak menentu ini disebabkan sistem tarif yang merugikan pengemudi ojol dengan tarif murah dan potongan yang tinggi melebihi aturan pemerintah dengan batas maksimal 20 persen.
Selain itu masih diperparah dengan kendali algoritma platform yang tidak transparan disertai dengan skema prioritas order pekerjaan yang merugikan, tidak adil dan diskriminatif bagi pekerja.
Keselamatannya pun terancam di jalan raya karena harus bekerja dari pagi hingga malam. Bekerja lebih dari delapan jam kerja, mereka tidak mendapatkan upah lembur―yang mestinya bisa digunakan untuk menambal nafkah keluarga dan anak di rumah.
Waktu kerja yang panjang ini ibarat perbudakan di zaman modern. Tanpa jam istirahat dalam sehari, tidak ada hari istirahat dalam seminggu, apalagi mengharapkan cuti tahunan. Bagi pengemudi perempuan, kondisi ini semakin menindas karena ketiadaan cuti haid, melahirkan dan keguguran serta waktu untuk menyusui.
Belum lagi sanksi sepihak dari platform berupa suspend dan putus mitra yang merugikan pengemudi ojol, taksol dan kurir. Ini terjadi karena platform tidak mengakui adanya serikat pekerja akibat status hubungan kemitraan tersebut. Akibatnya, tidak ada mekanisme perundingan bersama dan perselisihan hubungan industrial untuk membela pekerja platform.
Saat ini, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan telah berinisiatif merancang Peraturan Menteri Ketenagakerjaan untuk perlindungan pekerja platform. Kami mendesak agar beleid ini segera disahkan. Segera tetapkan pekerja platform sebagai pekerja tetap (bukan mitra).
Momen ini penting untuk menyambut peringatan yang telah disampaikan Presiden Jokowi guna melindungi para pekerja platform dari bahaya ekonomi gig.
Lily Pujiati, Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI)