Jejak Gelap dan Berdarah Petrus 1983

Ramai gunjing tentang dirimu
Yang tak juga hinggap rasa jemu
Suram hari depanmu
Rasa was-was, mata beringas
Menunggu datang peluru yang panas
Di waktu hari naas

Lagu Sugali, yang diciptakan Iwan Fals pada 1984, adalah dokumentasi abadi terhadap salah satu operasi keamanan paling gelap dan berdarah dalam sejarah Indonesia: Penembakan Misterius (Petrus).

Sepanjang 1983 hingga 1985, Orde Baru menggelar operasi pembersihan terhadap pelaku kejahatan yang dianggap meresahkan masyarakat dan mengganggu stabilitas nasional. Para pelaku kejahatan ini punya beragam sebutan: gali, jeger, bromocorah, preman, dan sebagainya.

Gali, seperti yang jadi inspirasi lagu Iwan Fals, merupakan akronim dari gabungan anak liar. Mereka digambarkan sebagai orang-orang bertato dan sering melakukan kejahatan.

Hari-hari ini, ketika premanisme semakin meresahkan warga masyarakat dan mengganggu dunia usaha, banyak suara-suara yang meminta pemerintah untuk menghidupkan Petrus jilid II.

Permintaan seperti itu memang terdengar tegas, bahkan mungkin terdengar “heroik” bagi sebagian orang. Tetapi Petrus bukan jawaban untuk memberantas premanisme. Tanpa menyentuh akar masalahnya, yang berkelindan dengan persoalan ekonomi dan politik, solusi ala Petrus hanya akan menyasar preman receh di jalanan.

Lagipula, Petrus 1983 menyisakan jejak hitam terkait pelanggaran HAM.

Latar ekonomi dan politik

Pada 1970-an, didorong oleh periode bonanza minyak (oil boom), kegiatan ekonomi menggeliat. Perkantoran, toko-toko, pusat hiburan, hingga pabrik baru bermunculan.

Geng-geng preman, yang biasanya menguasai teritori tertentu, berusaha mengambil “efek menetes ke bawah” dari geliat ekonomi tersebut dengan menawarkan jasa keamanan, mulai dari jasa pengawalan, pengamanan, hingga pengelolaan parkir. Namun, hubungan yang tercipta antara dunia bisnis dan geng-geng preman (keamanan swasta) menafikan kendali negara dan mengancam monopoli keamanan resmi negara (polisi).

Indonesia, 1970. Ekonomi menggeliat akibat bonanza minyak. Kredit: Detik.com

Pada 1981, Kapolri Awaloeddin Djamin menghidupkan mekanisme pengawasan teritorial yang dikenal dengan nama Sistem Keamanan Lingkungan (Siskamling). Tujuannya adalah membawa kelompok-kelompok keamanan swasta itu berada di bawah kendali aparat negara. Banyak anggota dari keamanan swasta ini diberi peran resmi, seperti Hansip dan Satpam. Selain itu, banyak juga preman-preman ini yang terorganisasikan dalam organisasi kepemudaan resmi, seperti Pemuda Pancasila.

Namun, hubungan antara elite dan kelompok-kelompok keamanan tidak resmi alias preman ini melampaui urusan ekonomi. Dalam sejarah, mereka kerap dimobilisasi untuk mendukung kepentingan politik elite.

Iwan Wilson, dalam Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru, 2018, menyebut pelibatan preman dalam urusan politik punya akar yang jauh dalam sejarah. Jenderal Nasution pernah menggunakan jasa mereka untuk menekan Sukarno dalam peristiwa 17 Oktober 1952.

Pada masa Orde Baru, mereka digunakan untuk memenangkan Golkar dalam pemilu. Mulai dari menggalang massa, mengamankan kampanye, hingga mengacaukan kampanye partai lain. Tidak jarang, mereka juga dipakai untuk mengintimidasi dan merepresi kelompok oposisi maupun masyarakat sipil: mengacaukan kegiatan, membubarkan diskusi, hingga membubarkan aksi demonstrasi.

Namun, tidak semua geng preman berada di bawah kendali sistem yang diciptakan oleh negara. Ada saja yang beroperasi secara liar dan tidak mau dikendalikan oleh negara. Dalam kasus Petrus, mereka ini yang menjadi objek serangan utama.

Operasi Petrus

Awal 1980-an, meski Siskamling sudah dibentuk dan diperluas, tetapi persoalan kejahatan tetap tak terkendali. Berakhirnya era bonanza minyak memicu masalah ekonomi dan sosial. Problem suburnya kejahatan ini membuat Orde Baru resah. Selain mengganggu aktivitas ekonomi, hal tersebut juga mengancam stabilitas.

Majalah ‘Tempo’ edisi 25 Juni 1983. Kredit: BBC/Furqon Ulya Himawan

Pada Maret 1983, Soeharto menunjuk Benny Moerdani sebagai Panglima ABRI. Ia adalah pendukung pendekatan yang keras terhadap persoalan kejahatan ini. Ia juga disebut sebagai perancang operasi yang kelak disebut Petrus ini.

Operasi militer yang dinamai Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) ini dimulai pada pada Maret 1983 oleh Garnisun Kodim 0734 Yogyakarta yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Mochamad Hasbi. Garnisun memegang daftar nama-nama orang yang dicap gali. Mereka yang berada dalam daftar langsung dihabisi, tanpa proses pengadilan.

Sejak itu, di Yogyakarta, nyaris tiap hari ditemukan mayat tak dikenal yang tergeletak di jalanan. Situasi ngeri ini membuat banyak orang yang dicap gali melarikan diri atau menyerahkan diri.

Operasi OPK ini kemudian meluas ke Garnisun lain dan kota-kota lain, terutama kota-kota di Pulau Jawa. Di Jakarta, nama operasinya dinamai Operasi Clurit. Operasi ini langsung di bawah kendali Kodam Jaya dan Kopkamtib.
Sejak itu, di hampir di semua kota, ada penemuan mayat dengan tangan terikat di jalanan, emperan toko, pinggiran kali, atau di semak-semak. Situasi itu menciptakan kengerian, sehingga banyak preman yang menyerahkan diri. Ada juga yang meminta perlindungan LBH.

Shock therapy

Soeharto dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, menyebut peristiwa itu didahului ketakutan yang dirasakan rakyat. Seperti adanya perampokan, pembunuhan, dan ancaman-ancaman dari orang jahat.

Menurutnya, tindakan para penjahat itu tidak hanya melanggar hukum, tapi sudah melebihi batas perikemanusiaan. “Umpamanya, orangtua sudah dirampas pelbagai miliknya, kemudian masih dibunuh,” kata Soeharto.

Harian ‘Kompas’, 29 April 1983. Kredit: BBC/Furqon Ulya Himawan

Karena itu, menurut Soeharto, kejahatan itu tidak boleh dibiarkan dan didiamkan. “Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas,” katanya.

Soeharto menerjemahkan tindakan tegas itu bukan sekadar razia penjahat, atau memerintahkan kepolisian lebih gencar memerangi kejahatan, melainkan operasi militer.

“Tapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak,” jelasnya.

Menurut Soeharto, mayat yang dibiarkan di jalanan merupakan bentuk “shock therapy” untuk membuat para pelaku kejahatan maupun masyarakat luas untuk menjauhi perilaku jahat atau kriminalitas.

“Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu. Maka, kemudian meredalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu,” jelasnya.

Memang, tak lama setelah Petrus, angka kejahatan menurun drastis.

Menuai kritik

Persoalan mendasar dari Petrus adalah proses eksekusi mati tanpa melalui proses pengadilan (extra judicial killing). Tindakan ini menodai prinsip-prinsip negara hukum.

Kritik lantang disuarakan oleh pengacara sekaligus aktivis masa itu, Adnan Buyung Nasution. Menurut Adnan Buyung, yang saat itu menjabat sebagai Ketua LBH, pemberantasan kejahatan dengan eksekusi mati tanpa melalui proses pengadilan tidak menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan.

“Jika cara-cara seperti itu terus dilakukan maka lebih baik lembaga pengadilan dibubarkan saja. Jika ada pejabat apa pun pangkatnya dan kedudukannya, mengatakan tindakan main dor-doran itu benar, saya tetap mengatakan hal itu adalah salah,” katanya, seperti dikutip Sinar Harapan, 6 Mei 1983.

Adam Malik bersama Soeharto pasca Tragedi G30 S 1965. Kredit: Kompas.id

Saat itu, tak hanya melakukan kritik, Adnan Buyung dan LBH juga memberikan perlindungan kepada mereka yang dimasukkan dalam daftar gali secara sepihak. Salah satunya: LBH mengadvokasi tiga terduga gali asal Yogyakarta: Monyol, Mantri, dan Kentus. Ketiganya mengaku tidak pernah terlibat dalam kejahatan.

Tak hanya disuarakan aktivis, namun juga Wakil Presiden Presiden ke-3, Adam Malik. Ia tak setuju eksekusi mati tanpa proses hukum, karena mencederai prinsip negara hukum.

“Ja­ngan mentang-mentang penjahat kerah dekil langsung ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi ma­ti. Jadi syarat sebagai negara hukum su­dah terpenuhi. Setiap usaha yang bertentangan de­ngan hukum akan membawa negara ini pa­da kehancuran,” katanya, seperti dikutip koran Sinar Harapan, 25 Juli 1983.

Pelanggaran HAM

Pembunuhan atau eksekusi mati, meskipun dilakukan terhadap penjahat, jika tidak melalui proses pengadilan alias extra judicial killing, merupakan bentuk pelanggaran HAM.

Tindakan tersebut telah membuat seseorang dihilangkan nyawa tanpa proses pembuktian terhadap dugaan kejahatan yang ditimpakan padanya. Tindakan itu tidak sesuai dengan prinsip negara hukum.

Lebih parah lagi, pada masa itu, penetapan seseorang sebagai gali atau preman hanya merujuk pada ciri yang umum: bertato dan dianggap preman. Faktanya, tidak semua orang bertato adalah pelaku kejahatan.

Dalam kasus penetapan gali itu, aparat tidak punya parameter yang jelas. Sering terjadi orang biasa, yang tidak terlibat dalam kejahatan, dimasukkan dalam daftar gali. Sebagian ada yang berhasil melapor dan melakukan klarifikasi ke Garnisun, tetapi tak sedikit juga yang sudah terlanjur menjadi mayat.

Dalam rentang itu, ada banyak laporan orang hilang. Tidak sedikit orang yang dilaporkan hilang itu adalah orang biasa yang tidak pernah terlibat dalam kejahatan; preman yang sudah insaf; keluarga dekat yang dianggap komplotan gali; atau mereka yang menjadi korban dari “dendam pribadi”.

Tidak ada data resmi terkait jumlah orang yang dicap gali atau preman yang menjadi korban Petrus dalam rentang waktu antara 1983 hingga 1985. Mulyana W. Kusumah, kriminolog dan juga aktivis masa itu, memperkirakan korban Petrus mencapai 2.000 orang. Laporan lain menyebut jumlah korban berkisar 3.000 hingga 10 ribu orang.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Belajar dari Program Makan Gratis di Brasil

Belajar dari Program Makan Gratis di Brasil

Di Kota Bogor, Jawa Barat, 223 siswa mengalami keracunan makanan MBG

Next
SPAI Tolak Rencana Merger Grab-GoTo

SPAI Tolak Rencana Merger Grab-GoTo

Berdasarkan data yang dirilis Euromonitor International, bila merger terjadi

You May Also Like
Total
0
Share