Belajar dari Program Makan Gratis di Brasil

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan dengan niat mulia, meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui pemenuhan kebutuhan gizi setiap anak bangsa. Namun, niat baik saja, tanpa disertai desain kebijakan yang benar dan terukur, bisa berujung petaka.

Di Kota Bogor, Jawa Barat, 223 siswa mengalami keracunan makanan MBG. Mereka diduga menyantap makanan yang sudah terpapar bakteri Escherichia coli (E. coli) dan Salmonella. Di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Sumatera Selatan, ada 173 anak mengalami keracunan setelah menyantap menu MBG. Pada 1 Mei lalu, 400 pelajar di Tasikmalaya, Jawa Barat, juga mengalami keracunan usai menyantap sajian MBG.

Setidaknya, sejak dimulai pada 6 Januari lalu, sudah ada 13 kasus kejadian keracunan MBG dan menyebabkan lebih dari 1.400 pelajar dan guru yang menjadi korban. Sejak 29 April hingga Mei ini saja, sudah ada empat kasus keracunan MBG berskala besar dengan total korban 1.140 orang.

Dari namanya yang mulia, MBG seharusnya bukan sekadar menyuguhkan makan kepada anak sekolah, tetapi memastikan asupan gizi yang cukup dan sehat untuk semua anak Indonesia. Mimpinya tak ada lagi anak Indonesia yang kelaparan, kurang gizi, maupun obesitas.

Demi perbaikan, tak ada salahnya kita menimba ilmu dari pengalaman negara lain. Brasil, negeri langganan Piala Dunia itu, bisa menjadi tempat belajar yang tepat. Selama tujuh dekade, melalui banyak evaluasi dan perbaikan, Brasil menjadi contoh tersukses program makan gratis untuk anak sekolah.

Pelajaran dari Brasil

Negeri Samba ini memulai program MBG pada 1954. Saat itu, demi memerangi kelaparan sekaligus mendorong anak-anak bersekolah, Brasil meluncurkan program makan siang gratis.

Tujuan awalnya sangat sederhana: agar anak-anak yang kelaparan tetap bersekolah. Saat itu, karena ada program makan siang gratis, partisipasi bersekolah meningkat. Karena itu, program ini dirancang hanya untuk daerah-daerah termiskin.

Tahun 2003 menjadi titik balik bagi program makan siang gratis di Brasil. Saat itu, seorang mantan aktivis buruh bernama Lula da Silva terpilih sebagai presiden dan langsung membawa angin segar.

Meskipun masuk 10 kekuatan terbesar ekonomi dunia, Brasil masih berjibaku dengan masalah kelaparan dan kekurangan gizi. Pada 2003, diperkirakan 44 juta orang Brasil—sekitar 28 persen dari total penduduk—hidup dengan pengeluaran kurang dari USD 1 per hari.

Anak-anak antre mengambil makanan. Kredit: NPR/Tuane Fernandes

Begitu menjabat, Lula meluncurkan program ambisius bernama Fome Zero atau Bebas Kelaparan. Program makan siang gratis, yang dikenal dengan nama Programa Nacional de Alimentação Escolar (PNAE), diintegrasikan dengan program memerangi kelaparan secara nasional.

Dalam kerangka itu, Brasil tak hanya menjamin kebutuhan gizi anak-anak, tetapi juga memastikan orangtua atau keluarganya terbebas dari kelaparan dan kemiskinan.

Program MBG Brasil berdampak luar biasa. Daya jangkaunya mencakup sekitar 42 juta anak di lebih dari 160 ribu sekolah di seluruh pelosok negeri.

Lalu, apa pelajaran berharga dari program MBG di Brasil?

Pertama, program MBG Brasil dijalankan secara terdesentralisasi dan swakelola. Pemerintah pusat hanya merancang kebijakan/peraturan dan anggaran, tetapi eksekusinya dilakukan oleh pemerintah lokal dan sekolah-sekolah.

Secara nasional, penanggung jawab MBG adalah sebuah lembaga di bawah Kementerian Pendidikan, bernama Fundo Nacional de Desenvolvimento da Educação (FNDE).

Di Brasil, makanan bergizi langsung dimasak di dapur-dapur sekolah oleh juru masak dan dibantu staf sekolah. Dapur-dapur ini pun ada standarnya: luas, bersih, dan punya tempat penyimpanan bahan makanan yang aman.

Pemerintah melalui FNDE hanya menetapkan standar gizi, bahan baku makanan, ruang penyimpanan, prosedur memasak, hingga cara penyajian. Dan semua itu mengikuti kaidah maksimum dari Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP).

Pada 2009, FNDE mengeluarkan aturan soal standar pemenuhan gizi minimum, yakni sekolah yang hanya memberi makan siang sekali, paling minimal mencukupi 20 persen kebutuhan gizi harian; kalau makannya dua kali (umumnya di sekolah masyarakat adat), maka minimal 30 persen kebutuhan gizi harian; lalu untuk anak-anak yang belajar full day (8 jam atau lebih), maka minimal 70 persen kebutuhan gizi harian.

Soal makanan yang disajikan pun diatur: makanan harus beragam (variatif), kaya gizi, dan masih segar. Minuman bersoda dan bahan pemanis dilarang. Buah-buahan dan sayur-sayuran menjadi prioritas.

Dalam aturan terbaru (2025), batas toleransi untuk bahan makanan ultra proses (makanan yang telah melalui banyak tahap pengolahan industri dan mengandung banyak bahan tambahan seperti pengawet, pewarna, perasa buatan, dan pemanis) hanya maksimal 10 persen. Sebaliknya, bahan makanan segar dan alami wajib minimal 85 persen.

Kondisi dapur sekolah MBG di Brazil. Kredit: NPR/Tuane Fernandes

Kedua, pelibatan ahli gizi dan masyarakat sipil. Untuk memastikan makanan yang tersaji bagi anak-anak sudah aman dan kaya gizi, Brasil melibatkan sedikitnya 8.000 ahli gizi.

Peran ahli gizi sangat krusial dalam program ini. Merekalah yang menyusun menu, agar sesuai dengan standar kebutuhan gizi. Mereka juga yang mengawasi langsung proses memasak makanan, mengecek kebersihan dapur, memastikan stok bahan makanan, dan menilai respons anak-anak terhadap makanan yang disajikan.

Jika ada anak-anak yang menolak makan sayur atau buah, seperti dalam beberapa kasus MBG di Indonesia, maka ahli gizi juga yang turun tangan mengedukasi anak-anak. Dan jika tetap tidak mempan, maka mereka akan mencari resep lain yang disukai anak-anak. Mereka juga menyusun resep untuk anak-anak berkebutuhan khusus.

Selain itu, ada partisipasi masyarakat sipil lewat lembaga yang disebut Conselho Nacional de Segurança Alimentar e Nutricional (Consea). Lembaga ini isinya perwakilan pemerintah, ahli, dan organisasi masyarakat sipil. Program MBG Brasil berjalan sangat transparan dan sangat terbuka dalam evaluasi.

Ketiga, kebijakan MBG sangat mendukung pertanian dan produsen lokal. Pada 2009, pemerintah membuat aturan yang mewajibkan minimal 30 persen belanja bahan baku MBG harus bersumber dari petani dan produsen lokal. Sekarang, aturan baru menetapkan batas minimum 50 persen belanja bahan baku MBG harus dari petani lokal, khususnya petani perempuan.

Dengan kebijakan itu, program MBG Brasil punya dampak langsung pada peningkatan kesejahteraan petani dan produsen lokal. Bukan vendor atau perusahaan agribisnis besar.

Terakhir, program MBG Brasil tidak menepikan agenda pembangunan yang lain, bahkan terintegrasi dengan program memerangi kelaparan dan kemiskinan. Untuk mengatasi kelaparan dan kekurangan gizi secara umum, Brasil punya program Fome Zero. Sementara, untuk mengatasi kemiskinan, Brasil punya program Bolsa Família―salah satu program anti-kemiskinan terbaik di dunia.

Meskipun Brasil berjibaku mengurus kebutuhan gizi, tetapi akses terhadap pendidikan, terutama kaum miskin, tidak terabaikan. Untuk akses pendidikan dasar hingga menengah, anak-anak kaum miskin dibantu oleh Bolsa Família.

Selain itu, Brasil punya program yang disebut Pé-de-Meia untuk mencegah putus sekolah. Dalam banyak kasus, meskipun pendidikan bersifat gratis, tetapi dorongan untuk bekerja dan membantu keluarga membuat banyak anak harus putus sekolah. Nah, program Bolsa Família dan Pé-de-Meia untuk mencegah hal itu terjadi.

Makan bersama program MBG di Brazil. Kredit: NPR/Tuane Fernandes

Persoalan MBG di Indonesia

Program MBG di Indonesia, yang mulai tancap gas sejak 6 Januari 2025, punya target ambisius: menjangkau 82,9 juta penerima manfaat hingga akhir tahun ini. Jika berhasil, ini jadi salah program MBG terbesar di dunia setelah India.

Tentu saja, karena niat mulia dan daya jangkaunya yang luas, program MBG harus terpastikan berjalan dengan zero accident, benar-benar mencapai target, dan berdampak luas. Karena itu, evaluasi menyeluruh tak bisa ditunda-tunda.

Pertama, program ini harus diubah dari sentralistik menjadi desentralisasi. Pendekatan sentralistik telah membuat rantai distribusi menjadi panjang, mengabaikan preferensi menu/pangan lokal, dan membuka celah bagi praktik korupsi.

Dapur umum yang tersentralisasi ke beberapa titik dan melayani sejumlah sekolah, yang mengharuskan makanan sudah dikemas dalam alat makan dan kemudian dikirim ke sekolah-sekolah, menjadi pemicu banyak masalah, mulai keterlambatan pengiriman, makanan basi, hingga kasus keracunan. Selain itu, penggunaan styrofoam atau plastik, meski berlabel BPA-free, sangat berbahaya jika digunakan pada makanan yang masih panas.

Menurut kami, program MBG seharusnya terdesentralisasi. Dapur MBG didirikan di sekolah-sekolah dengan standar resmi: luas, bersih, dan punya tempat penyimpanan bahan makanan dan makanan yang aman. Ini bisa juga memanfaatkan kantin sekolah jika sudah ada dan layak. Makanan dimasak oleh juru masak yang ditunjuk resmi. Kemudian, pada setiap dapur MBG ada ahli gizi yang mengawal menu harian, kebersihan dapur, stok bahan makanan, proses memasak, makanan yang akan disajikan, proses penyajian, hingga respons anak-anak.

Cara itu akan lebih efisien. Tak perlu ada proses pengemasan dan pengantaran. Makanan disajikan secara prasmanan. Dengan begitu, bukan saja mengedukasi anak-anak soal makan bergizi, tetapi juga bisa melatih kedisiplinan dalam urusan antre, menjaga kebersihan, dan mencuci sendiri perlengkapan makannya.

Kedua, program MBG harus dijauhkan dari makanan ultra-proses (makanan yang telah melalui banyak tahapan pengolahan industri dan mengandung berbagai bahan tambahan, seperti pengawet, pewarna, perasa buatan, dan pemanis buatan) yang membahayakan anak-anak. Penggunaan bahan makanan ultra-proses justru memicu obesitas dan penyakit katastropik.

Kebun sekolah sebagai bagian dari program MBG di Brazil untuk mengedukasi anak-anak perlunya makan sayur dan manfaat makanan segar. Kredit: NPR/Tuane Fernandes

Seperti temuan CISDI, masih ada makanan ultra-proses, seperti biskuit kering dan sereal instan, yang disajikan dalam program MBG. Padahal, dua jenis makanan ultra-proses itu 18 gram gula atau 72 persen kebutuhan konsumsi gula harian anak usia 2-18 tahun.

Ketiga, jika dilakukan secara terdesentralisasi, tidak perlu lagi Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai penyelenggara MBG membuka pintu kemitraan. Model semacam ini hanya akan membuka celah untuk menjadikan program ini sebagai proyek bancakan bagi elite dan kroninya. Ini seperti memberi umpan pada penyimpangan dan korupsi.

Lebih baik anggaran diturunkan langsung dari pusat ke kota-kota untuk didistribusikan ke satuan pelaksana, yakni sekolah-sekolah. Biarkan setiap dapur sekolah, dengan pengawalan ahli gizi, menyusun menu, berbelanja bahan makanan, memasak makanan, dan menyajikannya secara prasmanan kepada siswa.

Keempat, mengingat bahwa MBG bukan sekadar memberi makan dan anak-anak merasa kenyang, melainkan untuk memastikan pemenuhan gizi seluruh anak Indonesia, maka peran ahli gizi dalam program ini harus dimaksimalkan.

Jadi, alih-alih memperbanyak peran militer, justru peran ahli gizi yang harus diperbanyak. Target idealnya di setiap sekolah ada ahli gizi. Dengan jumlah ahli gizi se-Indonesia hanya sekitar 36 ribu orang, sementara jumlah sekolah (SD, SMP, SMA) mencapai 205 ribu, maka ada kebutuhan untuk menghasilkan lebih banyak ahli gizi.

Kelima, kurangi pendekatan militer dalam program MBG. Setidaknya, menurut Puspen TNI, ada 351 Kodim, 14 Lantamal, 41 Lanud yang terlibat dalam program MBG di seluruh Indonesia.

Ada inisiatif positif untuk menggerakkan sarjana demi menopang program MBG melalui program Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI). Sayang sekali, lagi-lagi pendekatannya militeristik, dari seragam, pemberian latihan dasar kemiliteran, hingga pemahaman disiplin ala militer.

Aspek terpenting dari MBG adalah pengetahuan yang utuh soal gizi, pengetahuan edukasi gizi yang interaktif, dan kemampuan persuasi untuk memastikan dukungan anak-anak, orangtua, maupun masyarakat luas terhadap program MBG.

Misalnya, alih-alih butuh seorang yang hanya bisa “siap-grak!”, MBG malah mungkin butuh seseorang yang punya keahlian storytelling dan narasi yang bagus sehingga bisa membuat anak-anak yang tak suka makan sayur atau makanan yang asing baginya menjadi suka atas makanan tersebut.

Selain itu, untuk mewujudkan zero accident dan pencapaian target yang maksimum, harus ada ruang evaluasi yang sifatnya terbuka dan kritis. Dalam hal ini, mekanisme monitoring dan evaluasi dalam rantai komando sangat berpotensi bias, tertutup, dan tidak responsif terhadap realitas lapangan.

Keenam, perlu memastikan program MBG memberi manfaat pada pertanian lokal dan UMKM. Misalnya, ada ketentuan batas minimum anggaran MBG di setiap dapur umum/sekolah, misalnya 30 persen, bahan makanan dan kebutuhan lainnya dipasok dari pertanian lokal dan UMKM.

Terakhir, perlu mempertimbangkan anggaran program MBG ini dengan ruang fiskal APBN, sehingga tidak merampas jatah anggaran untuk program lain yang tak kalah pentingnya, dengan mendorong program ini dijalankan bertahap dengan sasaran paling awal adalah anak dari keluarga miskin dan daerah tertinggal, terdepan, dan terluar
(3T) dulu.

Program MBG untuk anak-anak kita adalah investasi terbaik bagi masa depan bangsa. Namun, untuk memastikan bahwa investasi ini membawa hasil, kita harus siap untuk terus mengoreksi, memperbaiki, dan menyempurnakan program ini, demi generasi yang lebih baik.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
José Mujica: Jalan Sunyi sang Presiden Rakyat Sejati

José Mujica: Jalan Sunyi sang Presiden Rakyat Sejati

Kabar kepergian Presiden legendaris yang menjadi icon pemimpin politik progresif

Next
Jejak Gelap dan Berdarah Petrus 1983

Jejak Gelap dan Berdarah Petrus 1983

Ramai gunjing tentang dirimuYang tak juga hinggap rasa jemuSuram hari

You May Also Like
Total
0
Share