Gagasan Sukarno Soal Otonomi Daerah

Pasca-reformasi 1998, sebagai antitesa terhadap model sentralistik era Orde Baru, ada harapan yang meluap-luap untuk mendorong maju otonomi daerah agar kesejahteraan dan keadilan sosial berjalan merata di setiap jengkal wilayah Indonesia.

Sayang sekali, setelah berjalan hampir tiga dekade, otonomi daerah menggiring rakyat di daerah pada kenyataan pahit: korupsi dan politik dinasti merajalela. Banyak daerah otonomi baru (DOB) yang terbentuk, tetapi sebagian besar layu sebelum berkembang.

Hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri (Mendagri) pada 2012 menyimpulkan 70 persen DOB yang terbentuk sepanjang 1999-2009, dinyatakan gagal. Temuan BPK menyebutkan, 443 pemerintah daerah (pemda) atau 88,07 persen dari total 503 pemda di Indonesia berstatus belum mandiri dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Tidak heran, Ryaas Rasyid, bapak penggagas otonomi daerah pasca-reformasi, mengakui otonomi daerah hampir gagal. Seperti rumah kartu yang hancur dihantam ombak sebelum selesai dibangun, begitulah nasib otonomi daerah di Indonesia.

Desentralisasi yang kita pakai saat ini jelas salah arah. Desentralisasi macam ini, yang tak disertai penguatan partisipasi rakyat, tak lebih dari “desentralisasi neoliberal”.

Desentralisasi neoliberal hanya mengalihkan pengambilan kebijakan yang tersentralisasi di pusat ke daerah, terutama terkait investasi, agar proses birokrasinya lebih pendek, singkat, dan berbiaya murah. Seringkali, dalam berbagai proses itu, kepentingan rakyat dikesampingkan.

Nah, pada titik ini, mari kita ingat pesan Sukarno 64 tahun lampau. Saat berpidato di peringatan HUT proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1957, Sukarno menyinggung sepintas soal otonomi daerah.

Menurut dia, otonomi bukan sekadar perpindahan tanggung-jawab dari pusat ke daerah. Juga bukan sekadar memindahkan urusan birokrasi dari pemerintah pusat ke daerah.

Di hadapan otonomi berbaris-baris beragam persoalan, seperti menguatnya semangat sukuisme, daerahisme, bahkan separatisme. Sehingga, jika tak dikelola dengan baik, maka otonomi bisa memecah-belah bangsa.

Dia buru-buru mengingatkan, otonomi tidak boleh memecah-belah keutuhan bangsa dan negara. Karena itu, semangat otonomi harus memerangi habis-habisan segala bentuk ego-sentrisme dan daerahisme.

Untuk itu, kata Sukarno, otonomi butuh syarat-syarat berikut: negara-sentris (staats-gerichtheid), bangsa-sentris (natie-gerichtheid), kejujuran politik dan kejujuran moril, dan daya cipta yang cukup banyak.

“Tanpa dipenuhinya syarat-syarat ini, maka otonomi akan kosong-melompong, bahkan akan impoten, bahkan akan menjadi padangnya korupsi belaka, bahkan akan membahayakan keutuhan dan kesentausaan bangsa dan negara,” katanya.

Pertama, semangat berotonomi harus tetap mengabdi pada kepentingan bangsa dan negara (staat-gericht dan natie-gericht). Dalam hal ini, semangat memajukan daerah harus selaras dengan cita-cita memajukan bangsa dan negara.

Dengan demikian, otonomi daerah bukan berarti menciptakan sekat-sekat yang memisahkan antarprovinsi, antarkabupaten dan kota. Otonomi bukan berarti hanya membangun demi daerah sendiri.

Dalam konteks berbangsa, otonomi bukan berarti mengekslusifkan warga daerah (provinsi, kota/kabupaten) sendiri dibanding warga ber-KTP daerah lain. Tidak bisa, hanya karena tidak ber-KTP Jakarta, misalnya, seorang warga negara Indonesia dari luar Jakarta tidak bisa menikmati hak-haknya sebagai warga negara ketika tinggal di wilayah administratif Jakarta.

Kedua, otonomi harus dilandasi kejujuran politik dan moral. Bagi Sukarno, kejujuran politik dan moral itu penting untuk memastikan otonomi tetap mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara.

Zonder beranggotakan orang-orang yang jujur, ia akan menjadi tempat dansanya petualang-petualang tribune yang tak mempunyai moralitet melainkan keuntungan diri sendiri,” ujarnya.

Di sini yang dimaksud Sukarno adalah sebuah komitmen politik yang tulus. Keinginan untuk memajukan otonomi harus berjalan seiring dengan komitmen politik yang tulus untuk bangsa dan negara.

Ketiga, otonomi harus melahirkan daya cipta yang banyak. Daya cipta ini termasuk kemampuan mengenali dan menyelesaikan persoalan. Untuk itu, agar otonomi punya daya cipta, maka ruang bagi partisipasi rakyat perlu dibuka lebar-lebar.

Harus ada ruang yang lebar untuk rakyat bisa menyampaikan keluh-kesah, ide-ide, maupun aspirasinya untuk pembangunan daerah. Termasuk ruang untuk menyetujui atau tidak sebuah kebijakan.

Desentralisasi harus bermakna mendekatkan pengambilan berbagai kebijakan politik pada rakyat banyak di daerah. Agar tak lagi sentralistik dan top-down.

Desentralisasi yang partisipatoris akan mengecilkan ruang bagi tumbuhnya raja-raja lokal, praktik korupsi, dan budaya patron-klien.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
5 Cara Imperialis Merongrong Sukarno

5 Cara Imperialis Merongrong Sukarno

Indonesia di bawah Sukarno terus menegaskan garis politiknya yang

Next
7 Cara Anak Muda Terlibat Aksi Selamatkan Iklim

7 Cara Anak Muda Terlibat Aksi Selamatkan Iklim

Anak-anak yang lahir pada 2020 akan akan berusia 80 tahun pada 2100 nanti

You May Also Like
Total
0
Share