Ki Hadjar Dewantara: Pancasila, Jiwa Bagi Bangsa dan Negara Indonesia

Ki Hadjar Dewantara, yang bernama lengkap Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (2 Mei 1889–26 April 1959) adalah sosok negarawan yang dikenal luas sebagai pribadi yang bersih dan berintegritas. Ia dijuluki sebagai Bapak Pendidikan Nasional yang mempopulerkan falsafah Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Hingga saat ini semboyan yang bermakna agar seorang pendidik mampu memberi teladan bagi muridnya, mampu membangkitkan tekad dan kemauan belajar di tengah para murid, serta mampu memberikan dorongan semangat kepada muridnya itu masih menjadi core values dalam dunia pendidikan kita.

Ki Hadjar Dewantara juga meninggalkan begitu banyak warisan karya tulis yang memuat gagasan kebangsaan. Gagasan ini patut kita lestarikan bahkan terus dikobarkan nyalanya di sepanjang zaman.

Satu di antaranya adalah buku berjudul Pantjasila ini. Buku ini dia suguhkan dari lubuk hatinya kepada seluruh spektrum kelompok masyarakat dan lintas generasi bangsa Indonesia agar memulai pemaknaan ideologi Pancasila secara teguh dan utuh, serta mengedepankan semangat persatuan nasional agar tidak terjebak pada ego sektoral kelompoknya masing-masing.

Pancasila itu jiwa bangsa

Ulasan buku ini diawali dengan refleksi mendalam terhadap konstitusi dasar negara Republik Indonesia, terutama pada bagaian pembukaan alias purwaka, preambule, atau mukadimah yang merupakan bagian paling inti. Bagian ini tidak bisa diubah sama sekali meski pasal demi pasal di dalamnya dimungkinkan untuk “diobrak-abrik” melalui proses amandemen di forum luhur para wakil rakyat.

Ditegaskan Ki Hadjar bahwa secara eksplisit Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 memuat segala cita-cita perjuangan pergerakan nasional. Ringkasnya, kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan praktik penjajahan harus lenyap dari muka bumi. Negara Indonesia harus merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Pemerintah negara harus melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Sementara yang menjadi dasar dari semua itu adalah lima asas yang kita pahami sebagai Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa; Perikemanusiaan (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab); Persatuan Indonesia (Kebangsaan); Kerakyatan (Kedaulatan Rakyat); dan Keadilan Sosial.

Hal ini berarti pula bahwa Pancasila lahir bersamaan dengan proses lahirnya negara Republik Indonesia, bersamaan dengan timbulnya kita menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat, bersamaan pula dengan terciptanya konsitusi dasar negara kita. Pancasila menurut Ki Hadjar pada hakikatnya laksana jiwa bagi bangsa Indonesia, dan menjadi sifat pribadi rakyat dalam konteks hidup kenegaraan.

Pancasilalah yang menjadi ruh dan menghidupkan konstitusi UUD 1945, seperti disebutkan di halaman 2, sebagai berikut:

“…karena zonder Pantja-sila itu U.U.D. kita hanja merupakan Peraturan Besar atau Statuten semata-mata, jang boleh djadi tjukup berisi peraturan-peraturan jang penting, boleh djadi pepak dan lengkap, namun tidak berdjiwa, tidak hidup.“

Terdapat banyak contoh aturan hukum yang ideal dan menyeluruh tetapi tak cukup berharga karena tidak hidup dan berjiwa. Berbagai aturan yang seperti itu bagi Ki Hadjar berlaku tak ubahnya mesin, benda mati yang tak berpikir dan tidak pula berperasaan. Dampak buruknya, aturan-aturan itu tak mampu menyalakan semangat pada rakyat, malah seringkali membuka ruang bagi akal tipu muslihat dari kelompok kepentingan tertentu yang mampu menungganginya dan membawa kerugian bagi kebanyakan orang.

Pancasila yang juga pucuk permulaan konstitusi negara kita ini bukan sekadar berisikan perintah dan larangan tentang apa yang harus dilakukan dan dijauhkan oleh rakyat, melainkan juga memberi pedoman sebagai petunjuk bagi kita semua karena mengandung keluhuran dan kehalusan hidup manusia, baik dipandang dari sudut keagamaan, kebudayaan, maupun kemasyarakatan.

Pancasila sebagai jiwa dari konstitusi mampu mendidik rakyat ke arah kemajuan lahir dan batin, kemajuan ke arah adab peri-kemanusiaan dalam arti yang seluas-luasnya, dan kemajuan dalam arti kenegaraan pada khususnya. Ketika meresapkan isi, maksud, dan tujuannya kita ibarat menatap kaca benggala yang menggambarkan keseluruhan wujud bangsa ini baik dan buruknya. Bagaimana seharusnya kita berpendirian, bersikap, dan bertindak tidak hanya sebagai warga negara yang setia, melainkan juga sebagai manusia yang jujur dan bijaksana (hal. 4).

Irama dan ritme ber-Pancasila

Buku ini juga mengungkap keresahan pada perdebatan publik yang pelik perihal munculnya pertanyaan, lantas apa sari yang terpenting dari Pancasila atau sudah tepatkah urut-urutannya yang termuat dalam Preambule UUD 1945 itu. Ki Hadjar mengutarakan betapa susunan yang telah ditetapkan itu tidaklah mungkin muncul secara tiba-tiba begitu saja, melainkan sesungguhnya menggambarkan corak warna dari penciptanya. Ia juga menegaskan Bung Karno adalah manusia pertama yang menghadirkan konsepsi Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka, hingga kemudian founding parents kita yang lainnya saling mengisi dan menyempurnakan.

Bentuk Pancasila yang kita kenali dengan susunan demikian itu menunjukkan bahwa penciptanya adalah mereka yang memiliki pandangan keagamaan yang sangat dalam dan positif. Berpandangan luas, luhur, dan beradab. Menginsyafi persatuan bangsa tanpa terpecah-belah atau bercerai-berai apalagi permusuhan. Berwatak patriot dan demokratis, serta anti kapitalisme, imperialisme, fasisme, liberalisme, bahkan feodalisme. Bercorak istimewa karena tidak meninggalkan sifat keadilan dan cinta kasih untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Maka sempurnalah Pancasila itu diciptakan sebagai buah manis hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia (hal. 6).

Ki Hadjar berpandangan betapa wajarnya jika seorang individu warga atau mungkin juga kelompok organisasi yang ada di negeri ini memiliki perbedaan cara pandang terhadap Pancasila menurut karakteristiknya masing-masing. Namun, yang terpenting adalah semua memahami hakikat atau sifatnya Pancasila itu dulu. Dengan demikian Pancasila tak akan menjadi semboyan yang kosong, dipahami secara keliru, atau malah dipakai sebagai kedok untuk mengejar kepentingan pribadi (hal. 8).

Sebagai analogi, Ki Hadjar mengajak untuk mampu menjadikan Pancasila itu hidup dan bergerak dalam sanubari kita. Ibarat dalam dunia kesenian terdapat konsepsi irama atau ritme yang menentukan watak atau karakter dari tiap-tiap benda hidup. Seperti itulah kita bisa menentukan cara pandang tentang perkara mana yang hendak menyusun sila yang pokok sarinya dan mendasari sila lainnya. Tiap-tiap individu maupun kelompok bisa saja memilih satu sila utama yang berbeda iramanya dengan susunan resmi tadi, tetapi pada hakikatnya tidaklah akan berbeda sama sekali.

Pandangan Ki Hadjar sendiri lebih condong menempatkan sila Perikemanusiaan (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) yang berdiri sebagai pokoknya. Baik secara deduktif maupun induktif, ia mendasari keempat sila lain sebagai perimbangannya maupun urut-urutannya. Maka sangatlah boleh jika orang maupun organisasi dalam menghidupkan Pancasila itu ada yang lebih menyukai sila Kebangsaan (Persatuan Indonesia) sebagai pucuknya, atau memilih sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai akar tunggangnya, dan begitu pula untuk lain seterusnya.

Pokok ajaran Pancasila

Pancasila bagi Ki Hadjar terlahir dalam konteks tuntutan zaman untuk menyudahi praktik penjajahan bangsa atas bangsa dan manusia atas manusia di seluruh dunia. Ia merupakan hasil dari perjuangan rakyat yang secara jiwa dan raga telah mati-matian mewujudkan revolusi in optima forma, suatu revolusi yang senyata-nyatanya untuk memusnahkan kolonialisme yang bersifat imperialistik dan kapitalistis. Revolusi Indonesia sebagai upaya pembalikkan zaman dan keadaan yang penuh perhitungan baik moril maupun materil dan diperjuangkan sejak 1908 hingga memuncak pada 1945.

Pancasila yang telah diperjuangkan secara teoritis dan praktis oleh kaum pergerakan di seluruh penjuru kepulauan dari Sabang hingga Merauke itu telah menjadi “rukun kenegaraan” yang melalui lima perkataannya mampu menggambarkan sifat, bentuk, isi, dan irama dari segala cita-cita yang didukung oleh seluruh rakyat Indonesia. Revolusi nasional berdasar Pancasila ini pula yang membuat harkat martabat bangsa Indonesia diakui dunia, dengan sorotan kaum penjajah yang tak berani menyalahkan sikap kemerdekaan kita, dan kaum terjajah Asia-Afrika menganggapnya sebagai sebuah kepeloporan.

Pancasila memberi kekuatan besar bagi kita untuk meneruskan perjuangan suci ini agar tak mudah dikalahkan oleh tantangan apapun dalam pergaulan dunia ini. Kita berani meyakini berada dalam posisi kebenaran yang direstui Tuhan Yang Maha Esa. Kita menjelma menjadi insan manusia yang berani karena benar memperjuangkan kemanusiaan itu sendiri. Bekal kebangsaan memperkuat karena kita tidak pernah berdiri sendiri dan selalu saling bahu membahu mengemban kewajiban nasional. Kita berkemauan untuk berdaulat menentukan nasib bersama, bukan satu atau dua golongan saja karena masa depan adalah tanggung jawab bersama seluruh rakyat. Kita menjunjung jaminan terpenuhinya kepentingan seluruh rakyat, baik yang bertali dengan penghidupan dalam masyarakat maupun berkenaan dengan hidup kebatinannya.

Sebagai penutup, Ki Hadjar menyebut Pancasila dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara mengandung sifatnya sang matahari, yang telah ditetapkan oleh hukum alam atas kehendak Tuhan untuk menebarkan sinarnya. Pancaran sinar matahari yang dibutuhkan bagi berlangsungnya kehidupan seisi semesta, tanpa pernah membeda-bedakan, tak pernah memaksa atau pula melarang. Terpancar merata dan adil, sama rata dan sama rasa bagi siapapun yang memerlukan sinarnya. (hal. 20).

Demikianlah hakikat atau sifat, bentuk atau susunan, dan isi atau ajaran Pancasila itu dalam uraian reflektif Ki Hadjar Dewantara yang orisinal dan tentunya sangat kontekstual sepanjang masa. Karenanya buku ini wajib masuk dalam barisan teratas karya klasik pemikir kebangsaan kita, yang sebaik-baiknya pula masih harus disarankan untuk dibaca dan dipahami oleh setiap warga negara Indonesia.

Salam Pancasila!

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Sukarno, Natal, dan Pelarangan Sinterklas

Sukarno, Natal, dan Pelarangan Sinterklas

Pada 24 Desember 1945, saat situasi Republik Indonesia masih mencekam akibat

Next
Asal-Usul Istilah Kiri dan Kanan dalam Politik

Asal-Usul Istilah Kiri dan Kanan dalam Politik

Hai, pembaca Merdika, kalian tentu sering mendengar label “kiri” dan “kanan”

You May Also Like
Total
0
Share