Indonesia di bawah Sukarno terus menegaskan garis politiknya yang anti-neokolonialisme. Di dalam negeri, ada usaha mendorong ekonomi yang berdikari. Politik juga ditegaskan berdaulat.
Di luar negeri, Indonesia terus menggalang politik anti-nekolim, dari Konferensi Asia Afrika 1955, Gerakan Non-Blok, hingga politik “new emerging forces” alias NEFO di tahun 1960-an.
Tentu saja, politik anti-nekolim itu mengganggu kepentingan banyak negara. Terutama negara-negara yang selama ini teridentifikasi sebagai imperialis, khususnya Amerika Serikat.
Berbagai cara dilakukan imperialis, baik langsung maupun tidak langsung, untuk mengganggu dan menghentikan politik anti-nekolim Indonesia. Termasuk merongrong pemerintahan Sukarno.
Tahun 1958, saat peringatan HUT proklamasi kemerdekaan, Sukarno membeberkan lima skenario imperialis yang merongrong pemerintahannya.
Pertama, negara-negara imperialis menggoyang daerah atau pemerintahan lokal. Misalnya, dengan dalih pembangunan, pemerintah lokal didorong menggugat pemerintahan pusat agar diberi otonomi.
Padahal, kata Sukarno, pemerintah pusat sudah mengeluarkan aturan tentang otonomi, seperti Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden Tahun 1960.
Tak berhenti di situ, imperialis juga bermain mata dengan pemerintah dan penguasa-penguasa lokal untuk melakukan penyelundupan dan beragam bisnis ilegal. Ada banyak pengiriman barang keluar secara ilegal. Akibatnya, negara merugi, tetapi kantong penguasa lokal justru menjadi lebih gemuk.
Kedua, menggunakan isu komunis untuk menghantam pemerintah pusat. Mereka menuding pemerintah pusat adalah komunis. Sukarno disebut gembongnya komunis.
Setelah itu, imperialis dan penguasa lokal menggunakan sentimen anti-komunis untuk merangkul golongan atau masyarakat anti-komunis di daerah.
“Rakyat dihasut habis-habisan supaya anti-Jakarta sebab Jakarta adalah komunis, ditakut-takuti dengan momok komunis, dicekoki terus-menerus dengan penyakit communisto-phobie, yaitu penyakit takut kepada komunis,” kata Sukarno.
Mari lihat contohnya. Di Sulawesi Selatan ada pemberontakan yang dilakukan oleh Kahar Muzakkar. Untuk memberi legitimasi ideologis pada pemberontakannya, lalu menyeberang ke DI/TII, Kahar menuding pemerintah pusat terlalu memberi tempat pada komunis.
Ketiga, menabur aksi terorisme. Aksi teror ini didalangi oleh DI/TII dan kelompok-kelompok separatis. Tak jarang, aksi teror itu diarahkan langsung pada Sukarno.
Sepanjang 1950-an hingga akhir kekuasaannya, Sukarno berkali-kali menjadi target terorisme. Ia, misalnya, pernah digranat di Cikini oleh gerombolan DI/TII (1957); pernah diberondong dari udara oleh pesawat Mig-17 yang dipiloti oleh Maukar (1960); iring-iringan kendarannya juga pernah diberondong mortir saat berkunjung ke Sulawesi Selatan (1960). Selain itu, ia juga pernah diberondong saat menunaikan salat Idul Adha (1962); ia juga pernah digranat di Makassar pada 1962.
Keempat, aksi dan pemberontakan separatis yang boncengi oleh imperialis. Kasus yang paling menonjol adalah pemberontakan PRRI dan Permesta.
Sukarno mengendus keterlibatan negara-negara imperialis dalam menyokong pemberontakan PRRI dan Permesta, terutama dukungan uang dan senjata.
“Di Tokyo saya diberi tahu tentang fakta-fakta dan kristalisasi common front antara petualang dan imperialis itu yang menjelma dalam PRRI,” ungkapnya.
Kelima, agresi langsung dari pihak imperialis, seperti straffing (memberondong ke darat menggunakan pesawat dalam jarak yang rendah) dan pengeboman.
Contoh kasusnya adalah Allen Pope, seorang tentara bayaran yang dipergunakan CIA untuk mendukung pemberontakan separatis di Indonesia.
Tahun 1958, Allen Pope menggunakan pesawat B-26 Invader untuk memborbardir Kota Ambon. Beruntung, penerbang-penerbang AURI berhasil menghentikan aksi itu dan menembak jatuh pesawat Allen Pope.
Allen Pope selamat dari peristiwa itu. Ia berhasil terjun dengan parasut sebelum pesawatnya hancur. Namun, ia tertangkap di darat oleh pasukan TNI. Dia diseret ke pengadilan, lalu dijatuhi hukuman mati. Namun, karena pertimbangan kemanusiaan, Sukarno mengampuni warga negara AS tersebut.
Memang, sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia merdeka tidak sepi dari gangguan. Mulai dari agresi Belanda sepanjang 1945 hingga 1949.
Lalu, pasca pengakuan kedaulatan 1949, republik muda ini diguncang sejumlah pemberontakan: Republik Maluku Selatan (RMS), DI/TII, Pemberontakan Andi Azis/eks KNIL di Makassar, Merapi Merbabu Complex, dan lain-lain.
Memang, meskipun tertatih-tatih, pemerintahan Sukarno dan angkatan perang berhasil mematahkan pemberontakan dan gerakan separatis itu satu per satu.
Sayang sekali, di pertengahan 1965, sebuah kudeta merangkak―dimulai dengan kudeta yang dirancang gagal pada pengujung September 1965, Supersemar, hingga Sidang Istimewa MPRS tahun 1967―berhasil melengserkan Sukarno dari kekuasaan.
Kudeta itu tidak terduga dan tak terbaca. Bahkan, sepanjang 32 tahun Orde Baru, aksi itu tidak dianggap sebagai kudeta. Melainkan dianggap “aksi penyelamatan pancasila dan RI” oleh Suharto.
Belakangan, setelah Suharto lengser, lalu dokumen-dokumen sejarah dibuka kembali, barulah terkuak soal kudeta merangkak itu.