Berlebaran di Masa Revolusi Kemerdekaan

Lebaran selalu jadi momen penuh suka cita. Inilah hari kemenangan bagi umat muslim usai menunaikan ibadah puasa selama satu bulan lamanya, dengan bersilaturahmi, berbagi kebahagiaan, menyantap ketupat, dan opor ayam.

Namun, bagaimana rakyat Indonesia berlebaran di masa-masa revolusi kemerdekaan? Saat itu, kumandang takbir terdengar bersahut-sahutan dengan suara tembakan dan dentuman meriam.

Di masa revolusi, Lebaran bukan sekadar perayaan. Ia adalah jeda yang rapuh di antara bunyi mesin-mesin perang dan harapan atas kemerdekaan Tanah Air yang sejati.

Mari, kita mengenang Lebaran di masa-masa revolusi kemerdekaan yang berlangsung antara 1945 hingga 1949.

Proklamasi Kemerdekaan kita, 17 Agustus 1945, jatuh pada 9 Ramadan 1334 Hijriah. Jadi, bangsa ini merdeka di tengah bulan suci Ramadan.

Lebaran tahun 1945 ada dua versi. Ada yang merayakannya pada 7 September 1945, ada juga yang merayakan 8 September 1945.

Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Jakarta (semacam parlemen di masa itu) mengeluarkan seruan ajakan berlebaran di Lapangan Gambir (sekarang Monas) pada 8 September 1945.

“Ajaklah keluarga dan kawan-kawan untuk bersama-sama sembahyang Id. Sembahyang dimulai jam 8.30 pagi,” demikian bunyi seruannya.

Melihat kalender 1945, yang bisa dicari di google, Idulfitri tahun 1945/1334 H jatuh pada Sabtu, 8 September 1945.

Penetapan 1 Syawal 1443 H pada 8 September 1945 dilakukan oleh Gunseikanbu Syuumubu­-semacam Kantor Urusan Agama di zaman Jepang. Perlu diketahui, meski Indonesia sudah merdeka, tetapi saat itu sisa-sisa administratur Jepang masih bertahan.

Muhammadiyah punya versi sendiri. Organisasi yang kala itu dipimpin Ki Bagus Hadikusumo tersebut menetapkan 1 Syawal 1443 H jatuh pada 7 September 1945.

Lebaran 1945 adalah Lebaran pertama dalam suasana Indonesia merdeka. Meski Jepang belum sepenuhnya pergi, tetapi suasana Lebaran berlangsung meriah. Saat itu tak ada perang, bunyi tembakan, apalagi ledakan bom.

Sebuah video di YouTube menunjukkan kemerihan Lebaran pertama di masa revolusi itu. Lapangan Gambir dipenuhi rakyat yang menunaikan salat Id.

Usai berlebaran, rakyat Jakarta tumpah-ruah di jalan-jalan. Ada yang mengunjungi kerabat. Ada yang berlibur dan mengunjungi tempat-tempat wisata.

Lebaran di masa ini juga tak lepas dari urusan politik. Ceritanya, di malam Lebaran, ketika gema takbir berkumandang, Sukarno menerima kunjungan tamu misterius. Sosok itu tak lain adalah Tan Malaka, aktivis lawas yang sudah malang-melintang dalam pergerakan anti-kolonial sejak 1920-an.

Perihal pertemuan di malam Lebaran itu, beberapa sumber menyebut maksud kedatangan Tan Malaka adalah menawarkan: bila sesuatu yang buruk terjadi pada Sukarno dan Hatta, maka kepemimpinan nasional akan dilanjutkan oleh Tan Malaka.

Sekarang, mari kita beranjak ke Lebaran 1946. Saat itu, situasinya sudah berbeda. Tentara Sekutu, yang diboncengi NICA, sudah merangsek ke wilayah RI. Jakarta tak kondusif setelah dikuasai NICA.

“Keadaan di Jakarta sudah begitu gawat, sehingga aku tak bisa lama menetap di situ,” kenang Sukarno.

Karena itu, pada 4 Januri 1946, Ibu Kota RI pindah ke Yogyakarta. Karena itu, pada Lebaran kedua Indonesia merdeka, Sukarno dan pemimpin Republik lainnya berlebaran di Yogyakarta.

Tapi, Lebaran tahun 1946 tak aman. NICA ada di mana-mana dengan terornya. Bentrokan tak jarang terjadi. Dentuman meriam dan desingan peluru mulai terdengar bersahut-sahutan kembali.

Di Yogyakarta, Ibu Kota Republik, situasinya tak lebih baik. Ada krisis politik di internal republik. Hari itu, ada ketegangan antara kabinet yang dipimpin oleh Sjahrir dengan kelompok oposisi yang dipimpin oleh Tan Malaka.

Puncaknya, pada 3 Juli 1946, menjelang bulan Ramadan, kelompok oposisi di bawah payung Persatuan Perjuangan berusaha melancarkan kudeta. Namun, seperti dicatat sejarah, kudeta itu gagal.

Karena itu, menjelang Lebaran 1946, yang jatuh pada 28 Agustus 1946, ada larangan mudik. Di berbagai tempat, terjadi bentrokan antara pejuang RI versus NICA. Bahkan, bentrokan itu terjadi pada hari Lebaran.

Seperti diberitakan Antara, 30 Agustus 1946: bertepatan dengan Hari Raya Idulfitri pada 28 Agustus, barisan rakyat memberi pukulan pada pasukan-pasukan NICA di Desa Tjibeber (Bogor), sehingga mereka terpaksa mundur.

Tetapi, sebuah foto di buku Rosihan Anwar, Sejarah Kecil “Petite Histoire” Jilid 1, memberi keterangan: Panglima Soedirman bersama masyarakat Jakarta menjalankan sembahyang Idulfitri di Lapangan Ikada (November 1946).

Tentu saja, keterangan foto itu perlu dipertanyakan akurasinya. Sebab, Idulfitri 1946 jatuh pada 28 Agustus, bukan November. Lagipula, situasi Jakarta saat itu tak memungkinkan salat Id secara terbuka, apalagi menghadirkan Panglima Soedirman.

Sekarang, kita beranjak ke Lebaran 1947. Suasananya lebih perih lagi. Baru saja umat Islam memasuki bulan Ramadan, tepatnya 2 Ramadan malam, 20 Juli 1947, tentara Belanda melancarkan agresi militernya.

Hampir seluruh wilayah republik, yang saat itu tinggal meliputi Jawa dan Sumatera, digempur. Ibu Kota RI di Yogyakarta tak luput dari serangan udara. Lapangan terbang Maguwo, yang berada di Yogyakarta, diserang dua kali oleh pesawat-pesawat Belanda pada 7 Ramadan.

Pada 29 Juli 1947, pesawat-pesawat AURI di bawah pimpinan Komodor Halim Perdanakusumah, melancarkan serangan balasan.

Namun, naas. Ketika Belanda melakukan serangan balasan lagi, sasarannya adalah pesawat Dakota dengan simbol Palang Merah, yang tengah membawa obat-obatan dari Singapura. Tragedi itu menewaskan Komodor Agustinus Adisucipto, Komodor Abdurrahman Saleh, dan Adisumarmo.

Karena agresi militer Belanda, perayaan Idulfitri di sejumlah tempat tidak bisa dilakukan. Terutama di daerah yang berhasil diduduki oleh Belanda.

Beruntung, umat Islam di Kota Yogyakarta masih bisa merayakan Lebaran. Salat Id diselenggarakan di Alun-alun Yogyakarta. Hadir di situ: Sukarno, Panglima Soedirman, Sultan Hamengkubowono IX, dan lain-lain.

Sekarang, kita berpindah ke tahun 1948. Suasana republik tak kunjung membaik. Selain agresi militer Belanda, di internal republik terjadi perpecahan yang dipicu oleh hasil persetujuan Renville dan rencana program reorganisasi dan rasionalisasi (Rera), antara kelompok kiri versus Hatta.

Kabinet kiri yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin lengser. Sebelumnya, Amir dikritik terkait perjanjian Renville yang dianggap merugikan republik. Setelah Amir jatuh, naiklah Bung Hatta. Salah satu program Hatta adalah reorganisasi dan rasionalisasi angkatan perang.

Kelompok kiri di bawah payung Front Demokrasi Rakyat (FDR) menolak proposal Hatta itu. Ketegangan meningkat setelah seorang penentang program Rera, Kolonel Sutarto, komandan Pasukan Panembahan Senopati, ditembak mati. Ini terjadi hanya beberapa hari jelang Ramadan.

Memasuki Ramadhan, ketegangan kian meningkat. Terjadi aksi saling culik dan saling serang antara kelompok kiri dengan Divisi Siliwangi.

Melihat nasib republik diujung perpecahan, Sukarno mengajak kiai dari Nahdlatul Ulama (NU), Kiai Wahab Chasbullah, datang ke Istana. Saat itu, Sukarno meminta saran Kiai Wahab perihal cara mempersatukan kembali kekuatan-kekuatan politik yang berseteru.

Singkat cerita, dari pertemuan itu tercetus ide untuk menggelar silaturahmi nasional, yang mempertemukan berbagai kekuatan politik yang berseteru itu. Kelak, silaturahmi nasional itu diberi nama “halalbihalal”.

Idulfitri tahun 1948 jatuh pada 6 Agustus. Di Jakarta, dua hari jelang Lebaran, pejabat kota Jakarta (Hoofd Tijdelijk Bestuur) melarang salat Id di Pegangsaan Timur 56 (bekas kediaman Bung Karno). Mereka menganjurkan agar salat Id dilakukan di Lapangan Gambir.

Tetapi panitia dan rakyat menolak. “Pegangsaan Timur 56 oleh rakyat Jakarta dianggap simbol republik, Lapangan Gambir simbol kekuasaan asing,” tulis Pramoedya Ananta Toer dkk di Kronik Revolusi Indonesia: Jilid IV (1948).

Meski dihalangi, bahkan dijaga dengan tank, rakyat Jakarta tetap berbondong-bondong ke Pegangsaan Timur 56 untuk menunaikan salat Id.

Tahun 1949, suasana perang mulai mereda. Setelah agresi militernya yang ke-2, Belanda tak berdaya digiring oleh pihak internasional ke meja perundingan.

Pada 2 Juni 1949, bertepatan dengan 7 Ramadan, pasukan Belanda meninggalkan Kota Yogyakarta, setelah menduduki kota itu selama enam bulan. Pemerintahan RI di Yogyakarta dipulihkan.

Tanggal 6 Juli 1949, Sukarno dan Hatta tiba kembali di Yogyakarta, setelah diasingkan ke sejumlah tempat di Sumatera-terakhir di Bangka. Ia disambut ribuan massa dan pekik “merdeka!” di sepanjang jalan.

Bersamaan dengan itu, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandatnya ke pemerintahan republik di Yogyakarta.

Lalu, pada 27 Juli 1949, tibalah hari Lebaran. Rakyat Indonesia di sejumlah tempat kembali merayakan Lebaran dengan penuh suka-cita. Kendati di beberapa tempat kadang masih terjadi kontak senjata antara pejuang RI versus tentara Belanda.

Hari Lebaran 1949 bersamaan dengan hiruk-pikuk pemerintah RI menyiapkan delegasi menuju Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda.

Demikian, secuplik kisah Lebaran di masa-masa Revolusi Agustus 1945. Meski di masa-masa sulit, ada ketabahan dan semangat juang yang tak pernah kalah. Hingga terwujud apa yang diserukan oleh Sukarno pada 1943: kemenangan akhir pasti di pihak kita.

Akhir kata, kami ucapkan: Selamat Idulfitri 1446 H/2025 M. Minal aidin wal-faizin. Mohon maaf lahir dan bathin. Merdeka!

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
BHR Ngenes Pengemudi Ojol

BHR Ngenes Pengemudi Ojol

Namun, asa itu langsung menguap begitu mereka tahu BHR yang digembar-gemborkan

Next
Tamu Misterius Sukarno di Malam Lebaran

Tamu Misterius Sukarno di Malam Lebaran

Malam itu, ketika kota tengah menyambut Lebaran dengan sukacita diiringi

You May Also Like
Total
0
Share