Tamu Misterius Sukarno di Malam Lebaran

Pada malam Lebaran pertama Indonesia merdeka, 9 September 1945, sebuah peristiwa bersejarah terjadi: dua tokoh penting revolusi Indonesia, Sukarno dan Tan Malaka, bertemu.

Malam itu, ketika kota tengah menyambut Lebaran dengan sukacita diiringi kumandang takbir, sebuah rumah di Jalan Kramat Nomor 128 Jakarta menjadi saksi bisu sebuah peristiwa penting dalam sejarah Indonesia.

Rumah itu adalah milik Soeharto, dokter pribadi Sukarno. Sehari sebelumnya, ia diminta oleh Sukarno untuk menyediakan tempat pertemuan tertutup.

Malam itu, usai salat Isya, Sukarno tiba di rumah dr. Soeharto ditemani ajudannya. Tak lama kemudian, seorang tamu misterius, yang ditemani Sayuti Melik, juga tiba tak lama kemudian.

“Berturut-turut saya tuntun Bung Karno dan tamu misterius itu ke kamar yang saya sediakan. Dalam kegelapan malam itu sang tamu rahasia memperkenalkan dirinya kepada saya sebagai Abdulrajak dari Kalimantan,” kenang dr. Soeharto.

Saat Sukarno bertemu tamu misterius itu, semua lampu dimatikan. Pertemuan itu betul-betul tertutup rapat dari pengetahuan orang-orang di luar. Karena sifat pertemuan yang super tertutup, Soeharto pun tak berusaha mencari tahu.

Sumber: IG/Merdika.id

Siapa tamu misterius itu?

Pada Maret 1946, perihal pertemuan tertutup dalam gelap di malam Lebaran mulai memperlihatkan titik terang. Saat itu, saat menyertai perjalanan Sukarno dan Hatta ke Solo untuk menghadiri Sidang Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Soeharto mendengar cerita soal sosok Abdulrajak itu.

“Menurut Bung Karno, nama Abdulrajak itu sebetulnya nama samaran. Nama sebenarnya adalah Tan Malaka,” ungkap Soeharto.

Perihal pertemuan misterius itu, Tan Malaka sendiri menuliskannya dalam autobiografinya, Dari Penjara ke Penjara (1948). “Pada permulaan September 1945 itulah Ir. Soekarno dan saya berkenalan nama dengan nama,” tulisnya.

Dalam pertemuan itu, Sukarno menyinggung buku Tan Malaka yang terkenal di tahun 1920-an, Massa Actie. Sukarno mengonfirmasi penjelasan Tan di buku Massa Actie perihal watak imperialisme Inggris.

Harry Poeze, sejarawan yang banyak menghabiskan hidupnya untuk meneliti Tan Malaka, dalam buku Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946, menceritakan bahwa Sukarno terilhami oleh pemikiran Tan Malaka sejak 1920-an, terutama Massa Actie dan Naar de Republiek Indonesia.

Sejak 1929, Sukarno mulai banyak menggunakan istilah massa aksi dalam risalah-risalahnya. Ia selalu membedakan massa actie (massa yang berkesadaran revolusioner) dengan massale actie (kerumunan massa tanpa kesadaran revolusioner).

Menurut Tan Malaka, ketika memeriksa perkara Sukarno pada 1929, jaksa Hindia-Belanda mencoba mengaitkan massa aksi dalam risalah Sukarno dengan karya Massa Actie-nya Tan Malaka. Bahkan ada keterkaitan pendidikan-pendidikan politik PNI dengan brosur-brosur Tan Malaka.

Selain membicarakan Massa Actie, Sukarno juga menyinggung situasi kritis pasca proklamasi kemerdekaan, termasuk kemungkinan-kemungkinan terburuk yang berpotensi menimpa pemimpin Republik Indonesia kala itu, Sukarno dan Hatta.

Di ujung pembicaraan, Sukarno menunjuk Tan Malaka untuk melanjutkan kepemimpinan revolusioner ketika dirinya dan Hatta sudah tak lagi berdaya atau berhadap-hadapan dengan situasi terburuk.

“Kalau saya tiada berdaya lagi, maka kelak pimpinan revolusioner, akan saya serahkan kepada saudara,” kata Sukarno kepada Tan, seperti dikenang Tan Malaka dalam “Penjara ke Penjara”.

Usai pertemuan rahasia dan singkat itu, Sukarno menyerahkan sejumlah uang untuk dana perjuangan kepada Tan Malaka.

Testamen politik

Pasca pertemuan rahasia itu, banyak peristiwa politik mewarnai Tana Air yang baru merdeka. Pada 15 September 1945, pasukan Inggris yang diboncengi oleh NICA mendarat di Jakarta. Lengkap dengan mesin-mesin perangnya.

Dalam situasi yang terjepit, kaum muda revolusioner menggalang rapat umum berskala besar di Lapangan Ikada, Jakarta pada 19 September 1945. Ratusan ribu rakyat menghadiri rapat itu sekaligus membulatkan tekad untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan.

Usai rapat umum di Lapangan Ikada itu, Sukarno dan Tan Malaka kembali bertemu. Pertemuan itu kembali diperantarai oleh Sayuti Melik. Kali ini, lokasi pertemuan digelar di rumah dr. Muwardi, tokoh yang pernah memimpin laskar revolusioner, Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI).

“Yang kedua kalinya tiada lama sesudah itu dengan perantara Sdr. Sajuti Melik juga. Saya berjumpa dengan Presiden Soekarno di rumah Dr. Muwardi (Banteng) juga dalam keadaan rahasia,” kenang Tan Malaka.

Dalam pertemuan itu, Tan Malaka menguraikan analisanya pada situasi nasional yang berubah cepat, mulai dari kemungkinan Belanda yang akan datang memboncengi Sekutu hingga ancaman terhadap keberlangsungan pemerintahan nasional. Ia mengusulkan agar pemerintahan dipindahkan dari Jakarta ke pedalaman.

Di ujung pertemuan, Sukarno kembali menegaskan perihal keberlanjutan revolusi Indonesia jika dirinya dan Hatta tertangkap. Apalagi saat itu santer beredar isu bahwa Inggris/Sekutu akan menangkap Sukarno dengan tuduhan “penjahat perang” karena pernah berkolaborasi dengan Jepang.

Kali ini, Sukarno menjanjikan sebuah testamen, semacam surat wasiat politik, yang menegaskan bahwa Tan Malaka akan menjadi pelanjut kepemimpinan revolusi Indonesia jika Sukarno-Hatta ditangkap.

Pada 30 September 1945, Sukarno kembali bertemu dengan Tan Malaka, Iwa Kusumasumantri, dan Gatot Tarunamihardja di rumah Ahmad Soebardjo. Dalam pertemuan rahasia itu, keempat tokoh sepakat menunjuk Tan Malaka sebagai pemegang tampuk kepemimpinan revolusi jika Sukarno-Hatta tertangkap.

Usai pertemuan, Sukarno dan Soebardjo menemui Hatta di rumahnya dan menyampaikan hasil kesepatan itu. Namun, Hatta tidak setuju jika kepemimpinan revolusi diserahkan pada satu orang. Ia mengusulkan empat orang. Hatta sendiri mengusulkan nama Sjahrir.

Akhirnya, disepakatilah empat nama yang akan melanjutkan kepemimpinan revolusi jika Sukarno-Hatta tertangkap, yaitu Tan Malaka, Sjahrir, Iwa Kusumasumantri dan Wongsonegoro.

Testamen soal kepemimpinan revolusi itu kemudian ditandatangi oleh Sukarno pada 1 Oktober 1945.

“Karena saya anggap perlu mengorganisir Murba di luar Jakarta, sebab saya pandang Jakarta sudah terancam dan saya belum dapat berhubungan dengan para pemuda Jakarta dan sama sekali belum tahu adanya Markas Benteng 31, maka dengan surat warisan yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta di dalam tas pada tanggal 1 Oktober 1945 saya meninggalkan Jakarta sampai sekarang,” tulis Tan Malaka.

Testamen itu tidak pernah terwujud. Tak lama setelah menerima testamen itu dan berangkat ke medan gerilya, Tan Malaka mulai banyak berselisih paham dengan Sukarno-Hatta perihal strategi revolusi Indonesia. Di satu sisi, Sukarno-Hatta melakukan banyak negosiasi dan kompromi. Sementara di sisi lain, Tan Malaka menghendaki perjuangan tanpa kompromi untuk meraih kemerdekaan 100 persen.

Gesekan antara Sukarno-Hatta dengan Tan Malaka makin menajam pada awal 1946. Tan Malaka mengorganisir sebuah front politik beranggotakan 141 organisasi politik dan laskar dengan nama Persatuan Perjuangan. Front ini berseberangan langsung dengan Kabinet Sjahrir yang disokong Sukarno-Hatta.

Puncaknya, pada 23 Maret 1946, tokoh pergerakan dari Persatuan Perjuangan, seperti Tan Malaka, Achmad soebardjo, dan Sukarni, ditangkap. Sebagai reaksi baliknya, pada 27 Juni 1946, giliran Persatuan Perjuangan yang menculik Sjahrir. Ujung dari konflik ini adalah percobaan kudeta pada 3 Juli 1946.

Sejak itu Sukarno dan Hatta berada di dua sisi politik yang berseberangan. Testamen politik Sukarno tidak terwujud. Ironisnya, Tan Malaka justru gugur dieksekusi prajurit Republik Indonesia, negeri yang diperjuangkannya, di Selopanggung, Kediri, pada 21 Februari 1949.

Total
0
Shares
Comments 1
  1. Sukarno mewariskan Indonesia ke Tan Malaka? Penulisnya dibayangi bahwa negara modern seperti raja feodal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Berlebaran di Masa Revolusi Kemerdekaan

Berlebaran di Masa Revolusi Kemerdekaan

Namun, bagaimana rakyat Indonesia berlebaran di masa-masa revolusi kemerdekaan?

Next
Kisah Socrates Melawan Rezim Militer Lewat Sepak Bola

Kisah Socrates Melawan Rezim Militer Lewat Sepak Bola

Sepanjang karier profesionalnya yang merentang dari 1974 hingga 1989, Socrates

You May Also Like
Total
0
Share