Semakin tua semakin punk, begitu kata grup band punk asal Purbalingga, Sukatani. Dan, kata-kata itu cocok disematkan pada band punk legendaris asal California, Amerika Serikat: Green Day.
Selama lebih dari tiga dekade, Green Day terus bertahan di arus utama musik punk rock. Mereka menjadi raksasa arena rock, konsisten merilis album, dan tetap menggoyang panggung besar. Personel Green Day—Billie Joe Armstrong, Mike Dirnt, dan Tré Cool—semuanya sudah kepala lima, tetapi semangatnya masih meledak-ledak.
Album terbaru mereka, Saviors (2024), adalah bukti bahwa usia hanyalah angka-angka, tetapi semangat, selera, gaya hidup, dan pandangan politik tak boleh menua. Tak hanya menolak tua, Green Day pun tetap bertahan dalam arus musik perlawanan.
Sejarah Green Day
Green Day dibentuk 1987 oleh Billie Joe Armstrong dan Mike Dirnt, dua sahabat yang waktu itu masih berusia belasan tahun. Nama awal mereka adalah Sweet Children, sebelum diganti jadi Green Day—konon karena kecintaan mereka pada ganja. Drummer Tre Cool baru gabung beberapa tahun kemudian, menggantikan John Kiffmeyer.
Mereka mulai dikenal lewat album Dookie (1994), yang meledak di pasaran dan terjual lebih dari 10 juta kopi. Lagu-lagu seperti Basket Case dan When I Come Around jadi anthem anak muda ’90-an yang galau, cemas, tapi tetap rebel. Dengan riff gitar cepat, lirik jujur, dan energi liar, Green Day berhasil membawa punk rock ke radio-radio mainstream.
Green Day menjadi sang pemula pergerakan musik punk renyah yang menaklukkan kanal arus utama. Mereka tampil di sampul majalah besar dan klip lagunya diputar berulang-ulang di MTV.

Mereka berhasil menembus industri musik tanpa kehilangan akar, meskipun sempat dicibir “menjual diri” karena masuk label besar. Tapi Green Day menjawab cibiran itu bukan dengan klarifikasi, melainkan dengan karya yang makin liar dan berani.
”Itu konsekuensinya. Kami pernah kerja serabutan, jadi kurir paket atau penjaga pom bensin. Apa kami harus kembali ke (kehidupan) itu? Pilihan satu-satunya adalah melanjutkan yang telah kami upayakan,” kata Mike Dirnt kepada Rolling Stone.
Tapi mereka bukan cuma soal musik keras dan gaya urakan. Seiring waktu, Green Day makin matang, bukan cuma secara musik tapi juga secara politik.
Dari Gilman Street menjadi politis
Green Day telah lama dikenal sebagai band yang vokal dalam isu politik dan sosial. Sejak awal terbentuk di East Bay Punk Scene, mereka sudah terpengaruh oleh lingkungan yang menekankan anti-rasisme, anti-seksisme, dan anti-homofobia.
Akar mereka tak bisa dipisahkan dari 924 Gilman Street, sebuah tempat musik alternatif nirlaba yang berdiri pada 1986. Pendirinya, Tim Yohannan, menyebut diri penggemar punk dan pembaca marxisme. Ideologi kiri Tim Yohannan sangat terasa di Gilman Street, di mana tempat itu dikelola sebagai koperasi demokratis.
Green Day tumbuh besar di sini. Di YouTube, ada video Green Day lagi manggung di 924 Gilman Street pada 1993. Sebagai anak muda yang sedang mencari bentuk dan arah, Gilman Street merupakan rumah juang yang tepat.
Perubahan politik Green Day makin menguat dan terasa saat Amerika dilanda ketidakpuasan setelah tragedi 9/11. Ketika banyak musisi memilih diam atau patriotik buta, Green Day justru melawan arus. Mereka mempertanyakan perang, mengejek presiden, dan menantang sistem yang dianggap menindas.
Ekspresi politik mereka terang-terangan dalam album American Idiot (2004), yang merupakan kritik terhadap pemerintahan George W. Bush dan budaya media Amerika. Lagu-lagu seperti Holiday dan American Idiot secara eksplisit mengkritik perang Irak dan manipulasi politik.

Perubahan politik itu semakin nampak pada logo tangan menggenggam granat berbentuk hati. Desain ini berasal dari lirik lagu She’s a Rebel, yang berbunyi: “And she’s holding on my heart like a hand grenade.”
Dalam wawancara dengan The Atlantic, Billie Joe bilang, “Kami memang dari awal sudah marah, cuma dulu bentuknya belum jelas. Sekarang kami tahu kepada siapa kami marah.” Ketika banyak musisi takut kehilangan penggemar karena terlalu politis, Green Day justru makin nekat.
Lirik-lirik perlawanan
Dari Warning (2000) sampai Saviors (2024), lirik Green Day makin dipenuhi pesan sosial dan kritik politik. Lagu-lagu mereka enggak cuma catchy, tapi juga punya isi. Di lagu Minority, mereka nyanyi lantang soal keberanian jadi berbeda: “I want to be the minority, I don’t need your authority.”
Holiday adalah lagu anti-perang yang paling jelas, secara eksplisit menyebutkan pemerintahan Bush menyerupai Hitler, mengkritik invasi Irak yang tidak adil, dan membandingkan orang-orang yang pro-perang dengan Nazi secara satir. Tidak berhenti di situ, lagu ini juga mengkritik Demokrat yang mendukung atau membiarkan invasi tersebut.
Kemudian Jesus of Suburbia (American Idiot, 2004), menggambarkan generasi muda yang merasa terasing dan marah terhadap sistem sosial yang korup.

Dalam Know Your Enemy (21st Century Breakdown, 2009), Green Day menyerukan perlawanan terhadap sistem yang menindas dan mengajak pendengar untuk mengenali siapa musuh mereka.
Buat Green Day, musik bukan cuma hiburan, tapi alat untuk bicara jujur. Mereka tidak takut disebut terlalu politis atau “kiri”. Justru itu yang bikin mereka beda. Dalam banyak konser, mereka bahkan teriak “No Trump! No KKK! No fascist USA!” di depan ribuan penonton.
American Idiot dan Trump
Album American Idiot (2004) adalah titik balik penting. Dirilis di masa pemerintahan George W. Bush, album ini bukan cuma sukses secara komersial, tapi juga jadi simbol perlawanan.
Lagu utamanya, American Idiot, jadi kritik keras terhadap media, perang, dan nasionalisme buta. “Don’t wanna be an American idiot,” begitu mereka membuka lagu, langsung menohok keras kebanggaan palsu Amerika.
Yang menarik, lagu ini hidup lagi saat Donald Trump naik jadi presiden. Banyak penggemar memutar American Idiot sebagai bentuk protes. Bahkan sempat ada kampanye online agar lagu itu naik lagi ke tangga lagu Inggris saat Trump datang ke London.
Pada 2016, saat penampilan mereka di American Music Awards, di tengah lagu Bang Bang yang menggambarkan pandangan seorang penembak massal yang melakukan aksi untuk mendapatkan perhatian media, Armstrong menambahkan teriakan, “No Trump, no KKK, no fascist USA,” yang diubah dari teriakan asli “No war, no KKK, no fascist USA” dari band hardcore Millions of Dead Cops (MDC).
Pada 2019, Armstrong mengubah lirik American Idiot dari “I’m not a part of the redneck agenda” menjadi “I’m not a part of the MAGA Agenda.” Mereka juga merilis kaus amal dengan foto mugshot Trump yang ditutup stiker bertuliskan “Nimrod,” mirip dengan wajah album Nimrod mereka.
Dalam video musik “Back in the USA”, mereka menggambarkan Donald Trump sebagai zombie dalam sebuah pidato presiden, menggambarkan betapa besar kebohongan yang disebarkannya.
Di era ketika banyak musisi memilih aman dan netral, Green Day tetap lantang. Album Saviors yang rilis Januari 2024 pun masih membawa semangat itu.

Album itu dibuka dengan lagu The American Dream is Killing Me. Dari judulnya saja sudah bisa diduga ini satire sosial politik. Menurut mereka, ”impian Amerika” yang digemakan pemerintah berdekade lalu kini tak lagi relevan. Pemerintah kepayahan memenuhi kesejahteraan warganya, termasuk soal tempat tinggal dan lapangan kerja.
”Di California, aku melihat tunawisma di jalanan, juga orang-orang yang tak memiliki pilihan hidup. Biaya hidup naik, dan itu menyebabkan kekacauan serta depresi. Lagu itu merefleksikan impian Amerika yang sekarat,” ucap Armstrong kepada radio NPR.
Dalam wawancara dengan Variety, Billie Joe bilang, “Kami bukan aktivis profesional. Tapi kalau kami punya mikrofon dan panggung, kenapa enggak dipakai untuk ngomong yang penting?”
Semakin tua semakin punk
Di usia para personelnya yang sudah kepala lima, Green Day tetap berdiri sebagai suara pemberontak. Mereka membuktikan bahwa punk bukan cuma soal gaya dan tampilan, tapi soal keberanian menyuarakan ketidakadilan. Musik mereka ngajarin kita untuk enggak asal ikut arus, buat berani bilang “tidak” pada ketidakadilan.
Green Day mungkin bukan lagi anak muda galau yang main di garasi. Tapi semangat mereka tetap sama: melawan yang menindas, menyuarakan yang dibungkam, dan bikin musik yang enggak cuma enak didengar tapi juga bikin mikir.
Dan, di dunia yang makin bising tapi penuh kepalsuan ini, suara perlawanan Green Day masih relevan. Masih dibutuhkan, dan masih keras terdengar.