Petisi 50: Gerakan Tokoh Bangsa Menggugat Manipulasi Pancasila

Tahun 1980, suasana politik Indonesia mulai terasa gerah. Orde Baru, yang awalnya mengusung jargon anti-korupsi dan pemurnian konstitusi, pelan-pelan berubah jadi rezim yang alergi terhadap kritik.

Dan, di puncaknya, Soeharto, sang Presiden, Jenderal Besar, Bapak Pembangunan, sekaligus Ketua Golkar seumur hidup de facto, mengungkapkan hal yang bikin banyak orang garuk-garuk kepala, “Yang mengkritik saya berarti mengkritik Pancasila.”

Pernyataan itu disampaikan pada HUT Komando Pasukan Sandhi Yudha (Kopassandha)―kelak menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus), pada 16 April 1980. Hari itu, Pancasila resmi dijadikan perisai pribadi penguasa. Siapa pun yang beda pendapat langsung bisa dicap anti-Pancasila.

Orde Baru dan tafsir tunggal Pancasila

Akar masalahnya sebenarnya sudah muncul sejak akhir 1970-an. Orde Baru mulai merumuskan doktrin tunggal Pancasila sebagai senjata ideologis untuk menundukkan semua elemen masyarakat. Pada 1978, Soeharto mewajibkan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di sekolah, kantor, instansi negara, bahkan organisasi masyarakat.

Jenderal Soeharto, duduk selama upacara di Jarkata, Indonesia, di mana ia secara resmi dilantik oleh Kongres sebagai penjabat presiden baru menggantikan Presiden Sukarno. FOTO/AP

Di tangan Soeharto, Pancasila bukan lagi alat pemersatu, tapi disulap jadi senjata ideologis rezim untuk membungkam keragaman pikiran dan aspirasi warga. Pancasila bukan lagi titik temu dari aneka ragam pikiran, tetapi doktrin kaku untuk menyeragamkan pikiran dan pendapat.

Tak lama kemudian, muncullah Rapat Pimpinan ABRI di Pekanbaru, 27 Maret 1980. Di sana, Soeharto terang-terangan meminta TNI mendukung Golkar dalam pemilu. Alasannya, lagi-lagi demi “menjaga Pancasila”.

Jadi jangan heran kalau para tokoh bangsa mulai resah. Mereka melihat Pancasila bukan lagi nilai bersama, tapi diprivatisasi jadi milik satu orang.

Tapi tak semua diam

Pada 5 Mei 1980, 50 tokoh bangsa dari berbagai latar belakang, mulai militer, sipil, birokrat, tokoh agama, aktivis, hingga mantan pejabat tinggi negara, menggugat balik pernyataan Soeharto tersebut.

Menggunakan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi, nama lembaga yang didirikan oleh Mohammad Hatta dan AH Nasution pada 1978, mereka membuat pernyataan bersama atau petisi yang diberi tajuk Ungkapan Keprihatinan. Belakangan, publik menyebutnya sebagai Petisi 50, sesuai dengan jumlah tokoh yang menandatangani petisi itu.

Para tokoh berharap, petisi itu bisa mengingatkan Soeharto agar tidak bertindak tanpa batas, apalagi menyamakan dirinya dengan Pancasila. Petisi itu juga mengkritik upaya Soeharto menggunakan Pancasila sebagai senjata untuk membungkam lawan-lawan politiknya.

Suharto sedang berburu di hutan Tapos, 1994. Kredit: AP

Isi Petisi 50

Petisi yang diteken oleh 50 tokoh itu dinyatakan sebagai ungkapan keprihatinan atas pernyataan-pernyataan Soeharto yang kontroversial, terutama pidato di Rapat Pimpinan ABRI di Pekanbaru dan HUT Kopassandha di Cijantung.

Berikut isi petisi tersebut:

  • Mengungkapkan prasangka bahwa di antara rakyat kita yang bekerja keras untuk membangun meskipun mereka mengalami beban yang semakin berat, terdapat polarisasi di antara mereka yang ingin “melestarikan Pancasila” di satu pihak dengan mereka yang ingin “mengganti Pancasila” di pihak lain, sehingga muncullah keprihatinan-keprihatinan bahwa konflik-konflik baru dapat muncul di antara unsur-unsur masyarakat;
  • Keliru menafsirkan Pancasila sehingga dapat digunakan sebagai suatu ancaman terhadap lawan-lawan politik. Pada kenyataannya, Pancasila dimaksudkan oleh para pendiri Republik Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa;
  • Membenarkan tindakan-tindakan yang tidak terpuji oleh pihak yang berkuasa untuk melakukan rencana-rencana untuk membatalkan Undang-Undang Dasar 1945 sambil menggunakan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit sebagai alasannya, meskipun kenyataannya hal ini tidak mungkin karena kedua sumpah ini berada di bawah UUD 1945;
  • Meyakinkan ABRI untuk memihak, untuk tidak berdiri di atas seluruh golongan masyarakat, melainkan memilih-milih teman-temannya berdasarkan pertimbangan pihak yang berkuasa;
  • Memberikan kesan bahwa dia adalah personifikasi Pancasila sehingga desas-desus apa pun tentang dirinya akan ditafsirkan sebagai anti-Pancasila;
  • Melontarkan tuduhan-tuduhan bahwa ada usaha-usaha untuk mengangkat senjata, mensubversi, menginfiltrasi, dan perbuatan-perbuatan jahat lainnya dalam menghadapi pemilu yang akan datang.

Petisi itu juga berisikan desakan agar DPR/MPR segera membuat tanggapan resmi terhadap pidato-pidato Soeharto pada 27 Maret dan 16 April 1980.

Dari 50 tokoh penting, ada nama Jenderal AH Nasution, Ali Sadikin (mantan Gubernur Jakarta), Hoegeng Imam Santoso (mantan Kapolri), Syafruddin Prawiranegara (pemimpin PDRI), Burhanuddin Harahap (mantan Perdana Menteri), Kasman Singodimedjo (aktivis dan mantan Jaksa Agung), Muhammad Natsir (mantan Perdana Menteri), dan SK Trimurti (aktivis pergerakan kemerdekaan).

Ali Sadikin, salah satu tokoh Petisi 50. Kredit: Merdeka.com

Dampak petisi 50

Petisi 50 kemudian dibawa ke DPR pada 13 Mei 1980. Delegasi dipimpin oleh dipimpin oleh Mayjen (Purn.) Dr. Azis Saleh.

Pada 3 Juli 1980, 19 anggota DPR mengajukan dokumen berisi dua pertanyaan kepada Presiden Soeharto.

Ada dua poin pertanyaan yang diajukan DPR kepada Soeharto. Pertama, apakah presiden setuju bahwa Ungkapan Keprihatinan itu berisikan masalah penting. Yang kedua, apakah rakyat Indonesia patut mendapat penjelasan secara menyeluruh dan terperinci mengenai masalah-masalah yang diangkat.

Pada 1 Agustus 1980, Soeharto menyampaikan jawaban kepada Ketua DPR Daryatmo. Jawaban Soeharto dilengkapi lampiran salinan dari dua pidatonya yang dipersoalkan. Jawaban Soeharto berlindung di balik dalih formalistik dan melempar sepenuhnya kepada DPR. Di sisi lain, DPR yang sudah dikuasai sepenuhnya oleh barisan pendukung Soeharto justru menghentikan proses itu dengan alasan tanggapan Soeharto sudah cukup.

Meskipun proses politik Petisi 50 tak berjalan lama dan dampak politiknya terhitung kecil, tetapi gerakan itu membuat Soeharto sangat marah.

“Aku tak suka cara-cara mereka, terlebih lagi karena mereka menyebut diri mereka patriot,” ungkap Soeharto dalam Soeharto, My Thoughts, Words and Deeds: An Autobiography.

Marahnya Soeharto tak hanya lewat kata-kata. Ia juga mencabut hak-hak perjalanan para tokoh Petisi 50. Tak hanya itu, media massa pun dilarang menerbitkan foto tokoh Petisi 50 maupun mengutip pernyataan mereka.

Seolah belum cukup, Soeharto juga mempersulit para tokoh untuk mendapat pinjaman dari bank maupun mendapat kontrak bisnis. Singkat cerita, aktivitas politik, ekonomi, bahkan mobilitas mereka dimatikan.

Nasution, misalnya, pada 1988 saat mendapat undangan mengisi seminar di Kuala Lumpur, pihak imigrasi Indonesia tidak mengeluarkan exit permit untuknya. Bayangkan, Soeharto melakukan ini pada seorang Jenderal Besar dalam sejarah tentara Indonesia; wakil Panglima Besar TKR, Kepala KSAD, mantan Panglima ABRI, Menteri Pertahanan, dan mantan Ketua MPRS.

Lima tahun kemudian, Soeharto justru semakin mengukuhkan posisi Pancasila sebagai ideologi penguasa, sekaligus untuk menyeragamkan pikiran lewat pemberlakuan asas tunggal melalui Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Suara Perlawanan Green Day yang Tak Padam

Suara Perlawanan Green Day yang Tak Padam

Selama lebih dari tiga dekade, Green Day terus bertahan di arus utama musik punk

Next
Banyak Siswa Keracunan, Program MBG Harus Dievaluasi Total

Banyak Siswa Keracunan, Program MBG Harus Dievaluasi Total

Pernyataan tersebut cenderung meremehkan dampak kasus keracunan, menunjukkan

You May Also Like
Total
0
Share