Hari Tani Nasional, yang diperingati setiap tanggal 24 September, merujuk pada hari pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
UUPA 1960 adalah upaya untuk dekolonisasi hukum agraria warisan kolonial, yaitu UU Agraria 1870 atau Agrarische Wet 1870. Selain itu, UUPA juga untuk menata sektor agraria agar berkeadilan sosial dan memakmurkan rakyat sesuai amanat pasal 33 UUD 1945.
Nah, bagaimana sejarah lahirnya UUPA 1960?
Kehidupan agraria pra-kolonialisme
Dalam hukum adat Nusantara yang asli, menurut Mohammad Hatta, tanah diperlakukan sebagai hak milik masyarakat atau desa. Saat itu, tanah tidak boleh menjadi objek perniagaan.
“Orang-seorang berhak memakainya sebanyak yang perlu baginya dan keluarganya. Hanya tak boleh menjualnya. Kalau tidak dipakai lagi, tanah itu kembali ke masyarakat,” kata Hatta.
Namun, bagi masyarakat adat, tanah bukan sekadar objek ekonomi atau faktor produksi ekonomi. Tetapi juga sebagai penanda eksistensi masyarakat adat, warisan leluhur, dan punya kaitan dengan sistem kepercayaan.
Di masa kerajaan feodal, konsep kepemilikan ala barat juga belum dikenal. Memang, ada klaim kepemilikan tanah oleh penguasa atau raja, tetapi hal itu lebih ke hak yurisdiksi atas seluruh tanah dalam batas kekuasaannya.
Di masa kerajaan Majapahit, ada semacam undang-undang yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan tanah, yaitu Pratigundala. Intinya, tanah tetap menjadi hak milik raja, sedangkan rakyat hanya memiliki hak pakai.
Politik agraria di bawah kolonialisme
Situasi agraria Nusantara mulai berubah sejak masuknya kolonialisme. Pada 1811, di bawah kekuasaan Gubernur Jenderal Thomas Raffles, konsep domein (tanah milik negara atau pemerintah) mulai diadopsi. Dengan konsep domein itu, Raffles mulai menerapkan pajak bumi atas tanah.
Di tahun 1830-an, ketika Gubernur Jenderal Van den Bosch memperkenalkan Cultuurstelsel, dia tetap berpegang pada konsep Raffles: tanah milik negara, sedangkan kepala desa menyewakannya kepada pemerintah.
Yang agak berbeda, petani penyewa tak lagi dikenakan kewajiban landrente (pajak tanah), tetapi diwajibkan menyediakan seperlima dari tanahnya untuk ditanami dengan tanaman yang dimau oleh pemerintah.
Puncaknya, pada 1870, ada desakan kuat dari kaum liberal dan swasta di negeri Belanda untuk mengubah struktur kepemilikan dan penguasaan tanah di Hindia-Belanda agar terbuka pada kehadiran modal swasta.
Akhirnya, setelah melalui proses agak panjang, disahkanlah Agrarische Wet 1870. UU Agraria kolonial ini mengakui hak milik mutlak (eigendom) dan hak milik negara atas tanah-tanah terlantar dan tak bertuan (domein verklaring).
Selain itu, UU Agraria kolonial ini juga menjamin hak pengusaha swasta untuk menyewa tanah dalam jangka waktu yang panjang, yaitu 75 tahun. Hak ini disebut “erfpacht”.
Dengan adanya kepastian hak milik ditambah erfpacht itu, maka proses sewa dan jual tanah pun dimungkinkan. Sejak itu, modal swasta berduyun-duyun mendatangi Hindia-Belanda. Perkebunan swasta berskala besar bermunculan di Jawa dan Sumatera.
Faktanya, UU Agraria kolonial itu tak benar-benar menjamin hak penduduk asli terhadap tanah. Sebaliknya, perampasan tanah terjadi di mana-mana. Sepanjang 1870-an hingga 1930-an, ada pemberontakan petani di berbagai tempat, seperti kasus Amat Ngisa (1871), pemberontakan Cilegon (1888), kerusuhan Ciomas (1886), pemberontakan Gedangan (1904), dan pemberontakan Dermojoyo di Nganjuk (1907).
Kemudian ada pula peristiwa Langen di daerah Banjar, Ciamis (1905), peristiwa Cisarua dan Koja, Plered (1913-1914), dan peristiwa Rawa Lakbok, Ciamis (1930), serta pemberontakan Haji Hasan di Cimareme (Garut) pada 1919.
Tidak mengherankan, ketika gerakan anti-kolonial mulai bangkit, salah satu perhatian mereka adalah pada isu agraria dan pembelaan terhadap hak petani.
Sarekat Islam di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto banyak bergerak membela hak petani. Selain advokasi Sarekat Islam di Surakarta dan Toli-Toli di Sulawesi Tengah, ada isu Afdeling B di daerah Jawa Barat. SI dituding terlibat dalam pemberontakan petani bernama Haji Hasan di Cimareme.
Di tahun 1930-an, tulisan-tulisan Hatta berbicara perlunya memperjuangkan keadilan agraria. Sementara Sukarno membangun teori politiknya dari kehidupan rakyat kecil, terutama petani miskin, yang dia beri nama “marhaen”.
Ketika Belanda ditaklukkan oleh Jepang, ada sedikit perubahan di sektor agraria. Beberapa perkebunan besar yang ditinggalkan oleh Belanda diserahkan kepada rakyat untuk dikelola.
Namun, sebagian besar pengelolaan perkebunan oleh rakyat itu tidak bertujuan untuk kepentingan rakyat itu sendiri, melainkan untuk melayani kebutuhan perang Jepang. Rakyat dipaksa menanam sereh dan jarak. Selain itu, tentara Jepang kerap merampas hasil pertanian rakyat.
Karena itu, pemberontakan petani di bawah Jepang tetap terjadi, seperti pemberontakan petani Indramayu pada April-Agustus 1944.
Upaya reforma agraria pasca kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan, ada tekad untuk mewujudkan keadilan agraria. Dalam konstitusi yang baru disahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945, di pasal 33 ayat 3, disebutkan: “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Setelah itu, di tengah kecamuk perang fisik mempertahankan kemerdekaan, tekad untuk mewujudkan keadilan agraria tetap berkumandang.
Tahun 1946, tak lama setelah Konferensi Ekonomi di Yogyakarta, pemerintah RI melaksanakan Landreform di daerah Banyumas, Jawa Tengah, sebagai percobaan land-reform yang lebih luas. Sebagai payung hukumnya, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1946 tentang penghapusan desa-desa perdikan. Dengan demikian, berakhir pula hak-hak istimewa elit-elit desa di desa-desa perdikan di Banyumas.
Tahun 1948, pemerintah kembali mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1948 tentang penghapusan hak-hak istimewa (hak conversie) perusahaan pertanian dan perkebunan warisan Belanda.
Di tahun itu juga pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun 1948 tentang Panitia Agraria. Panitia ini bertugas menyusun UU baru pengganti UU Agraria kolonial (Agrarische Wet 1870). Sayang, karena situasi perang fisik, panitia ini tidak bisa bekerja secara maksimal.
Lahirnya UUPA 1960
Tahun 1951, pemerintah kembali membentuk Panitia Agraria baru: Panitia Agraria Jakarta. Salah satu usulan panitia ini adalah soal batas luas minimum dan maksimum pemilikan tanah.
Tahun 1953, ada konflik di bekas perkebunan tembakau antara pemerintah setempat dan petani penggarap di Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Utara. Konflik itu menyebabkan 21 orang petani tertembak dan enam di antaranya meninggal.
Peristiwa Tanjung Morawa memicu kemarahan organisasi petani dan kelompok kiri. Sarikat Tani Indonesia (SAKTI) mengajukan mosi tidak percaya terhadap Kabinet Wilopo. Kejadian itu juga memicu kuatnya desakan untuk mempercepat penyelesaian UU agraria yang baru.
Tahun 1955, penyair Agam Wispi mengabadikan kisah pedih petani Tanjung Morawa lewat puisi: Matinya Seorang Petani. “Depan kantor tuan bupati/ tersungkur seorang petani/karena tanah/ karena tanah.”
Tahun 1956, setahun setelah pemilu, pemerintah membentuk Panitia Agraria yang baru dipimpin oleh Soewahjo Soemodilogo: sering disebut Panitia Soewahjo. Tetapi panitia ini tidak bekerja lama.
Setahun kemudian, pemerintah mengganti Panitia Soewahjo dengan Soenario. Tugasnya tetap sama: menyusun UU agraria yang baru. Pada 24 April 1958, Panitia Soenario berhasil menyelesaikan RUUPA (disebut rancangan Soenario).
Rancangan Soenario itu diserahkan dan dibahas DPR. Namun, ada permintaan Sukarno agar rancangan itu melibatkan pihak luas, termasuk universitas.
Pada Desember 1959, Menteri Agraria Sadjarwo Djarwonagoro meminta masukan dan pendapat dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Dokumen hasil diskusi antara Sadjarwo dan UGM ini disebut Rancangan Sadjarwo.
Rancangan Sadjarwo itulah yang dijadikan dasar acuan oleh Departemen Agraria untuk RUU baru. Pada 1 Agustus 1960, RUU baru itu resmi diserahkan ke DPR-Gotong-Royong (DPR pasca Dekrit 1959).
RUU itu kemudian diterima dan disahkan oleh DPR-GR sebagai UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Sering juga disebut: UUPA. Penetapan UUPA berlangsung pada tanggal 24 September 1960.
Tiga tahun kemudian, Presiden Sukarno menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 169 Tahun 1963 tentang penetapan tanggal 24 September sebagai Hari Tani Nasional (HTN).
Di bagian awal, UU ini mencabut empat aturan kolonial terkait kepemilikan tanah dan kekayaan alam. Pertama, Agrarische Wet yang terbit pada tahun 1870. Kedua, Domein Verklaring yang mencakup beberapa daerah di Hindia Belanda yang terbit mulai tahun 1870 hingga 1888. Ketiga, Koninklijk Besluit yang terbit pada tahun 1872. Keempat, Buku Kedua Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia mengenai bumi, air serta kekayaan alam.
UUPA 1960 dianggap UU agraria paling revolusioner dalam sejarah hukum agraria nasional, karena menjamin hak setiap warga negara atas tanah, mengakui hukum adat, mengakui fungsi sosial tanah, membatasi luasan kepemilikan tanah, dan memastikan warga negara asing tak punya hak milik atas tanah.
Hanya, meski sudah dijamin UUPA 1960, upaya mewujudkan keadilan agraria tidak berjalan mulus. Program landreform berjalan sangat lambat. Pasca pengesahan UUPA, konflik agraria masih terus terjadi. Seperti tergambar dalam puisi T. Iskandar A.S, pada 1962: traktor maut.
Arus balik reforma agraria
Di bawah Orde Baru, nasib UUPA 1960 justru terpinggirkan. Orde Baru mengadopsi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang justru pelan-pelan mengembalikan model UU agraria kolonial.
Selain itu, di bawah Orba, organisasi petani dihancur-leburkan. Hanya ada satu organisasi petani yang diakui, yang tak ubahnya perpanjangan tangan kekuasaan untuk menderadikalisasi petani, yaitu Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).
Di sisi lain, asas domein verklaring justru dihidupkan, termasuk dalam UU Pokok Kehutanan 1967.
Lewat UU baru itu, sekitar 143 juta hektare (hampir 75 persen dari seluruh luas lahan Indonesia) lahan ditetapkan sebagai kawasan hutan dan dinyatakan milik negara. Presiden Soeharto memutuskan tanah di kawasan ini dikuasai negara (melalui Kementerian Kehutanan) dan tak bisa dimiliki masyarakat lokal di Indonesia.
Selain itu, isu keadilan agraria tenggelam oleh hingar-bingar revolusi hijau sebagai cara Orde Baru untuk mewujudkan swasembada pangan dalam tempo singkat. Di sisi lain, atas nama pembangunan, terjadi konflik agraria.
Pasca Orde Baru, wacana reforma agraria muncul kembali, juga tentang UUPA 1960. Namun, implementasinya pada kebijakan politik masih jauh dari substansi keadilan agraria.
Hari ini, 64 tahun sejak pengesahan UUPA 1960, rasio gini tanah yang mencerminkan ketimpangan agraria sangat tinggi: 0,58. Artinya, 1 persen penduduk menguasai 58 persen tanah.
Hari ini, konsep domein verklaring masih terus hidup. Saat ini negara masih mengklaim 63 persen wilayah daratan Indonesia sebagai kawasan hutan. Ironisnya, seperti kelakuan pemerintah Hindia-Belanda di masa kolonial, negara menggunakan kontrolnya terhadap tanah untuk memberikan konsesi kepada korporasi.
Data pemerintah tahun 2017 menunjukkan, 95,76 persen izin konsesi kehutanan diberikan kepada korporasi dan hanya 4,14 persen dialokasikan bagi masyarakat.
Di sisi lain, demi memfasilitasi kepentingan investasi dan pembangunan, negara masih kerap menggunakan pendekatan pengambilan paksa dan kekerasan. Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan, ada 2.939 letusan konflik yang mencakup 6,3 juta hektare lahan dan 1,759 juta keluarga korban selama kurun waktu 2015-2023.
Keadilan agraria, sebagai amanat kemerdekaan yang termaktub dalam pasal 33 UUD 1945 dan diturunkan operasionalisasinya lewat UUPA 1960, masih jauh di pelupuk harapan. Kita masih harus berjuang, berhimpun dan bersatu untuk mewujudkannya.
Selamat Hari Tani Nasional!