Buku-buku yang Menggemparkan Hindia-Belanda

Buku adalah senjata. Begitu bunyi poster perang dunia kedua yang dibumbui kata-kata Presiden AS, Franklin D. Roosevelt.

Kata Roosevelt, orang-orang bisa mati, tetapi buku tidak pernah bisa dibunuh. Tidak ada yang bisa memenjarakan dan membunuh pemikiran. Bahkan, dalam konteks perang, kata Roosevelt, buku adalah senjata.

Dalam dunia yang terkepung oleh ketidakadilan, buku bisa menjadi senjata untuk mendobrak dinding tebal. Setiap lembar buku tak hanya menyuguhkan pengetahuan, tetapi juga perspektif dan kesadaran baru. Berbagai cerita dan narasi yang terangkai bisa menggugah, menyadarkan, serta menggerakkan pembacanya.

Sejarah memberitahu kita bahwa ada begitu banyak perubahan sosial digerakkan oleh bacaan. Di Indonesia, bacaan pernah menjadi pemicu lahirnya kesadaran anti-kolonial. Bacaan juga menjadi senjata perlawanan untuk menggugat dan membongkar cara pandang kolonial.

Berikut lima bacaan yang di masa Hindia-Belanda sangat menggetarkan dan membuat kolonalisme terpojok.

Max Havelaar

Max Havelaar adalah novel yang ditulis oleh Multatuli. Sedangkan Multatuli sendiri merupakan nama pena Eduard Douwes Dekker. Nama itu diambil dari bahasa Latin, yang berarti “aku sudah banyak menderita”.

Novel yang ditulis pada 1859 ini menyingkap praktik eksploitasi kolonial yang berkelindan dengan mental korup elit-elit feodal. Banyak intelektual Hindia-Belanda, seperti Kartini dan Tirto Adhi Suryo, tercerahkan oleh novel ini.

Naar de ‘Republiek Indonesia’

Naar de ‘Republiek Indonesia’ atau Menuju Republik Indonesia, merupakan artikel yang ditulis oleh Tan Malaka di Kanton, Tiongkok pada 1925.

Ini merupakan risalah pertama dari seorang pejuang kemerdekaan yang mencetuskan konsep kenegaraan. Dibuka dengan ulasan soal situasi internasional dan Hindia-Belanda, kemudian program dan strategi-taktik, risalah ini ditutup dengan konsep kenegaraan: republik federasi berbasis pulau.

Mencapai Indonesia Merdeka

Artikel Mencapai Indonesia Merdeka ditulis Sukarno pada 1933 di Pangalengan, Jawa Barat.
Artikel ini berisi penjelasan soal problem imperialisme di Indonesia dan jalan keluarnya.

Selain itu, artikel ini menyuguhkan strategi dan taktik untuk memperjuangkan Indonesia merdeka, mulai dari massa aksi hingga machts­vorming.

Door Duisternis Tot Licht

A Door Duisternis Tot Licht, yang berarti Dari Kegelapan Menuju Terang, merupakan kumpulan surat-surat Kartini kepada teman Eropanya. Buku kumpulan surat ini terbit pada 1911.

Lalu, pada 1922, Empat Saudara menerbitkan buku itu dalam bahasa Melayu dengan judul: Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Armijn Pane yang menerjemahkan tulisan-tulisan Kartini ke bahasa Melayu.

Indonesia Vrij

Indonesia Vrij atau Indonesia Merdeka, merupakan pidato pembelaan Mohammad Hatta saat menjalani pengadilan di Den Haag, Belanda pada 1928.

Saat itu, Hatta ditangkap karena aktivitas politiknya bersama Indonesische Vereeniging―kelak berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia. Hatta dituding menghasut pemberontakan.

Pidato yang dibacakan selama tiga setengah jam oleh Hatta itu menyingkap kejahatan praktik kolonialisme di Hindia-Belanda dan cita-cita Indonesia merdeka.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Secuplik Sejarah Agraria dan Lahirnya UUPA 1960

Secuplik Sejarah Agraria dan Lahirnya UUPA 1960

Hari Tani Nasional, yang diperingati setiap tanggal 24 September, merujuk pada

Next
You’ll Never Walk Alone: Pesan Suporter Celtic FC untuk Palestina di Laga UCL

You’ll Never Walk Alone: Pesan Suporter Celtic FC untuk Palestina di Laga UCL

Tribun Celtic FC bergema saat klub sepak bola itu melawan SK Slovan Bratislava

You May Also Like
Total
0
Share