Mohammad Hatta, yang lahir pada 12 Agustus 1902, adalah penggemar berat sepak bola. Sedari kecil, di kota kelahirannya, Bukittinggi, ia menghabiskan banyak waktu untuk bermain bola.
Sayang, neneknya yang terlalu overprotective, yang khawatir cucunya cedera, melarang Hatta menyentuh si kulit bundar. Alhasil, Hatta sempat jeda lama bermain sepak bola.
Ketika melanjutkan sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah tingkat pertama era Hindia-Belanda, Hatta menemukan ruang kebebasan untuk bermain bola lagi.
Di kota Padang, tempat ia bersekolah MULO, ia bergabung dengan klub bola Swallow. Dia sering bermain di lapangan Plein Van Rome (sekarang lapangan Imam Bonjol). Hatta bermain di posisi bek.
Meski badannya kecil, tentu sulit untuk menang aerial duel, tapi ia tetap sulit dilewati. Kawan-kawannya memberi julukan: onpas serbaar (sulit ditembus). Tak mudah bagi penyerang lawan untuk melewati anak muda kelahiran Bukittinggi ini.
Saat mulai terjun ke gelanggan pergerakan, dengan bergabung dalam Jong Sumatranen Bond (JSB), Hatta tetap menyelipkan waktu untuk bermain sepak bola.
Menariknya, JSB ini juga punya klub bola. Dan Hatta tergabung di klub dengan posisi baru sebagai penyerang tengah. Menariknya, bersama JSB, Hatta tiga kali mengangkat trofi Piala Sumatera Selatan secara berturut-turut. Luar biasa, kan?
Saat menjalani pembuangan politik ke Boven Digul, Papua, Hatta punya klub bola sesama tahanan politik. Kali ini, Hatta kembali ke posisinya sebagai pemain bertahan.
Nah, dengan pengalaman dan pengetahuannya soal sepak bola, kira-kira kalau Hatta menjadi seorang Manajer klub sepak bola, dia akan condong menggunakan menggunakan filosofi apa?
Baik, kita bahas pemikiran politik Hatta dulu. Dalam politik, Hatta menekankan partai kader. Ia menghendaki partai yang kokoh, solid, dan tahan lama. Tak mudah hancur-lebur oleh tekanan maupun represi. Ia tak sejalan dengan Sukarno yang mengandalkan pidato, agitasi, dan rapat umum untuk menarik massa sebanyak-banyaknya.
Kalau mau diterjemahkan dalam filosofi sepak bola, tentu saja Hatta dekat dengan gaya Catenaccio. Filosofi yang identik dengan gaya sepak bola Italia itu menekankan seni bertahan yang kokoh. Dan seni bertahan yang kokoh menuntut kesabaran, keahlian, dan kedisiplinan.
Dalam catenaccio, pemain lebih banyak bertahan dan melakukan man-marking kepada setiap pemain lawan yang memasuki area pertahanan. Mereka tidak boleh membuka ruang seinchi pun kepada pemain lawan. Jika bola terebut, dan pemain lawan berhasil lolos, maka ada sweeper yang akan menebangnya.
Formasi yang kerap digunakan Hatta adalah 5-3-2, mungkin kadang divariasikan dengan 3-5-2, sesuai dengan lawannya. Menghadapi klub yang bermain gegenpressing, Hatta mungkin akan menempatkan lebih banyak pemain di lini belakang.
Namun, Catenaccio bukan taktik parkir bus yang hanya mengejar tidak kebobolan. Sebaliknya, jika ada peluang, catenaccio akan melakukan counter-attack yang cepat dan efektif. Dan sekali lagi: itu menuntut disiplin tinggi, kerjasama yang efektif, dan kemampuan membaca peluang.
Bicara soal kedisiplinan, Hatta adalah role-modelnya. Pola hidupnya sangat teratur. Bangun jam 5 pagi, ia mandi, kemudian sholat. Jam 6-7 pagi, ia membaca sembari menyeruput kopi tubruk dan menyantap sepotong roti. Dan setelah itu, ia mulai beraktivitas. Setiap jam 10 malam, Hatta akan pamit tidur. Ada satu kepribadian Hatta yang jarang dimiliki orang Indonesia: tepat waktu.
Ada cerita soal Hatta yang tepat waktu. Saat menjalani pembuangan di Banda Neira, Hatta rutin jalan sore, melintasi perkebunan. Saking rutin dan tepat waktunya, pekerja perkebunan menjadi rutinitas Hatta sebagai penunjuk waktu. Kalau Hatta sudah lewat, maka pekerja kebun akan mengetahui kalau hari itu sudah pukul lima sore.
Bayangkan, kalau Hatta jadi manajer klub sepak bola, ia pasti sangat ketat soal disiplin waktu. Pemain dan staf pelatih harus datang tepat waktu ke tempat latihan. Tidak ada tempat bagi pemain yang suka terlambat dan indisipliner.
Namun, sebagai pengagum sekaligus pelaku setia demokrasi, Hatta tentu penentang keras elitisme, gaya bossy, apalagi mental feodal. Tentu saja, ia tak mau menciptakan jarak antara pelatih, staf, dan pemain.
Hatta, seorang penganut merit-system, tentu tidak memberi tempat pada perlakuan khusus untuk permain tertentu. Tidak ada tempat bagi local boy privileged, seperti Curtis Jones di Liverpool atau Marcus Rashford di Manchester United, yang sekalipun bermain jelek, selalu mendapat menit bermain yang banyak.
Oiya, untuk kedalaman skuad, Hatta akan mengandalkan akademi. Dalam kamus om kacamata ini, kaderisasi adalah kunci. Dalam sepak bola, kawah candradimuka untuk menggembleng dan menghasilkan pemain muda dan berbakat adalah akademi. Untuk itu, dalam skema Hatta, klub harus punya investasi besar di akademi.
Satu lagi, terkait kepemilikan dan pengelolaan klub, Hatta pasti memperjuangkan model koperasi. Di sepak bola, klub sepak bola dimiliki dan dikelola oleh koperasi bukan cerita baru. Setidaknya, kata Dave Boyle dalam sebuah artikelnya di Guardian, Would your football club be better run as a co-operative?, hampir seperempat klub top di 53 negara anggota UEFA dikelola dengan koperasi.
Singkat cerita, dalam prinsip Hatta: daulat klub sepak bola adalah daulat fans.
Mantap