Senin, 26 Agustus 2024, Wiji Thukul berulang tahun ke-61. Meski dihilangkan rezim Orde Baru, namun hingga kini puisinya masih tetap bergema, termasuk di tengah aksi protes #PeringatanDarurat.
Sejak Maret 1998, di tengah kekacauan menjelang akhir kekuasaan Orde Baru, Wiji Thukul hilang tanpa jejak. Dia termasuk dalam daftar 13 aktivis yang dihilangkan paksa dan nasibnya masih menjadi misteri sampai sekarang.
Pada 2014, saat Joko Widodo (Jokowi) berkampanye untuk pemilu presiden, dia berjanji akan menemukan Thukul. “Harus ditemukan. Harus jelas. Bisa ketemu hidup atau meninggal,” katanya, waktu itu.
Sayangnya, janji itu tak terpenuhi hingga kini. Bahkan, di pemilu 2024, demi melancarkan jalan putranya ke Istana, Jokowi malah berkolaborasi dengan orang-orang yang diduga terlibat dalam penculikan aktivis pada 1997/1998.
Siapa Wiji Thukul?
Wiji Thukul adalah penyair dan aktivis yang lantang menentang Orde Baru. Lahir pada 26 Agustus 1963 di Solo, Jawa Tengah, dari keluarga penarik becak, Thukul mulai menulis puisi saat masih SD dan aktif di teater saat SMP.
Setelah lulus SMP pada 1979, Thukul melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Karawitan, tapi terpaksa berhenti karena masalah ekonomi dan harus bekerja agar adiknya bisa sekolah. Pekerjaan pertama Thukul adalah loper koran, lalu calo tiket, tukang pelitur furnitur, serta mengamen puisi di berbagai tempat. Pada 1988, setelah menikah dengan Diah Sujirah alias Sipon, dia sempat jadi tukang sablon.
Aktivisme politik
Akhir 1980-an, saat konflik semakin banyak akibat kesewenang-wenangan Orde Baru, Thukul terjun menjadi aktivis. Dia aktif membangun grup teater, membaca puisi, termasuk terlibat dalam pengorganisasian buruh dan petani. Selain aktif di organisasi buruh dan mendirikan Sanggar Suka Banjir, Thukul juga terlibat dalam pendirian Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan menyunting Manifesto PRD 1996.
Pada 22 Juli 1996, saat deklarasi PRD di Jakarta, Thukul membacakan puisi “Peringatan”. Ini merupakan penampilan terakhirnya di depan publik sebelum tragedi 27 Juli 1996 meletus. Dalam kerusuhan itu, kantor PDI yang diduduki pendukung PDI Pro Megawati diserbu, hingga menyebabkan kemarahan rakyat dan kerusuhan besar.
Dalam perburuan
Setelah tragedi 27 Juli 1996, kader-kader PRD, termasuk Wiji Thukul, menjadi sasaran perburuan. Thukul harus berpindah-pindah tempat persembunyian, dari Solo, Salatiga, Yogyakarta, Magelang, Jakarta, Tangerang, hingga Pontianak. Selama masa persembunyian, Thukul terus terlibat dalam aksi menentang Orde Baru dan mengorganisir buruh.
Pada Maret 1998, Thukul menghilang tanpa jejak. Kasusnya dilaporkan kepada Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada 2000, dan hingga Sipon meninggal pada Januari 2023, kejelasan nasib Thukul belum juga terpecahkan.
Sajak kekal perlawanan
Sudah 26 tahun Wiji Thukul dinyatakan hilang, bangsa ini masih bergelut dengan masalah yang dulu diprotesnya. Mulai pengusiran petani, upah murah, hingga penguasa otoriter, semua masih terjadi di negeri ini.
Seperti yang ditulis Wahjoe Sardono alias Dono Warkop DKI, karya kritis baru benar-benar bermakna ketika masih berhadapan dengan kekuasaan yang nyata. Dari situasi inilah, karya Thukul terus bergaung dan menggugah, terutama saat kenyataan sosial yang dikritiknya masih terlihat nyata.
Lima hari lalu, saya menikuti aksi protes #PeringatanDarurat bersama ribuan orang, mayoritas dari generasi milenial dan generasi Z, di depan Gedung DPR. Banyak anak muda yang mengenakan kaos dengan larik puisi Wiji Thukul. Beberapa puisi, seperti “Peringatan” dan “Bunga dan Tembok,” masih dibacakan di tengah-tengah aksi protes.
Seperti ditulis Thukul dalam puisi “Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa,” sajak perlawanan itu masih terus hidup di tengah semangat perjuangan rakyat untuk demokrasi dan keadilan sosial.
Fajar Lintang Wibawa, aktivis mahasiswa dan penggiat gerakan literasi. E-mail: lintangfajarwibawa@yahoo.com