Pemberontakan Gwangju: Jalan Pahit Korea Selatan menuju Demokrasi

Jalan yang ditapaki Korea Selatan menuju demokrasi penuh liku dan onak. Ada darah dan air mata yang tumpah untuk menyirami kelahiran demokrasi di negeri itu.

Salah satunya adalah pemberontakan Gwangju yang terjadi pada 18-27 Mei 1980. Hari-hari itu rakyat di Kota Gwangju, kota metropolitan terbesar keenam di Korsel, bangkit melawan kediktatoran militer.

Titik picu

Setelah kekalahan Jepang di tahun 1945, semenanjung Korea terbelah dalam dua pemerintahan dengan ideologi yang berbeda: utara yang komunis, sedangkan selatan anti-komunis dan pro-Barat.

Tahun 1948, Syngman Rhee, seorang anti-komunis, terpilih sebagai presiden Republik Korea (nama resmi pemerintahan Korea Selatan). Dia memerintah dengan tangan besi hingga 1960.

Seperti ditulis hukum sejarah, di mana pun tirani akan mendapat perlawanan dan dipaksa tumbang. Pada April 1960, kemuakan mahasiswa dan rakyat Korea pada rezim Rhee mulai memuncak. Mereka menggelar aksi protes yang memicu “Revolusi April atau “4.19 Revolution”. Republik pertama yang dipimpin Syngman Rhee tumbang.

Sejak itu, berdirilah pemerintahan demokratis yang disebut Republik Kedua. Sayang, pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Yun Posun ini hanya berusia satu tahun. Pada Mei 1961, militer di bawah pimpinan Park Chung-hee melancarkan kudeta militer.

Akhirnya, sejak 1961 hingga 1979, Korea Selatan diperintah oleh rezim militer Park Chung-hee. Di bawah pemerintahannya, Negeri Ginseng itu menjalankan industrialisasi dengan tangan besi, hingga menciptakan banyak kelas pekerja. Di bawah Konstitusi Yusin, rakyat Korea didisiplinkan, dari lingkungan sosial, lembaga pendidikan, hingga di tempat kerja. Konflik industrial dicurigai sebagai kerja-kerja komunis.

Diktator Park Chung-hee di depan. Kredit: britannica.com

Rezim Park Chung-hee tak bertahan lama. Pada Oktober 1979, gerakan mahasiswa menentang rezim Park Chung-hee menguat, terutama di Kota Busan. Rezim Park meresponsnya dengan represi dan darurat militer.

Dalam situasi pasang gerakan mahasiswa itu, pada 26 Oktober 1979, Park Chung-hee ditembak mati oleh Kim Jae-gyu, Direktur Intelijen Korea (KCIA) kala itu. Tak lama setelah kasus pembunuhan itu, tepatnya pada 12 Desember 1979, militer di bawah pimpinan Chun Doo-hwan kembali melancarkan kudeta.

Mahasiswa dan rakyat Korea sudah muak dengan rezim militer, tetapi rezim militer baru justru kembali tampil ke panggung kekuasaan. Di pabrik-pabrik, buruh muak dengan upah murah dan ketiadaan kebebasan.

Chun Doo-hwan langsung menerapkan darurat militer. Kampus ditutup, aktivitas politik dilarang, pers dibatasi, dan diberlakukan jam malam di beberapa tempat. Di jalan-jalan, tentara berpatroli.

Situasi itulah yang mendorong ketidakpuasan kian merajalela. Di Kota Seoul, Ibu Kota Korea Selatan, protes mulai bermunculan di jalanan. Hari itu, 15 Mei 1980, ratusan ribu mahasiswa dan rakyat menggelar protes di Stasiun Kereta Seoul. Mereka menentang darurat militer dan rezim Chun Doo-hwan.

Ketidakpuasan juga menjalar ke Gwangju, Ibu Kota Provinsi Jeolla. Hari itu, 18 Mei 1980, mahasiswa dan rakyat Gwangju menyiapkan perlawanan.

Pemberlakuan darurat militer dan jam malam usai kudeta Chun Doo-hwan. Kredit: The Korea Herald

Pemberontakan Gwangju

Sejak kudeta militer, Kota Gwangju tak tenang. Mahasiswa dan warga setempat menentang pemberlakuan jam malam dan penutupan kampus-kampus.

Pada pagi hari, 18 Mei 1980, mahasiswa berkumpul di depan pintu gerbang Universitas Nasional Chonnam. Ini merupakan salah satu kampus terbesar di Kota Gwangju.

Namun, menjelang siang hari, tentara membubarkan kumpulan mahasiswa itu. Bentrokan pun tak terhindarkan. Siapa sangka, protes dan bentrokan yang bermula di depan kampus itu melebar hingga ke pusat kota.

Namun, lagi-lagi rezim militer mencoba membungkam protes itu dengan represi. Ribuan tentara, termasuk dari pasukan elite dan penerjung payung, dikerahkan untuk merebut kendali atas Kota Gwangju.

Seorang ibu dan foto anaknya yang hilang di depan demonstrasi di Gwangju, 1980. Kredit: https: archives korean democratic movement (https://archives.kdemo.or.kr)

Pada hari pertama itu, seorang pemuda bernama Kim Gyeong-cheol diketahui meninggal setelah dipukuli dan disiksa oleh tentara. Kematiannya memicu kemarahan yang lebih luas dari rakyat Gwangju.

Pada 19 dan 20 Mei, demonstrasi semakin membesar. Hari itu, belajar dari bentrokan sebelumnya, mahasiswa dan rakyat Gwangju mulai menyiapkan perlawanan lebih serius. Selain melempar batu, massa juga menyiapkan molotov dan barikade.

Bentrokan pun makin membesar. Polisi dan tentara semakin represif. Tak hanya memukul dan menyiksa, mereka juga menembakkan peluru tajam. Hari itu, menjelang sore hari, tentara melepaskan tembakan terhadap massa di Stasiun Gwangju.

Tindakan represif aparat hanya memicu protes dan bentrokan yang lebih luas. Massa aksi membakar stasiun televisi lokal, Munhwa Broadcasting Corporation (MBC), karena pemberitaan yang bias dan mendiskreditkan aksi protes.

Bentrokan dalam demonstrasi Gwangju. Kredit: Kim Chon-Kil/Associated Press.

Pada malam hari, sopir taksi, bus, dan truk mulai bergabung dalam aksi protes. Mereka menyebut diri “para sopir untuk demokrasi (drivers for democracy). Jumlah massa aksi juga makin bertambah banyak, mencapai ratusan ribu orang. Malam itu, hampir semua Kota Gwangju, berada di bawah kendali massa, kecuali balaikota dan stasiun.

Besoknya, 21 Mei 1980, ketika fajar baru menyingsing, massa sudah memenuhi jalanan kota. Hari itu, sebagai balasan atas tindakan represi aparat di hari-hari sebelumnya, massa mulai menyiapkan perlawanan bersenjata. Mereka menyerbu gudang-gudang senjata dan kantor polisi.

Massa yang bersenjata mulai terlibat baku tembak dengan tentara. Komite-komite perlawanan berdiri di seantero Kota Gwangju. Ada komite perlawanan berbasis teritori, ada juga komite perlawanan berbasis sektor sosial, terutama buruh dan mahasiswa. Mereka disebut Shimingun (Tentara Warga).

Hari itu, rezim Chun Doo-hwan pura-pura menarik tentaranya dari Kota Gwangju. Namun, mereka tetap menutup semua pintu masuk menuju Gwangju.

Selama lima hari, dari 22-27 Mei, Kota Gwangju berada di bawah kontrol rakyat. Komite-komite menjalankan aktivitas pemerintahan untuk mengurus kebutuhan warga, dari soal bahan pangan hingga obat-obatan.

Pada 27 Mei 1980 dini hari, rezim Chun Doo-hwan kembali mengerahkan militer secara besar-besaran untuk menghentikan perlawanan rakyat di Kota Gwangju. Pertempuran sengit berlangsung sekitar 90 menit. Pemberontakan rakyat Gwangju pun berakhir.

Tidak ada data pasti mengenai jumlah korban selama pemberontakan Gwangju. Versi resmi menyebut jumlah korban tewas mencapai 200 orang. Versi lain menduga korban tewas mencapai ribuan orang.

Melawan represi yang brutal, rakyat Gwangju mengangkat senjata. Kredit:  Jürgen Hinzpeter

Peristiwa ini juga menyisakan banyak orang hilang hingga kini. Data pemerintah Kota Gwangju menyebut ada 242 warganya hilang pasca peristiwa itu. Sementara keluarga korban menduga ada 300-an orang yang hilang.

Peristiwa Gwangju juga menyisakan luka bagi tak sedikit perempuan. Data resmi menyebut, ada 17 orang perempuan yang menjadi korban perkosaan saat tragedi itu, termasuk remaja dan ibu hamil.

Pemerintah AS, terutama CIA, yang mendukung rezim militer kala itu, juga punya andil dalam kejadian pilu tersebut.

Momentum demokratisasi

Pemberontakan Juni (June Democracy Movement atau June Uprising) yang menggulingkan rezim militer dan membuka pintu demokrasi Korea Selatan pada 1987. Kredit: Wikipedia

Meski berhasil dipatahkan, tetapi pemberontakan Gwangju merupakan salah satu batu pijakan penting dalam perjuangan demokratisasi Korsel.

Pada 1987, gerakan demokrasi makin membesar dan tak terbendung. Puncaknya, pada Juni 1987, jutaan rakyat Korea Selatan turun ke jalan untuk menuntut pemilu bebas dan kemerdekaan berpendapat. Peristiwa itu dikenang sebagai “Perjuangan Demokrasi Juni”.

Rezim militer tumbang. Tirani runtuh tersapu oleh gelombang demokrasi yang tak terbendung. Konstitusi baru dibuat, lalu Korea Selatan pun menggelar pemilu bebas pada Desember 1987.

Kisah tentang pemberontakan Gwangju banyak dikisahkan lewat film, seperti 18 May (2007), Taxi Driver (2017), Kim Gun (2018), The Attorney (2013), A Petal (1996), dan lain-lain.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Kritik Perempuan atas Tata Kota yang Maskulin

Kritik Perempuan atas Tata Kota yang Maskulin

Kota didesain untuk mobil, bukan pejalan kaki

Next
Xiaomi Masuk ke Era Chip 3nm: Tanda Kekuatan Teknologi Mulai Bergeser?

Xiaomi Masuk ke Era Chip 3nm: Tanda Kekuatan Teknologi Mulai Bergeser?

Nama chip baru ini: XRing O1

You May Also Like
Total
0
Share