Di negeri kita, banjir sering menjadi panggung akrobatik politik: pejabat datang ke lokasi bencana, bertemu warga sambil direkam atau dicekrek kamera, lalu kita menyebutnya pejabat peduli, merakyat dan responsif.
Kita pun terpaku dengan istilah bencana alam, padahal bencana banyak disumbang oleh tindakan manusia. Dalam kasus banjir Jabodetabek, yang berulang hampir setiap tahun, banyak disebabkan oleh penurunan permukaan tanah, deforestasi di hulu, menipisnya area tangkapan air, perubahan tata guna lahan, hingga dampak perubahan iklim.
Ditambah lagi, minimnya sistem peringatan dini, buruknya langkah mitigasi, pembangunan dan infrastruktur yang tak mendengar saran ahli, hingga faktor kemiskinan yang membuat warga rentan menjadi korban bencana.
Setiap banjir, kita hanya sibuk menilai elit atau pejabat yang mengunjungi lokasi banjir: pakai helikopter/pelampung atau berjalan kaki menerobos luapan air. Emosi asiatik kita gampang terenyuh dengan aksi pejabat di depan layar kamera yang mengunjungi korban banjir, berdialog, bersalaman, dan rela berkotor-kotor ria.
Setiap kali banjir datang menghantam Jakarta, ibu kota yang penuh hiruk-pikuk, saya selalu teringat sosok Hugo Chavez. Presiden Venezuela yang satu ini bukan sekadar politisi, tetapi juga pemimpin yang benar-benar turun tangan saat rakyatnya dilanda bencana. Ketika banjir menerjang negeri itu di akhir 2010, Chavez menunjukkan bagaimana seharusnya seorang pemimpin bertindak: bukan sekadar mengunjungi warga korban banjir, tetapi menciptakan kebijakan politik agar bencana tak berulang.
Akhir tahun 2010, hujan deras mengguyur Venezuela selama berminggu-minggu. Alhasil, sebagian besar wilayah negeri itu terendam banjir. Jalanan rusak, jembatan putus, lahan pertanian hancur, dan lebih dari 100 ribu keluarga kehilangan tempat tinggal. Seolah belum cukup, longsor pun ikut menyapu kawasan permukiman, terutama barrio—pemukiman padat di atas bukit yang dihuni mayoritas warga miskin Caracas.
Fenomena La Niña diduga menjadi biang keladinya. Bencana ini diklaim sebagai yang terparah dalam 40 tahun terakhir. Sebanyak 35 orang tewas, 5.000 rumah hancur, dan 70 ribu orang harus mengungsi ke tempat yang lebih aman. Dalam kondisi seperti ini, biasanya kita melihat pemimpin hanya muncul di layar kaca dengan wajah penuh keprihatinan. Tapi Chavez punya cara yang berbeda.
Respons cepat
Ketika banjir melanda, Chavez tak hanya duduk manis di kursi empuk istana. Ia naik helikopter, memantau situasi dari udara. Siang dan malam. Terkadang, dengan menggunakan kendaraan militer, ia menerobos daerah-daerah yang terkena bencana.

Tak berhenti di situ, Chavez mengerahkan tentara dan milisi Bolivarian untuk membantu korban banjir. Partai yang ia dirikan, Partai Persatuan Sosialis Venezuela (PSUV), juga turun tangan memberikan pertolongan. Ribuan tempat penampungan darurat didirikan, sekolah-sekolah dijadikan shelter, bahkan hotel swasta ikut berkontribusi dengan menyediakan 850 kamar bagi pengungsi.
Dan ini yang paling mencengangkan: Chavez membuka pintu Istana Kepresidenan Miraflores bagi korban banjir. Istana yang dulunya hanya bisa diakses pejabat tinggi, kini dihuni oleh rakyat kecil yang kehilangan rumahnya.
“Anda bisa memasangnya (tenda pemberian Qadafi) di halaman Miraflores karena saya akan pindah ke tenda itu. Kita bisa meletakkan beberapa tempat tidur di kantor saya,” katanya.
Tak hanya itu, ia juga menginstruksikan agar kantor wakil presiden dan gedung pemerintahan lainnya mengalokasikan ruang bagi para korban. Sebuah langkah yang mungkin sulit dibayangkan terjadi di negeri ini.
“Ini adalah keadaan darurat nasional, saatnya meninggalkan kenyamanan pribadi, egoisme, dan membuka hati serta rumah kita bagi sesama warga Venezuela,” kata Chávez.
Kementerian Sains dan Teknologi Venezuela memberikan pulsa gratis sebesar 25 bolivar serta 50 SMS gratis agar warga bisa berkomunikasi dengan keluarga atau menyampaikan kondisinya kepada pemerintah.
Sementara perusahaan minyak negara, Petróleos de Venezuela, SA (PDVSA), tak hanya memastikan pasokan energi tercukupi untuk warga, tetapi juga menyediakan energi gratis untuk warga yang paling terdampak oleh bencana.
Membuat kebijakan
Tindakan Chavez tidak berhenti setelah banjir surut. Ia segera meminta Majelis Nasional mengesahkan Undang-Undang Darurat Perumahan dan Tata Kota. Undang-undang ini memberikan wewenang kepada presiden untuk mengatasi dampak sosial dan ekonomi akibat bencana serta respons jangka panjang.

Undang-undang ini juga memungkinkan pemerintah untuk menyusun tata ruang yang baru, yang memungkinkan mengurangi kepadatan demografis di daerah tertentu atau memindahkan penduduk dari daerah/pemukiman yang rawan bencana.
Beleid itu juga memungkinkan pemerintah menetapkan zona darurat perumahan, daerah pemukiman yang dianggap rawan bencana. Jika undang-undang ini disahkan, lahan yang tidak terpakai atau kurang dimanfaatkan, termasuk lapangan golf di sekitar jalan raya utama Caracas, bisa diambilalih untuk dijadikan pemukiman bagi warga atau penghijauan kembali.
Undang-undang ini pun mengatur soal pendanaan bencana, yang memungkinkan pemerintah punya anggaran untuk melakukan respons cepat terhadap korban banjir, mulai dari pangan, kesehatan, shelter, dan lain-lain.
Salah satu hasil dari undang-undang itu adalah program perumahan rakyat bernama “Gran Misión Vivienda Venezuela”, yang dibiayai dari keuntungan perusahaan minyak negara (PDVSA). Targetnya adalah membangun dua juta rumah untuk rakyat hingga 2017, yang diprioritaskan untuk korban bencana, warga miskin, dan pekerja berpendapatan rendah.
Warga yang berada di daerah rawan bencana, seperti pinggir sungai dan barrio (perbukitan), dipindahkan ke rumah-rumah gratis yang dibangun pemerintah.
Sampai hari ini, Venezuela belum sepenuhnya terbebas dari bencana akibat banjir. Namun, penataan ulang kota dan proyek perumahan, serta berbagai langkah mitigasi lainnya, bisa mengurangi dampak luas dari banjir, terutama bagi kaum miskin dan kelompok rentan lainnya.
Izin sedot gan🙏🏼