Menyelamatkan Demokrasi dari Jurang Kekecewaan

Demo memprotes cawe-cawe Presiden Jokowi dalam Pemilu 2024 (Sumber: Reuters)

Sejarah mencatat, demokrasi pernah berjasa besar mengeluarkan umat manusia dari kekuasaan yang dipegang oleh satu orang secara absolut dan diwariskan turun-temurun.

Lewat dua revolusi sosial berskala besar pada abad ke-18, yakni revolusi Amerika 1776 dan revolusi Prancis 1789, umat manusia dijanjikan sedang meniti sebuah jalan menuju kesetaraan hak dan kemakmuran bersama.

Dua ratus tahun kemudian, kira-kira sejak pertengahan 1990-an, bersamaan dengan meningkatnya ketimpangan ekonomi secara global, dukungan terhadap demokrasi pelan-pelan merosot. Sejumlah pakar mulai bicara soal kemunduran demokrasi (democratic backsliding) dan demokrasi iliberal (Illiberal democracy).

Memasuki abad ke-21, tingkat kepuasan terhadap demokrasi justru semakin terjun bebas. Kecuali di negara-negara yang relatif makmur dan tingkat korupsinya rendah, seperti Swedia, Jerman, Belanda, dan Singapura, tingkat kepuasan terhadap demokrasi di banyak negara berada di bawah 50 persen.

Survei terbaru dari Gallup, yang dirilis pada Januari 2024, menemukan hanya 28 persen warga dewasa Amerika Serikat yang percaya pada cara kerja demokrasi. Sementara survei Pew Research Centre menemukan angka yang tak jauh berbeda: hanya 33 persen. Di Prancis, tempat revolusi demokratik pertama meletus, tingkat kepuasan terhadap demokrasi justru lebih rendah lagi: hanya 27 persen.

Di Indonesia, tingkat kepuasan terhadap demokrasi masih cukup tinggi, meskipun trennya menurun. Survei Indikator Politik Indonesia pada Februari 2024 menyebut 70,7 persen masyarakat masih percaya pada kinerja demokrasi.

Di ruang publik maupun di media sosial, suara-suara kekecewaan terhadap demokrasi cukup menggema. Bahkan, kelompok anti-demokrasi kerap mencoba mengail benih-benih ketidakpuasan ini untuk memenangkan agenda politik anti-demokrasi.

Tren penurunan itu berkelindan dengan peningkatan ketidakpuasan terhadap dua lembaga penting demokrasi, yaitu partai politik dan parlemen. Dua lembaga itu selalu menempati papah bawah sebagai lembaga paling tidak dipercaya oleh publik.

Beberapa penyebab

Sekarang ini demokrasi sedang tersudut oleh beragam gugatan. Dari berbagai gugatan itu, ada beberapa isu yang nyaring dilantangkan.

Pertama, memburuknya kualitas representasi politik. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada awal Oktober 2022 merekam, mayoritas responden (78,7 persen) menilai DPR belum memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat.

Dalam hal ini, representasi politik berarti aktivitas yang membuat perspektif, opini, dan suara warga negara “hadir” dalam proses pembuatan kebijakan publik. Representasi politik bisa terjadi apabila aktor-aktor politik bicara, mengadvokasi, menandakan, dan bertindak sesuai kehendak publik (Pitkin, 1967).

Jamak terjadi, keputusan politik wakil rakyat bertentangan dengan kehendak dan kepentingan warga. Di Indonesia, protes terhadap produk legislasi DPR, terutama revisi UU KPK dan RKUHP, telah memicu aksi protes bertajuk #ReformasiDikorupsi. Yang terbaru, DPR berusaha menganulir putusan MK, sehingga memicu aksi protes luas di hampir semua kota di Indonesia.

Kedua, menyempitnya ruang partisipasi publik dalam mempengaruhi kebijakan. Ada banyak proses legislasi di DPR dibuat seperti paket kilat, benar-benar tertutup, dan tanpa partisipasi publik. Kita bisa menyebut beberapa contoh: UU Cipta Kerja, revisi UU KPK, RKUHP, dan UU tentang Ibu Kota Negara Nusantara (IKN).

Di sisi lain, ada banyak kepentingan rakyat yang seharusnya dilindungi dengan undang-undang. RUU Masyarakat Adat dan RUU Pekerja Rumah Tangga, contohnya, justru tidak ketok palu hingga hari ini.

Ketiga, menyempitnya ruang partisipasi politik elektoral karena banyaknya tembok penghalang bagi warga negara untuk mendirikan parpol maupun mencalonkan diri sebagai pejabat publik (legislatif dan eksekutif).

Ada semacam multiple barriers to entry bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam politik, mulai dari persyaratan parpol peserta pemilu yang super berat, penerapan parliamentary threshold untuk parpol yang mendudukkan wakil di parlemen, dan presidential threshold untuk pencalonan presiden dan wakil presiden.

Keempat, ketimpangan ekonomi yang menggerus nilai-nilai demokrasi. Tak bisa dimungkiri, demokrasi lahir dari janji akan kesetaraan umat manusia. Demokrasi tidak akan sehat jika warga negaranya tak setara.

Faktanya, ketidaksetaraan ekonomi berkontribusi pada ketimpangan penguasaan sumber daya. Konsentrasi kekayaan yang ekstrem di tangan segelintir orang akan menciptakan penumpukan kekuasaan yang ekstrem di tangan segelintir orang (Saez dan Guzman, 2020). Ketimpangan kekayaan berarti juga ketimpangan sumber daya kekuasaan (Winters, 2014).

Ketimpangan ekonomi membuat prinsip “one man, one vote” tidak terjadi. Sebab, si kaya bisa menggunakan kekayaannya untuk membeli suara si miskin, membeli jam tayang media massa, membeli wewenang aparatus negara, bahkan bisa membeli penyelenggara pemilu.

Kelima, menguatnya kecenderungan oligarki dalam panggung politik mutakhir. Penumpukan kekayaan di tangan segelintir orang telah menciptakan kekuasaan istimewa dan dapat dipergunakan sebagai sumber daya politik.

Dengan kekayaannya, segelintir kaum kaya kini menjadi penguasa parpol, menduduki jabatan-jabatan strategis di eksekutif, bahkan mendominasi kursi parlemen. Mereka bisa mempengaruhi proses pembuatan kebijakan politik agar sejalan dengan kepentingannya (state capture).

Riset Marepus Corner tentang Peta Pebisnis di Parlemen menunjukkan, sebanyak 55 persen atau sebanyak 318 anggota DPR periode 2019-2024 merupakan pengusaha.

Beberapa jalan keluar

Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuki kegelapan. Meski ada bertumpuk-tumpuk kekecewaan terhadap demokrasi, tetapi juga masih ada harapan.

Merujuk pada survei Indikator, tingkat kepercayaan publik terhadap demokrasi masih tinggi. Sesuatu yang butuh dijaga sekaligus dimajukan.

Karena itu, harapan terhadap demokrasi perlu diberi jalan terobosan. Demokrasi yang ada sekarang ini perlu diradikalisasi dan dimajukan, agar bisa melampaui batas-batas “demokrasi prosedural”.

Pertama, negara perlu menegaskan komitmennya untuk menjamin kemerdekaan berserikat dan menyatakan pendapat. Meski hak ini sudah dijamin oleh UUD 1945, tetapi praktiknya banyak pembungkaman.

Kedua, mendorong eksperimen-eksperimen politik yang memberi tempat bagi partisipasi politik rakyat dalam mempengaruhi dan menentukan kebijakan politik.

Penganggaran partisipatoris (participatory budgeting), yang pernah sukses besar di Porto Alegre Brazil dan dicontoh oleh banyak kota lain di dunia, bisa menjadi model alternatif untuk mendorong partisipasi publik dalam menyusun dan memutuskan anggaran kota/kabupaten (APBD).

Ketiga, memberi tempat kepada masukan dan pendapat rakyat dalam proses pembuatan kebijakan politik lewat mekanisme referendum kebijakan atau UU yang sifatnya strategis, seperti masa jabatan presiden/wakil presiden, perlu dan tidaknya ibu kota baru, UU Cipta Kerja, dan lain-lain.

Selain itu, segala hal yang merintangi partisipasi dan hak politik rakyat, seperti persyaratan parpol peserta pemilu yang sangat berat, parliamentary threshold, dan presidential threshold, perlu dihapuskan.

Para pendiri bangsa memilih jalan demokrasi karena sebuah keyakinan: masyarakat adil dan makmur hanya bisa terwujud jika kekuasaan dan penyelenggaraan negara dilakukan sesuai dengan kehendak rakyat.

Janganlah marah pada tikus, rengkiang dibakar. Alangkah baiknya kekecewaan terhadap demokrasi diubah menjadi perjuangan untuk meradikalisasi demokrasi agar lebih terbuka pada partisipasi dan responsif terhadap kehendak publik.

Sebab, bagaimana pun, demokrasi masih lebih baik dari model kekuasaan absolut yang diwariskan turun-temurun dan kekuasaan yang mengatasnamakan kehendak ilahi.

Total
0
Shares
Comments 1
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Pertaruhan Isu Iklim di Pemilu AS

Pertaruhan Isu Iklim di Pemilu AS

Hasil pemilihan presiden AS pada bulan November mendatang akan memiliki dampak

Next
Poco-poco RUU PPRT

Poco-poco RUU PPRT

Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) tak kunjung

You May Also Like
Total
0
Share