Mengenang Munir: Jejak Aktivisme dan Kasus Pembunuhannya

Munir Said Thalib (Merdika.id)

Pada 7 September 2004, 20 tahun yang lalu, saat perjalanan menuju Amsterdam, Belanda, untuk melanjutkan studi, Munir Said Thalib meninggal dunia karena diracun di atas pesawat Garuda Indonesia.

Namun, 20 tahun berlalu, dan sudah dua kali Indonesia berganti presiden, kasus pembunuhan Munir tidak menemukan titik terang. Meskipun pernah ada proses pengadilan, tetapi hanya operator lapangan yang digiring ke pengadilan dan diadili.

Padahal, pada saat penyingkapan fakta oleh Tim Pencari Fakta (TPF) dan proses persidangan, tersingkap fakta yang tak jauh dari dugaan publik: pembunuhan Munir merupakan operasi intelijen. Ada keterlibatan lembaga intelijen dan rantai komando dalam proses tersebut.

Jejak aktivisme Munir

Munir lahir di Batu, Jawa Timur, pada 8 Desember 1965. Aktivisme dan kepedulian Munir pada isu hak asasi manusia (HAM) mulai menguat sejak kuliah di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.

Dia pernah menjadi Ketua Senat Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Selain itu, sejak mahasiswa ia akrab dengan isu-isu dan advokasi perburuhan.

Lulus kuliah, Munir aktif di LBH Surabaya Pos Malang. Aktivitasnya bersentuhan dengan pembelaan terhadap hak-hak buruh, petani, dan kelompok marjinal lainnya.

Ia tercatat pernah menjadi penasihat hukum untuk keluarga tiga orang petani yang dibunuh oleh tentara dalam proyek Waduk Nipah di Banyuates, Sampang. Dia juga mengadvokasi keluarga korban penembakan di Lantek Barat, Galis, Bangkalan.

Pada 1998, Munir turut mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang HAM, terutama penghilangan paksa dan pelanggaran atas kemanusiaan lainnya.

Aktivitasnya itu membuat ia bersentuhan dengan isu penculikan aktivis pada 1997-1998. Untuk diketahui, ada 24 orang yang menjadi korban dalam peristiwa itu. Sebanyak 13 orang di antaranya hingga kini masih hilang.

Munir juga aktif menyingkap kasus penembakan mahasiswa dalam tragedi Trisakti maupun Semanggi I dan II. Ia juga berperan aktif mengawal dan mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Aceh pada masa Operasi Jaring Merah (1990-1998) dan Operasi Terpadu (2003-2004).

Daya juang Munir yang tak kenal takut dalam menyingkap tabir pelanggaran HAM di Indonesia mengusik pihak-pihak yang tersangkut dalam kasus tersebut. Ia seringkali mendapat ancaman dan kekerasan. Bahkan, rumahnya di Batu, pernah dipasangi bom oleh orang tak dikenal.
Berkat kegigihannya menegakkan HAM kaum tertindas, terutama pada kaum buruh, Munir dianugerahi banyak penghargaan.

Tahun 1998, majalah Ummat menobatkan Munir sebagai Man of the Year. Lalu, pada 2000, Munir dianugerahi Right Livelihood Award bersama-sama Tewolde Berhan Gebre Egziabher, Birsel Lemke, dan Wes Jackson. Selain itu, UNESCO juga pernah memberikan penghargaan terhadap Munir atas honourable mention pada Penghargaan Manjeet Singh untuk Pemajuan Toleransi dan Nirkekerasan.

Pembunuhan Munir

Aktivisme Munir ternyata menabrak dinding kekuasaan yang menyimpan banyak kasus kejahatan HAM. Kritik-kritiknya membuat gerah penguasa. Sepak-terjang perjuangannya mengusik kepentingan kelompok politik, terutama sisa-sisa Orde Baru, yang sedang berusaha mengonsolidasikan diri. Hingga, terjadilah peristiwa pada 7 September 2004 itu.

Saat melakukan perjalanan ke Belanda untuk menempuh pendidikan di Universitas Utrecht, Amsterdam, Munir dibunuh. Munir disebut meninggal ketika pesawat berada pada ketinggian 40.000 kaki di atas Rumania.

Dua bulan kemudian, pihak kepolisian Belanda menyatakan bahwa Munir meninggal dunia karena diracun oleh seseorang. Sebab, senyawa arsenik ditemukan di dalam tubuhnya usai autopsi dilakukan.
Senyawa itu diketahui terdapat di dalam air seni, darah, dan jantung yang jumlahnya melebihi kadar normal. Dosis arsenik yang ditemukan di tubuh Munir, menurut ahli forensik, mampu membunuh dua gajah sekaligus.

Dalam fakta persidangan kemudian diketahui, kematian Munir adalah pembunuhan konspiratif dan berencana yang melibatkan operasi intelijen.

Aksi tersebut menggunakan tangan Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot maskapai Garuda yang berperan ganda. Pollycarpus sempat dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Setelah memohon Peninjauan Kembali, hukumannya berkurang menjadi 14 tahun penjara. Pada November 2014, Pollycarpus bebas bersyarat dan dinyatakan bebas murni pada Agustus 2018.

Selain Pollycarpus Budihari Priyanto, nama mantan Deputi V Badan Intelijen Negara, Muchdi Purwopranjono, juga menjadi salah satu yang tersangkut dalam kasus pembunuhan Munir. Muchdi sempat menjadi terdakwa pembunuhan Munir, tetapi ia kemudian dibebaskan dan dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan pada 2008.

Nama Muchdi mencuat kembali saat akun peretas Bjorka menyebut mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu berada di balik pembunuhan Munir. Bjorka menuliskan bahwa Muchdi tidak senang kepada Munir karena aktivitasnya mengungkit kasus penculikan aktivis pada 1997-1998.

Tak pernah tuntas

Harapan soal penuntasan kasus Munir sempat muncul saat Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono membentuk tim pencari fakta untuk melakukan investigasi terhadap pembunuhan Munir.

Pembentukan TPF Kasus Meninggalnya Munir pada 2004 lewat Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004 (Keppres 111/2004) harusnya menjadi momentum politik untuk menyingkap kasus itu.

Namun, hasil investigasi tidak pernah dibuka ke publik. Padahal, Keppres 111/2004 memandatkannya. Komisi Informasi Publik (KIP) Pusat pada 10 Oktober 2016 sempat meminta pemerintah segera mengumumkan laporan tersebut. Namun, dokumen penyelidikan TPF dinyatakan hilang.

Saat kampanye Pemilihan presiden (pilpres) 2014, Joko Widodo alias Jokowi juga pernah berjanji akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk kasus Munir. Sepuluh tahun berlalu, hingga menjelang akhir masa jabatannya janji itu tak kunjung ditepati.

Fajar Lintang Wibawa, aktivis mahasiswa dan pegiat gerakan literasi. E-mail: lintangfajarwibawa@yahoo.com

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Venceremos, Kisah Sukses Lagu Kampanye Politik

Venceremos, Kisah Sukses Lagu Kampanye Politik

Tahun 1970, di Chile, seorang dokter berpikiran sosialis, Allende menjadi calon

Next
Bagaimana Fans K-Pop Mendukung Politik Progresif Chile?

Bagaimana Fans K-Pop Mendukung Politik Progresif Chile?

Pengujung 2021, Gabriel Boric, seorang politisi milenial berlatar belakang

You May Also Like
Total
0
Share