Teori ekonomi “trickle-down” alias ekonomi menetes ke bawah adalah mitos. Alih-alih menciptakan kemakmuran, akumulasi kekayaan ekstrem justru memperbesar ketimpangan, mengguncang stabilitas ekonomi, dan merusak demokrasi.
Pada 2024, kekayaan 440 miliarder Eropa bertambah hampir €400 juta setiap hari, dengan satu orang miliarder baru muncul hampir setiap minggu. Ini terjadi di tengah krisis biaya hidup yang dirasakan jutaan warga Eropa. Tapi masalah ini bukan cuma milik Eropa—ini persoalan global. Dunia sedang bersiap menyambut lima triliuner pertama dalam sejarah, sementara tingkat kemiskinan global nyaris tidak bergerak.
Kekacauan politik di Amerika Serikat (AS) belakangan bisa jadi peringatan: inilah yang terjadi kalau kekayaan ekstrem dibiarkan tanpa kendali. Elon Musk, yang tak pernah dipilih siapa pun, diberi kursi di kabinet Presiden Trump. Para miliarder dan korporasi juga terus mencengkeram kedua partai besar AS—bahkan memengaruhi lembaga peradilan. Efek dari konsentrasi kekayaan ini terhadap demokrasi tidak bisa lagi dibantah.
Eropa menghadapi situasi yang mirip. Ketika kekuasaan dan kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir orang, kebijakan publik jadi bias, ketimpangan makin parah, dan kepercayaan rakyat terhadap institusi publik pun runtuh.
Kalau Eropa tidak ingin makin jauh tergelincir ke arah instabilitas sosial, ekonomi, dan politik, para pemimpinnya harus segera bertindak untuk menantang dan mengendalikan penumpukan kekayaan ekstrem. Komitmen Komisi Eropa untuk mengkaji pajak kekayaan adalah langkah awal yang baik, tapi itu belum cukup. Kita butuh kebijakan nyata misalnya pajak kekayaan yang lebih besar, dan konsep baru seperti garis kekayaan ekstrem sebagai alat untuk mengembalikan demokrasi dan keadilan dalam sistem ekonomi kita.
Merusak demokrasi
Penumpukan kekayaan yang belum pernah terjadi sebelumnya di tangan segelintir orang punya dampak serius terhadap proses demokrasi. Nama-nama seperti Elon Musk, Jeff Bezos, dan Bernard Arnault menunjukkan bagaimana kekayaan ekstrem bisa mengontrol hak-hak buruh, kebijakan pajak, narasi media, dan peta politik—semua demi keuntungan mereka sendiri, dengan mengorbankan kepentingan masyarakat luas.

Elon Musk, misalnya. Selain ikut duduk di pemerintahan Trump, ia juga menggunakan platform media sosialnya, X (dulu Twitter), untuk menyebarkan informasi palsu menjelang pemilu Jerman. Kini otoritas Jerman, Prancis, dan Uni Eropa sedang berupaya mendapatkan akses ke algoritma X demi menyelidiki manipulasi yang dilakukan Musk.
Jeff Bezos, pendiri Amazon dan orang terkaya kedua di dunia, menghadapi banyak sorotan di Eropa terkait praktik anti-serikat buruh, penghindaran pajak, dan dominasi pasarnya. Di Jerman, pekerja Amazon sudah beberapa kali mogok kerja demi menuntut upah dan kondisi kerja yang layak. Bezos juga pemilik The Washington Post, yang dia manfaatkan untuk memengaruhi opini publik.
Bernard Arnault, orang terkaya di Eropa dan CEO LVMH, dikritik karena berusaha menggunakan kekayaannya untuk memengaruhi kebijakan publik dan menghindari pajak. Di Hongaria, pemerintahan Viktor Orbán bahkan secara aktif membantu para oligarki yang dekat dengan partai penguasa untuk memperkaya diri lewat proyek-proyek negara—sekaligus menghancurkan institusi demokrasi dan memperlebar kesenjangan ekonomi.
Saat para miliarder makin mendominasi kebijakan dan wacana publik, jurang antara yang berkuasa dan rakyat biasa makin lebar. Penelitian menunjukkan bahwa setiap kenaikan satu poin dalam koefisien GINI (ukuran ketimpangan pendapatan) berkorelasi dengan naiknya satu persen suara untuk partai-partai populis. Artinya, ketimpangan yang dibiarkan akan memicu rasa kecewa dan sinisme politik, dan pada akhirnya merusak demokrasi.
Ketimpangan dan instabilitas ekonomi
Ekonom Joseph Stiglitz menyatakan bahwa ketimpangan melemahkan daya beli karena keluarga berpenghasilan rendah cenderung menghabiskan lebih banyak dari pendapatannya dibanding orang kaya. Ini bukan cuma memperlambat aktivitas ekonomi saat ini, tapi juga membahayakan pertumbuhan di masa depan karena membatasi akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan kualitas hidup bagi mayoritas penduduk.
Sebaliknya, pemotongan pajak bagi orang kaya hanya memperbesar kekayaan mereka tanpa berdampak berarti terhadap penciptaan lapangan kerja. Studi dari London School of Economics menunjukkan bahwa kebijakan pajak yang memberi keuntungan pada 1 persen orang terkaya justru berdampak negatif terhadap ekonomi secara keseluruhan. Sebaliknya, distribusi kekayaan yang lebih adil ke 99 persen populasi terbukti mendorong investasi, konsumsi, dan lapangan kerja.

Kekuasaan finansial dan politik para orang super kaya telah mendistorsi kebijakan dan menciptakan instabilitas dalam kehidupan sehari-hari. Contoh nyata terlihat di pasar perumahan. Di Spanyol, spekulasi properti oleh investor ultrakaya dan hedge fund telah memperburuk krisis perumahan. Warga kota seperti Madrid dan Barcelona menghadapi harga sewa yang melonjak, sementara pembangunan apartemen mewah hanya untuk kalangan atas. Usaha pemerintah untuk mengatur harga sewa pun dihadang oleh para raksasa properti.
Bukan cuma itu. Kekayaan ekstrem juga mempercepat kerusakan lingkungan. Para super kaya punya jejak karbon yang luar biasa tinggi: dari gaya hidup boros energi sampai investasi di sektor-sektor paling mencemari. Akibatnya, harga kebutuhan pokok naik, ekonomi dan masyarakat makin tak stabil, dan ongkos kerusakan ini ditanggung rakyat biasa dan negara. Eropa kini pun berada di persimpangan. Apakah kita terus membiarkan segelintir orang mengacaukan ekonomi dan lingkungan demi kekayaan mereka, atau mulai menerapkan kebijakan yang mengutamakan kesejahteraan bersama dalam batas ekologi yang adil?
Pajak untuk kaum super kaya
Ketika sistem ekonomi gagal menyejahterakan mayoritas rakyat, kepercayaan publik akan runtuh. Ini jadi lahan subur bagi otoritarianisme. Saat Amerika berjuang melawan dominasi oligarki, Eropa harus bergerak sebelum krisis serupa menghantam benua ini.
New Economics Foundation (NEF) mengusulkan ide penting: extreme wealth line atau batas kekayaan ekstrem. Ini adalah semacam ambang batas—baik dalam bentuk angka maupun indikator—yang menunjukkan titik di mana konsentrasi kekayaan mulai berbahaya bagi demokrasi, masyarakat, ekonomi, dan lingkungan. Dengan begitu, kita bisa mengubah cara pandang terhadap kekayaan, mendesain kebijakan yang adil, dan menguatkan legitimasi demokrasi.
Pajak kekayaan yang efektif bisa mengurangi ketimpangan, memperkuat sistem perpajakan, dan menghasilkan pendapatan besar. Dalam KTT G20 tahun 2024 yang dipimpin Brasil, pajak kekayaan ekstrem resmi masuk dalam agenda global. Menurut Oxfam, pajak kekayaan global hingga 5 persen terhadap para miliarder bisa menghasilkan $1,7 triliun per tahun—cukup untuk mengangkat 2 miliar orang keluar dari kemiskinan.
Observatorium Pajak Uni Eropa memperkirakan bahwa pajak minimum sebesar 2 persen atas centi-miliuner (orang dengan kekayaan lebih dari €100 juta) di Eropa bisa menghasilkan €67 miliar, dan pajak 3 persen bisa mencapai €121 miliar—cukup untuk membuat sistem pajak di Eropa menjadi sedikit lebih progresif.
Dan kabar baiknya, banyak orang kaya juga mendukung ini. Tahun ini, lebih dari 370 miliarder dan milioner dari 22 negara—termasuk lebih dari 50 orang dari Uni Eropa—secara terbuka mendesak pemerintah untuk mengenakan pajak kekayaan ekstrem demi menyelamatkan demokrasi. Teknologi, dukungan publik, dan keterbukaan data perpajakan menciptakan peluang besar untuk mewujudkannya. Prancis dan Spanyol sudah mulai mengajukan proposal. Kajian distribusi kekayaan oleh Komisi Eropa harus jadi langkah awal menuju agenda pajak kekayaan ekstrem di tingkat Uni Eropa.
Fernanda Balata, ekonom politik senior di New Economics Foundation dan penulis laporan tahun 2025 berjudul Exploring an Extreme Wealth Line. Ia memimpin program internasional NEF yang fokus pada isu kekayaan ekstrem dan keadilan ekonomi, bekerja sama dengan jaringan mitra dari negara-negara selatan dan utara dunia.
Sebastian Mang, seorang ekonom politik yang memimpin kerja New Economics Foundation di bidang kebijakan ekonomi Uni Eropa. Sebelumnya, ia bekerja di Greenpeace menangani isu iklim dan energi, serta menjadi penasihat kebijakan untuk anggota parlemen Eropa dari Partai Hijau, khususnya dalam penyusunan undang-undang seperti Hukum Iklim Eropa dan Sistem Perdagangan Emisi.
Diterjemahkan dari Social Europe.