Video iring-iringan mobil pejabat berusaha menerobos lalu lintas Jakarta yang padat, Kamis (9/1). Dikawal oleh petugas Patwal, iringan-iringan itu meliuk-liuk di antara mobil-mobil yang berjalan pelan.
Namun, tiba-tiba sebuah mobil taksi Alphard tampak menghalangi jalan mobil pejabat berpelat RI 36 itu. Petugas patwal terlihat menunjuk-nunjuk kepada sopir taksi tersebut. Gesturnya menampakkan kemarahan.
Video itu viral di media sosial dan menuai respon beragam dari warga. Namun, mayoritas menganggap tindakan petugas Patwal itu berlebihan. Tidak sedikit juga yang mempertanyakan urgensi penggunaan patwal dan mobil dinas khusus bagi pejabat negara.
Di Indonesia, meskipun menganut sistem Republik, tetapi pejabatnya bermental feodal. Tak ubahnya raja-raja dan aristokrat di masa lampau, mereka selalu menghendaki hak istimewa dan diperlakukan khusus: ada mobil dinas dan pasukan pengawalnya.
Iring-iringan mobil pejabat RI tak ubahnya iringan raja-raja dan bangsawan di masa lampau: iringan panjang plus pengawalan khusus. Tak hanya dikawal oleh pasukan pengawal atau aparat keamanan, mereka juga ditemani oleh seabrek staf maupun asisten.
Di belahan negara lain, tepatnya Swedia, politik justru menampakkan wajah yang berbeda. Di negeri yang menganut Monarki Konstitusional itu, dengan raja memegang peran simbolik sebagai Kepala Negara, pejabat negara justru tak beda jauh dengan rakyat kebanyakan.
Swedia sudah meruntuhkan cara pandang politik tradisional, yang menempatkan pejabat politik sebagai pemegang hak istimewa dan harus dihormati. Orang-orang Swedia memperlakukan pejabat politiknya tak berbeda dengan rakyat biasa.
Seperti diceritakan oleh Claudia Wallin dalam bukunya, Sweden: The Untold Story (2018), para menteri dan anggota parlemen di Swedia bepergian dengan bus dan kereta umum. Tidak ada mobil dinas atau sopir pribadi. Tidak ada kemewahan atau hak istimewa bagi wakil rakyat.
Anggota parlemen juga tinggal di apartemen kecil dan mencuci serta menyetrika pakaian mereka sendiri di binatu umum. Gaji mereka sekitar dua kali lipat gaji guru sekolah dasar.
Pemandangan Perdana Menteri naik sepeda ke kantor, atau wali kota antri di halte bus, atau pejabat menteri mendorong troli belanjaannya sendiri di supermarket tanpa pengawalan, menjadi pemandangan biasa di Swedia.

“Karena, merujuk nilai-nilai Swedia, tidak seorang pun yang lebih tinggi dari yang lain. Bahkan politisi sekalipun harus hidup dalam kondisi yang sama dengan orang-orang yang memilihnya,” tulis Wallin.
Parlemen Swedia hanya punya tiga mobil dinas berjenis Volvo S80. Ketiga mobil itu hanya diperuntukkan bagi ketua dan tiga wakilnya. Itupun hanya diperbolehkan dipakai untuk urusan terkait tugas dan pekerjaan sebagai parlemen.
Lembaga legislatif Swedia, Sveriges Riksdag, mengatur semua pejabat pemerintah dapat menaiki transportasi umum, mobil sendiri, mobil sewaan, atau taksi untuk perjalanan dinas.
Hanya Perdana Menteri yang mendapatkan mobil dinas dengan pengawalan khusus karena pertimbangan keamanan.
Untuk urusan mobilitas, terutama untuk pergi dan pulang dari kantor, anggota parlemen Swedia menggunakan transportasi umum. Mereka hanya dibekali kartu transportasi umum yang dibayar oleh negara. Jadinya, anggota parlemen Swedia terbiasa untuk berbaur dengan masyarakat umum.
Tidak heran, politisi Swedia paham betul bagaimana menata transportasi publik agar nyaman, aman, dan inklusif (ramah terhadap disabilitas, lansia, anak-anak, dan ibu hamil). Sebab, keseharian mereka menggunakan transportasi umum.
Di Indonesia, pejabat susah sekali bicara transportasi publik, karena mereka hampir tak pernah merasakan berdesak-desakan dan berpanas-panas di atas transportasi umum. Mereka terbiasa dengan kendaraan pribadi dan dikawal oleh patwal, sehingga tak merasakan kemacetan.
Untuk tempat tinggal, anggota Parlemen Swedia hanya diberi fasilitas berupa apartemen ukuran kecil. Itu pun hanya diperuntukkan bagi anggota parlemen yang bertempat tinggal di luar kota Stockholm.
Oiya, anggota parlemen Swedia juga tidak punya sekretaris pribadi, apalagi punya staf yang seabrek. Mereka bahkan hanya memiliki kantor seluas 8 m2.
Di Indonesia, setiap anggota DPR minimal punya dua staf administrasi anggota dan lima tenaga ahli. Pejabat Menteri berhak punya minimal 5 staf ahli dan 5 staf khusus. Bahkan Wakil Menteri saja punya staf khusus. Ironisnya, gaji dan tunjangan yang besar, ditambah fasilitas dan staf yang berderet-deret, tak berbanding dengan kinerja pejabat.

Di Swedia, ada larangan keras bagi pejabat negara untuk menggunakan fasilitas negara/dinas untuk urusan pribadi. Soal ini, ada presedennya.
Pada 1995, Mona Sahlin, Wakil Perdana Menteri kala itu, ketahuan menggunakan kartu kredit pemerintah untuk membayar belanja kebutuhan pribadi. Belanjanya sebetulnya tidak besar, hanya membayar belanja pakaian, perjalanan pribadi, dan beberapa batang coklat Toblerone. Itu pun, si Mona Sahlin mengembalikan semua uang dibelanjakannya. Tapi, dalam sistem hukum Swedia, tetap saja itu tidak patut dan merupakan pelanggaran. Jadilah kasus itu disebut “skandal Toblerone”.
Di Indonesia, kantor Kementerian dipakai bikin kampanye politik. Mobil dinas dipakai untuk urusan pribadi. Kunjungan dinas ke luar negeri membawa anggota keluarga. Paket bansos ditempeli jabatan: Bantuan Presiden dan Bantuan Wakil Presiden.
Gaji pejabat di Swedia juga tidak timpang dengan gaji pekerja biasa. Gaji anggota parlemen Swedia sekitar 75 ribu krona atau sekitar Rp 108 juta. Sementara gaji guru sekitar 40 ribu krona atau sekitar Rp 57 juta. Jadi, gaji anggota parlemen Swedia hanya dua kali lipat gaji guru.
Di Indonesia, gaji pokok dan tunjangan DPR lebih dari Rp 50 juta per bulan. Sementara gaji guru di Indonesia hanya di rentang Rp 2,8 juta hingga Rp 5,5 juta per bulan. Itu berarti minimum take home pay DPR di Indonesia 10 kali lipat dari gaji guru. Itu belum membandingkan dengan gaji guru honorer yang hanya Rp 300 ribu hingga Rp 2 juta per bulan.
Apa yang bisa diharapkan dari Negara yang lalai membayar tunjangan kinerja (Tukin) dosen ASN, tetapi bisa jor-joran untuk membelanjai operasional dan gaya hidup pejabat dan membiayai buzzer?
Di Swedia, meskipun masih berbentuk Monarki-Konstitusional, tetapi feodalisme sudah dibuang ke keranjang sampah. Tidak ada panggilan “Yang Mulia”. Tidak ada perlakuan khusus untuk pejabat negara. Tidak ada pejabat yang kebal hukum. Dan tidak perlu khawatir untuk mengkritik pejabat.

Di Swedia, ada aturan yang melarang ujaran kebencian (hate speech). Namun, hate speech di sana bermakna penghinaan terhadap kelompok minoritas maupun marginal (suku, agama, ras, warna kulit, gender, maupun orientasi seksual). Sementara kritik terhadap pejabat, sekeras, sesarkas, sesatir apa pun, tidak masuk kategori ujaran kebencian.
Jadi, berbeda di Wakanda, pasal ujaran kebencian di Swedia dipakai untuk melindungi si kecil: kelompok minoritas dan marginal. Sebaliknya, di Konoha, pasal ujaran kebencian dipakai untuk membungkam si lemah.
Di Swedia, masyarakat biasa bisa melacak pengeluaran menteri, wakil rakyat, dan hakim, mengetahui pajak penghasilan perdana menteri, serta memeriksa pengeluaran komisaris polisi nasional atau panglima tertinggi angkatan bersenjata.
Transparansi menjadi kunci di Swedia. Sejak 1766, akses publik terhadap dokumen pemerintah menjadi hak konstitusional. Kebebasan pers juga dijunjung tinggi. Di Swedia, jurnalisme investigasi menjadi ujung tombak untuk menyingkap hal-hal yang tak tertangkap hukum formal.
Hari ini, kita tahu, Swedia adalah salah satu negara dengan tingkat korupsi terendah di dunia: peringkat ke-6 dengan skor 82. Juga salah satu negara paling makmur, paling demokratis, paling mendekati kesetaraan sosial, dan paling bahagia di dunia.
Jadi, sebagai negara berbentuk Republik, sudah saatnya Indonesia memperlakukan pejabat sebagai orang biasa, tak beda dengan rakyat kebanyakan. Pejabat tak perlu diberi mobil dinas, tak usah ada patwal. Biasakan mereka naik transportasi umum, agar bisa melihat keadaan rakyat secara langsung dan ada itikad baik membenahi sistem transportasi umum. Tidak perlu ada rumah dinas. Tidak perlu ada seremoni, pengawal, staf khusus, dan lain-lain. Itu hanya pemborosan anggaran negara. Dan tidak perlu lagi ada kriminalisasi terhadap kritik sepedas, sekeras, dan sesarkas apa pun terhadap pejabat negara.