Hai, pembaca Merdika, kalian tentu sering mendengar label “kiri” dan “kanan” dalam politik.
Di Eropa, dari abad ke-18 hingga penghujung abad ke-20, pembelahan politik antara kiri dan kanan ini sangat dominan. Hingga 1990-an, seiring dengan menguatnya neoliberalisme dan pergeseran partai-partai kiri Eropa ke jalan tengah, pembelahan ini pelan-pelan memudar.
Di Indonesia, sejak zaman pergerakan kemerdekaan hingga 1960-an, pembedaan politik kiri dan kanan juga populer. Sayang, sejak Orde Baru berkuasa dan proyek de-ideologisasinya, kiri menghilang dalam politik Indonesia.
Lalu, bagaimana istilah dan pembelahan politik kiri dan kanan ini muncul?
Bermula dari Revolusi Perancis
Istilah kiri dan kanan muncul pertama sekali saat revolusi Perancis 1789.
Jadi, ketika revolusi Perancis sedang memuncak, atau sepanjang Juli-September 1789, terbentuk sebuah majelis yang disebut Majelis Konstituante Nasional atau Assemblée Nationale Constituante.
Nah, saat itu Majelis sedang menyusun draft konstitusi baru. Anggota delegasi dalam Majelis terbelah sikapnya saat membahas seberapa besar otoritas Raja Louis XVI.
Saat perdebatan mengeras, delegasi-delegasi itu terbelah dalam dua faksi dengan tempat duduk berbeda. Kaum revolusioner anti-monarki duduk di sebelah kiri pimpinan sidang. Sedangkan pendukung monarki, yaitu bangsawan, tuan tanah, dan konservatif, duduk di sebelah kanan pimpinan sidang.
Pembelahan politik itu berlanjut hingga 1800-an. Media-media Perancis ikut melabeli kaum progresif dan revolusioner sebagai kiri, sedangkan kelompok tradisional dan konservatif disebut kaum kaum kanan.
Setelah 1848, usai revolusi demokratik yang mengguncang seantero Eropa, pengkubuan politik mengacu pada dua garis utama: sosialis-demokrat versus reaksioner. Kaum sosialis demokrat menggunakan bendera merah, sementara kaum reaksioner menggunakan bendera putih.
Pasca revolusi 1871, yang melahirkan Komune Paris, pengelompokan politik kiri dan kanan melahirkan varian yang lebih luas: tengah (moderate), ekstrim kiri (far-left), dan ekstrem kanan (far-right).
Di AS, pada akhir abad ke 19, gerakan kiri mengacu pada gerakan buruh, gerakan agraria (petani), abolisionisme (penghapusan perbudakan). Michael Kazin, sejarawan kiri yang juga editor Dissent Magazine, menyebut kiri Amerika berusaha menggabungkan antara kesetaraan sosial dan kemerdekaan individu.
Namun, pasca perang dunia kedua, dengan mengerdilnya gerakan komunis dan sosialis di satu sisi dan kampanye McCarthyisme atau anti-merah di sisi lain, kiri menjadi identik dengan liberal dan demokrat. Kiri juga disamakan dengan progresif.
Di Inggris, pengelompokan politik paling lawas adalah antara Whigs versus Tories. Whigs mewakili kecenderungan liberal dan anti-monarki, sementara Tories condong ke konservatisme dan pro-monarki. Pada akhir abad ke-19, muncul partai Buruh (Labour) yang mewakili aspirasi kelas pekerja dan ide-ide sosialisme. Awalnya, Partai Buruh ini mengusung ide-ide sosialis, seperti kepemilikan sosial, nasionalisasi industri strategis, dan politik redistribusi.
Tahun 1990-an, di era kepemimpinan Tony Blair, partai Buruh bergeser ke tengah dan menjauh dari nilai-nilai sosialistik. Bagi Blair, pengelompokan kiri dan kanan sudah tidak relevan lagi di era globalisasi neoliberal. Bagi dia, pengelompokan politik yang senafas dengan kemajuan zaman adalah terbuka (open-minded) dan tertutup (closed-minded).
Sejak era Blair, pengkubuan kiri dan kanan menjadi kabur. Chantal Mouffe menyebutnya sebagai momen “pasca politik”, yaitu momen yang mengaburkan batas politik antara kiri dan kanan karena sama-sama menerima neoliberalisme sebagai jalan ekonomi-politik tanpa pilihan lain.
Perkembangan Lebih Lanjut
Lambat laun, seiring dengan tumbuh-kembang gerakan kelas pekerja, istilah kiri juga merujuk pada berbagai perjuangan untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan dan penghisapan. Ini meliputi gerakan sosialis, komunis, sosial-demokrasi, hingga anarkisme.
Belakangan, kira-kira di tahun 1960-an, berkembang pesat gerakan hak-hak sipil (anti-rasisme dan apartheid), gerakan anti-perang, gerakan feminis, advokasi hak LGBT, dan gerakan lingkungan, yang juga dikelompokkan sebagai gerakan kiri-baru.
Belakangan, karena istilah dan gerakan kiri berkembang seiring dengan dinamika politik dan kompleksitas perjuangan sosial, maka seorang ilmuwan Italia, namanya Norberto Bobbio, berusaha memberikan definisi baru. Menurutnya, apa yang disebut “kiri” dan “kanan” bisa dilacak pada sikapnya pada dua isu besar: pertama, kesetaraan versus ketidaksetaraan; dan kedua, kebebasan versus otoritarianisme.
Konteks Indonesia
Konteks Indonesia justru unik. Pada masa perjuangan kemerdekaan hingga 1960-an, pembelahan politik kiri dan kanan sangat determinan.
Dalam rentang waktu yang panjang, setidaknya dari 1920-an hingga 1960-an (empat dekade), politik kiri sangat dominan. Hampir semua pendiri bangsa Indonesia dan organisasi politiknya berada di persimpangan kiri jalan. Saat itu, kanan tak hanya identik dengan konservatisme, tetapi juga terkait dengan sikap moderat atau berpihak pada kolonialisme.
Namun, sejak Orde Baru berkuasa, peta politik berubah drastis. Spektrum politik kiri menghilang sama sekali dari peta politik setelah proyek pembasmian kiri oleh Orde Baru pasca peristiwa 1965.
Selama lebih dari setengah abad, terhitung sejak 1965 hingga sekarang, politik Indonesia hanya politik kanan: kanan moderat (centredan kanan ekstrim). Kanan moderat itu pada partai nasionalis dan liberal, sementara ekstrim itu pada partai-partai berbasis agama.