Dalam lini masa perjuangan bangsa Palestina, ternyata terdapat jejak langkah komunis Tiongkok. Mereka tak hanya membantu logistik dan persenjataan, namun juga memberikan pelatihan militer.
Awal 1980-an, tentara Israel gencar-gencarnya menyergap pos komando Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di selatan Lebanon. Mereka mendapati sejumlah dokumen terkait rencana-rencana operasi militer.
Nah, di antara surat dan dokumen itu terdapat korespondensi antara PLO dengan Jerman Timur, Yoguslavia, Vietnam, Pakistan, India, Korea Utara, dan Tiongkok. Isinya, terkait pelatihan militer.
Terselip di antara surat-surat itu dukumen tiga halaman berisi tutorial menangani dan membuat bahan peledak. Ada juga, dalam bahasa Mandarin, menjelaskan cara membangun tambang sederhana bermodalkan kawat berduri, semen, mesiu, dan material lainnya.
Surat-surat dan dokumen yang ditemukan di Lebanon itu hanya satu dari banyak kiriman komunis Tiongkok untuk PLO. Surat dan dokumen tersebut rata-rata berkalender 1960-an.
Surat-surat yang berhasil didapatkan oleh Haarezt, media progressif di Israel, menunjukkan dukungan komunis Tiongkok untuk kemerdekaan Palestina.
Untuk diketahui, tak lama setelah pembentukan Republik Rakyat Tiongkok pada 1949, posisi Beijing adalah mengakui (beberapa sumber menyebut hanya pengakuan de-jure) negara Israel. Namun, sejak 1960, pemerintahan komunis Tiongkok berkawan akrab dengan Palestina. Bagi Beijing, perjuangan Palestina merupakan bagian dari lensa besar perjuangan melawan imperialisme.
Di tahun 1960-an dan awal 1970-an, Tiongkok menyuplai senjata kepada sejumlah kelompok gerilya di Palestina secara cuma-cuma alias gratis. Hitungan dinas intelijen Israel, jika diuangkan, jumlah senjata yang dikirimkan Tiongkok ke Israel antara 1965–1979 mencapai USD 5 juta―kalau sekarang, disesuaikan dengan inflasi, nilainya mencapai USD 33 juta. Persenjataan itu mulai dari senapan, granat tangan, mesiu, ranjau, dan bahan peledak lainnya.

Awalnya, Tiongkok mengirimkan senapan bekas buatan Uni Soviet. Namun, pada 1967, Tiongkok mulai mengirimkan senjata buatan sendiri.
Dokumen berisi manual cara membuat bahan peledak, dengan bahasa Mandarin, yang ditemukan di markas/pusat komando Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di awal 1980-an, ditemukan tentara Israel.
Selain menyuplai senjata, komunis Tiongkok juga memberi pelatihan militer kepada gerilyawan PLO. Tak berhenti di situ, komunis Tiongkok juga jadi inspirasi ideologis bagi PLO.
Sebuah surat yang ditemukan Haarezt, tertanggal 26 Maret tanpa tahun, berisi permintaan kepada empat unit PLO untuk mengirimkan empat perwira mereka untuk belajar di Tiongkok. Tampaknya, para perwira itu dididik di Akademi Militer Nanjing.
Meskipun jumlah perwira PLO yang pernah mendapat pelatihan itu tidak melebihi selusin, tetapi ini hanya awal dari tahun-tahun keakraban Tiongkok dan Palestina.
Sekutu Perang Dingin
Tahun 1970, Yasser Arafat, pemimpin PLO, pernah dikutip dalam sebuah ulasan di Peking Review. Dia bilang, “Tiongkok berpengaruh besar dalam mendukung revolusi kami dan melatih kesabaran revolusioner.”
Antara 1964 sampai 2001, setidaknya ada 14 kali kunjungan resmi pemimpin Palestina. Di tahun 1980-an, rumah-rumah orang di Tiongkok akrab dengan gambar Yasser Arafat. Di televisi mereka, Arafat ditayangkan turun dari pesawat mengenakan seragam militer dan penutup kepala Kaffiyeh.
“Suplai senjata ini semacam bahasa pesan Tiongkok ke Palestina, kalau mereka mendukung perjuangannya,” kata Professor Yitzhak Shichor, pengajar studi Asia di Hebrew University, kepada Haaretz.

Menurutnya, PLO sebetulnya tidak begitu menggunakan senjata-senjata itu. Namun, meski tidak banyak terpakai, pasokan senjata dari Tiongkok melebih kebutuhan Palestina.
Dikabarkan, beberapa buku petunjuk dari Tiongkok, yang berisi panduan merakit bahan peledak, dilengkapi dengan kolom kosong yang wajib diisi untuk memberi tahu apakah manual itu berguna atau tidak. Sayangnya, kotak kosong itu tidak pernah terisi.
Prof Meron Medzini, pengajar dari Studi Asia di Hebrew University, berpendapat, segala bantuan dari Tiongkok itu tak lebih dari sekedar penyataan politik. Menurutnya, Tiongkok punya kepentingan yang lebih besar dari sekedar menyuplai senjata.
Tetapi, sejarawan Lillian Craig Harris punya pendapat berbeda. Dalam ulasannya di jurnal Studi Palestina tahun 1977, dia bilang, “Tanpa bantuan itu (Tiongkok), PLO tidak akan menjadi kekuatan politik sekuat hari ini.”
Penulis buku China Considers the Middle East itu justru berpendapat, segala bantuan dari Tiongkok merupakan poin sejarah yang sering dilupakan. Padahal, berbeda dengan negara komunis lain, seperti Uni Soviet, Tiongkok konsisten membantu Palestina dan benar-benar punya saham dalam revolusi di negeri Timur Tengah itu.
Tak hanya itu, demi menunjukkan dukungan ke Palestina, rakyat Tiongkok juga menggelar demonstrasi besar di Kota Beijing. Pada 15 Mei 1951, rakyat Tiongkok menggelar aksi solidaritas bagi Palestina untuk pertama kalinya. Aksi serupa terus digelar hingga 1971.
Tiongkok menjadi negara non-Arab pertama yang menjalin hubungan dengan PLO sejak pendiriannya pada 1964. Salah satu pimpinan PLO, Ahmad Shukeiri, juga menjadi delegasi Palestina pertama yang mengunjungi Tiongkok pada Maret 1965.
Melalui sebuah perjanjian, PLO memastikan dukungan Beijing untuk mendukung perjuangan Palestina, dengan “segala macam cara”. Tak lama setelah kunjungan, Shukeiri menyampaikan misi PLO ke Beijing, yaitu untuk dukungan senjata dan pelatihan militer.
Dukungan itu membuat Israel berang. Israel kemudian menggandeng Taiwan, musuh Republik Rakyat Tiongkok (RRT), di panggung Perserikatan Bangsa-Bangsa. Manuver itu sekaligus menjadi pesan bahwa Israel tak terima atas dukungan Tiongkok untuk PLO.
Tak lama setelah kunjungan PLO itu, Tiongkok mulai memasok senjata ke Palestina. Mereka masuk lewat pelabuhan Irak, lalu dikirim via Suriah kepada orang-orang Palestina di Lebanon dan Yordania. Namun, negara-negara Arab ini kurang sreg dengan aksi Tiongkok itu―mungkin takut Uni Soviet (seteru ideologi Tiongkok saat itu) marah, sehingga terjadi penyitaan kapal-kapal Tiongkok.
Seperti kejadian di 1970, satu kapal Tiongkok yang bermuatan penuh amunisi disita oleh pasukan Suriah di Latakia.
Mengekspor Maoisme ke Timur Tengah
Di akhir 1960-an, perhatian Tiongkok terhadap Palestina merupakan yang paling mencolok di samping negara-negara Arab.
Tiongkok memang rajin menyokong perjuangan pembebasan nasional di berbagai tempat, agar menjadi semacam Front Strategis Anti-Imperialisme. Ada banyak partai komunis yang dipengaruhi oleh pemikiran Mao Tse Tung, seperti di Malaya, Vietnam, India, dan Khmer Merah di Kamboja.
“Bantuan (Tiongkok) ke Palestina punya implikasi ke seluruh Timur Tengah dan seluruh negara Arab,” kata Professor Yitzhak Shichor.
Tiongkok menganggap Timur Tengah sebagai palagan penting untuk melawan imperialisme. Tiongkok melihat konflik Israel-Palestina sebagai bagian dari konflik negara-negara imperialis dengan kekuatan lain untuk menanamkan pengaruh di kawasan itu.

Karena itu, menurut Prof Shichor, dengan menyokong perjuangan Palestina, sementara sentimen Pan-Arabisme sedang menyapu seluruh Timur Tengah dan dunia Islam kala itu, Tiongkok akan mendapat sambutan positif.
Ketua Mao juga mendapat kesempatan mempopulerkan ajarannya ke tempat lain, termasuk Timur Tengah. Tentu saja, Palestina dianggap sebagai titik pijak awal untuk mempromosikan ideologi revolusioner Maoisme.
Pada Maret 1965, Mao berpesan ke delegasi PLO. “Imperialis takut pada Tiongkok dan Arab. Israel dan Taiwan adalah basis imperialisme di Asia,” kata Mao.
“Negara bung (Palestina) menjadi gerbang depan sebuah benua besar, sedangkan kami di belakang. Mereka menciptakan Israel untuk negara bung, sedangkan Taiwan untuk kami,” tambahnya.
Tiongkok mendekati PLO tak hanya sebagai sumber dukungan, tetapi sekaligus sebagai sekutu dalam melawan imperialisme.
Di puncak konflik Sino-Soviet (konflik antara komunis Tiongkok versus komunis Uni Soviet di bawah Nikita Khrushchev) di tahun 1960-an, Tiongkok merasa diisolasi oleh AS dan Uni Soviet, di mana keduanya mendukung Israel. Tiongkok kemudian berpaling ke dunia ketiga. Karena itu, mendukung perjuangan Palestina merupakan cara untuk mengimbangi Uni Soviet di Timur Tengah.
Namun, biaya yang dikeluarkan Tiongkok untuk menyuplai senjata dan berbagai dukungannya ke Palestina tidak sebanding dengan apa yang mereka dapatkan: baik dukungan regional dan dunia maupun penyebaran ideologi Maoisme.
“Bagi Tiongkok, ini kesempatan yang baik untuk sejumlah hal: meluaskan sentimen anti-Amerika, anti-imperialis, dan anti-Israel, mengekspor revolusi, dan mengimbangi Uni Soviet,” terang Prof Meron Medzini.
Buku-buku Mao, seperti Persoalan Strategi dalam Perang Revolusioner di Tiongkok, Persoalan Strategi dalam Perang Gerilya Melawan Jepang, dan Kumpulan Kutipan dan Pidato Ketua Mao (Buku Merah), menjadi bacaan rekomendasi bagi Fatah, salah satu faksi terkuat di tubuh PLO.
Melalui buku-buku itu, mereka mempelajari revolusi Tiongkok secara lebih dekat. Di samping mempelajari revolusi Vietnam dan Kuba.
Setelah Israel mengalahkan negara-negara Arab dalam Perang Enam Hari, ideologi Palestina mulai menjauh dari Pan-Arabisme dan makin dekat dekat Wataniya (cita-cita satu negara Arab).
Bersamaan dengan itu, gagasan perjuangan bersenjata, terutama lewat perang gerilya, menjadi pilar utama faksi Fatah dalam mendefenisikan perjuangannya.
Setelah perang berakhir di 1967, Fatah menyadari menjadi perhatian besar Tiongkok. Saat itu, Tiongkok menganggap pendudukan Israel di Tepi Barat sebagai saat yang tepat untuk mengobarkan perjuangan bersenjata.
Meskipun begitu, PLO juga tetap berusaha menjaga hubungan baik dengan Uni Soviet. “Orang Palestina lebih suka pasokan senjata dari Uni Soviet, karena mereka berada di PBB (pemilik hak veto) dan punya kedutaan di seluruh dunia. Jadi punya pengaruh di negara yang Tiongkok tak punya pengaruh,” kata Prof Shichor.
Berharap bisa tetap menjadi sekutu paling setia bagi Palestina, Tiongkok pun mengungkit-ungkit hubungan politik antara Uni Soviet dan Israel.
“Di beberapa kesempatan, Tiongkok mengingatkan orang Palestina, bahwa Uni Soviet mendukung berdirinya negara Israel,” kata Prof Medzini.

Dukungan terus berlanjut
Pada 1970-an, seiring dengan Revolusi Kebudayaan yang mengoyak internal Tiongkok, pasokan senjata ke Palestina mulai berkurang.
Sementara itu, pada 1971, Tiongkok menjadi anggota PBB dan membuka kesempatan untuk berteman baik dengan negara-negara Arab. Di Palestina, faksi-faksi politik bertengkar sendiri akibat kasus September Hitam.
Meski begitu, dukungan Tiongkok terhadap perjuangan Palestina terus berlanjut, bahkan PLO membuka kedutaan resmi di Beijing pada musim panas 1974.
Tahun 1975, Tiongkok ikut mendukung Resolusi Majelis Umum PBB 3379 yang menyamakan Zionisme dengan rasisme. Meski kemudian resolusi ini dibatalkan tahun 1991 lewat Resolusi 4686, Tiongkok tak hadir dalam pemungutan suara tersebut.
Di sisi lain, kedekatan Tiongkok dengan PLO hanya berdampak kecil terhadap Israel. Seiring dengan memuncaknya konflik Sino-Soviet, lalu pecahnya perang Soviet-Afghanistan di akhir 1970-an, Tiongkok diam-diam berhubungan dengan Israel.
Apalagi, setelah kematian Mao pada September 1976, penggantinya, Deng Xiaoping, menghentikan semua bantuan untuk kelompok militan. Tiongkok juga mendukung Perjanjian Camp David tahun 1978. Meski demikian, Tiongkok tetap mendukung kemerdekaan Palestina, seperti ketika Yasser Arafat mendeklarasikan kemerdekaan Palestina di Aljazair pada 1988. RRT mengakui negara Palestina pada 20 November 1988 dan membuka hubungan diplomatik penuh pada akhir 1989.

Pasca Deng Xiaoping, hubungan Tiongkok dengan Israel maupun negara-negara Arab terus dijaga. Di bawah kepemimpinan Presiden Jiang Zemin dan Hu Jintao, Tiongkok mendukung proses perdamaian Timur Tengah dan Kesepakatan Oslo. Yasser Arafat sendiri sudah 14 kali mengunjungi Tiongkok.
Setelah Hamas, kelompok islamis konservatif dan anti-komunis, memenangkan pemilu di Palestina pada 2006, Tiongkok menyebut mereka sebagai wakil sah rakyat Palestina. Menteri Luar Negeri Hamas, Mahmoud al-Zahar, diundang ke Forum Kerja Sama Tiongkok-Arab, meskipun AS dan Israel keberatan.
Pada 29 November 2012, Tiongkok mendukung pengakuan Palestina sebagai negara pengamat non-anggota di PBB. Dalam Perang Gaza 2014, juru bicara Kemenlu Tiongkok menyerukan gencatan senjata dan perdamaian segera, sembari mengingatkan bahwa kekerasan hanya menimbulkan kebencian baru.
Tiongkok juga mendukung Resolusi DK PBB 2334 yang mengecam pembangunan permukiman Israel di Tepi Barat, dan secara konsisten berpihak pada Palestina di forum-forum internasional. Awal 2016, Presiden Xi Jinping menegaskan kembali dukungan Tiongkok terhadap pembentukan negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.
Pada 11 Oktober 2023, saat perang Gaza baru dimulai, Tiongkok menyerukan gencatan senjata dan mengajukan solusi dua negara. Ketika AS mengajukan resolusi di Dewan Keamanan PBB pada 25 Oktober, Tiongkok dan Rusia menggunakan hak veto—langkah yang langsung disambut pujian oleh pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh. Pada Januari 2024, Israel melaporkan telah menemukan tumpukan senjata buatan Tiongkok yang digunakan oleh Hamas.
Pada 23 Juli 2024, berkat mediasi Tiongkok, berbagai faksi Palestina—termasuk Hamas dan Fatah—sepakat untuk mengakhiri konflik internal dan membentuk pemerintahan persatuan sementara. Kesepakatan ini diumumkan dalam “Deklarasi Beijing.”
Begitulah, sejak era Mao hingga Xi Jinping, Tiongkok terus memberikan dukungan terhadap perjuangan Palestina. Meskipun, karena faktor politik internal dan perubahan geopolitik, bentuk dukungan itu berubah-ubah dan pasang-surut. Namun, tak bisa dibantah, Tiongkok dan maoisme merupakan salah satu penyokong kemerdekaan Palestina.