Jakarta, kota besar yang selalu sibuk dengan segala dinamika kehidupan, memiliki masalah yang tak kunjung selesai: sampah.
Setiap harinya, kota dengan 11,3 juta jiwa penduduk ini menghasilkan sekitar 8.527 ton sampah. Bayangkan, kalau sampah itu ditumpuk, bisa mencapai ketinggian 1 meter dan memakan luas 5 lapangan sepak bola. Dalam setahun, sampah Jakarta menutupi area seluas 11,6 km².
Sebagian besar sampah ini diangkut oleh 1.200 truk ke Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, yang sudah beroperasi sejak 1989. Sayangnya, TPA ini sudah penuh sesak dengan tumpukan sampah mencapai 40 meter dan kapasitas yang hampir penuh (55 juta ton).
Di Jakarta, sampah memicu masalah besar. Selain soal pemandangan yang tak elok dan bau tak sedap, sampah juga berhubungan dengan isu pencemaran lingkungan. Bahkan, dalam konteks Jakarta, sampah menjadi salah satu pemicu banjir. Patut diketahui, masih ada 31.123 ton sampah per tahun yang tak terkelola dengan baik atau terbuang sembarangan.
Meskipun menjadi perhatian serius, tapi otak-atik jurus untuk menyelesaikan sampah di Jakarta belum banyak berhasil. Setidaknya karena ada tiga persoalan.
Pertama, sebagian warga Jakarta masih terperangkap dalam mentalitas buang dan selesai. Setelah dibuang ke tong sampah, urusan selesai. Mereka menganggap sampah sebagai masalah pemerintah. Padahal, tanpa pemilahan yang benar dari sumbernya, pengolahan sampah jadi lebih sulit.
Kedua, cara pandang penyelesaian urusan sampah di Jakarta masih terfokus ke hilir: tempat pembuangan akhir (TPA). Sangat sedikit pendekatan untuk mengurangi sampah di hulu.
Ketiga, minimnya infrastruktur daur ulang. Fasilitas pengolahan sampah di Jakarta masih minim. Bank sampah ada, tapi belum cukup banyak dan belum semua warga aktif memanfaatkannya.
Peran warga dalam pengelolaan sampah
Sampah Jakarta sebagian besar berasal dari rumah tangga, yang menghasilkan sekitar 60 persen dari total sampah di kota ini. Sampah makanan, yang mencapai 49 persen, sangat berpotensi untuk dikelola dengan baik di tingkat rumah tangga atau usaha. Jadi, melibatkan warga dalam pengelolaan sampah adalah kunci untuk mengurangi volume sampah yang berakhir di TPA.
Ada beberapa cara yang bisa diterapkan untuk melibatkan warga secara aktif dalam pengelolaan sampah.
Pertama, memaksimalkan bank sampah di setiap RW. Bank sampah ini bisa menjadi ujung tombak dalam menangani masalah sampah berbasis warga. Setiap RW harus memiliki bank sampah sebagai tempat warga menukarkan sampah plastik, kertas, dan barang anorganik lainnya dengan uang atau saldo belanja. Dengan begitu, sampah bisa didaur ulang dan memberi manfaat ekonomi bagi warga.
Kedua, insentif bagi warga yang rajin memilah sampah juga bisa mendorong partisipasi aktif. Misalnya, warga yang mengelola sampah mereka dengan baik bisa menukarkan sampah yang sudah dipilah dengan token listrik, pulsa, atau sembako. Ini bisa menjadi pancingan yang efektif untuk mengubah perilaku masyarakat.
Di Kolombia, misalnya, pemerintah menggunakan mesin Ecobot yang memberikan hadiah berupa kupon belanja atau tiket bioskop kepada warga yang mendaur ulang botol plastik. Konsep ini sudah terbukti berhasil dan bisa diterapkan di Jakarta dengan menyesuaikan kebiasaan dan budaya lokal.
Ketiga, memberdayakan pemulung melalui koperasi. Selain itu, mengintegrasikan pemulung ke dalam sistem pengelolaan sampah juga bisa menjadi solusi jitu. Di Brasil, pemulung sudah menjadi bagian dari sistem pengelolaan sampah kota melalui koperasi. Pada Piala Dunia 2014, koperasi pemulung di Brasil bahkan mendapatkan kontrak untuk membersihkan stadion setelah pertandingan.
Di Jakarta, koperasi pemulung bisa diintegrasikan untuk mengatasi dua masalah sekaligus: mengelola sampah dengan lebih baik dan membantu mengurangi kemiskinan serta masalah sosial lainnya.
Dengan memberikan pemulung kesempatan untuk bekerja dalam sistem pengelolaan sampah yang terorganisir, kita bisa menciptakan manfaat ganda, lingkungan yang lebih bersih dan kehidupan yang lebih sejahtera bagi mereka.
Memperkuat bank sampah di setiap RW
Visi Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta, Pramono Anung-Rano Karno untuk membentuk bank sampah di setiap RW (satu RW, satu bank sampah) patut disambut.
Di Jakarta, baru 1.878 RW yang punya bank sampah. Total bank sampah yang ada sebanyak 2.287 unit. Dari jumlah itu, sebanyak 1.435 unit (63 persen) berstatus aktif dan 852 unit (37 persen) berstatus tidak aktif. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa mengambil langkah-langkah konkret untuk menghidupkan kembali bank sampah dengan berbagai cara.
Pertama, membuat sampah menjadi uang. Warga akan lebih tertarik untuk memilah sampah jika ada imbal balik yang jelas dan transparan. Misalnya, setiap sampah yang disetorkan bisa langsung dihargai dengan uang, pulsa, atau sembako murah.
Kedua, melibatkan emak-emak dan anak muda. Mereka adalah kunci untuk menyebarkan semangat memilah sampah di tingkat RT dan RW. Misalnya, lomba antarkeluarga untuk memilah sampah atau kampanye lewat media sosial seperti TikTok atau Instagram. Langkah ini bisa meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pengelolaan sampah yang benar.
Ketiga, untuk mendorong partisipasi, lokasi bank sampah harus lebih dekat dengan warga, dengan membuat titik-titik mini bank sampah di setiap RT. Selain itu, tim pengambil sampah bisa melakukan pengambilan rutin ke rumah-rumah untuk memudahkan warga.
Terakhir, edukasi tentang pengelolaan sampah harus dilakukan dengan cara yang menyenangkan dan relevan, misalnya dengan mengadakan workshop, menonton film dokumenter tentang sampah, atau mengundang influencer yang punya pengaruh di kalangan anak muda.