12 Mei 1998, sebuah kejadian di depan kampus Universitas Trisakti, Jakarta, menjadi titik penting dalam sejarah Indonesia. Aksi damai mahasiswa yang menuntut perubahan justru berujung kekerasan. Empat mahasiswa gugur. Peristiwa itu pun dikenang sebagai Tragedi Trisakti.
Peristiwa berdarah itu menjadi penanda retaknya fondasi rezim Orde Baru. Dan, hari-hari sejak peristiwa itu disesaki oleh aksi demonstrasi mahasiswa-rakyat di seantero Indonesia, sekaligus menggiring rezim Orde Baru menuju titik akhirnya.
Namun, dua dekade lebih berlalu, keadilan untuk para korban dalam tragedi ini tak kunjung dihadirkan.
Bagaimana kejadian itu dan seperti apa dampaknya sekarang?
Pada 1997, krisis keuangan mulai melanda Asia Tenggara dan menggoyang fondasi ekonomi banyak negara. Tidak terkecuali Indonesia. Fondasi ekonomi Orde Baru goyah. Banyak bank yang kolaps. Harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Selain itu, banyak perusahaan kolaps dan memicu PHK massal.

Nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar AS anjlok hingga 600 persen dalam waktu setahun. Rupiah yang tadinya berkisar Rp 2.380 per satu dollar pada Juli 1997 terpuruk menjadi Rp 16.650. Hal ini menyebabkan perekonomian Indonesia morat-marit.
Bantuan dari IMF yang diwakili Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional, Michel Camdessus pada 15 Januari 1998 tidak banyak menolong. Harga-harga yang melambung tinggi membuat mahasiswa turun ke jalan. Mereka menyuarakan perlawanan terhadap pemerintah yang dianggap gagal mengatasi masalah ini.
Di sisi lain, kondisi pemerintahan waktu itu yang didominasi kalangan militer dianggap menjadi salah satu penghalang demokrasi berjalan dengan baik. Praktik korupsi dan nepotisme dipertontonkan oleh Presiden Soeharto dan hampir seluruh pejabat-pejabat di bawahnya.
Hari-hari itu, tuntutan demokratisasi yang berkumandang sejak awal 1990-an, yaitu cabut Dwifungsi ABRI, cabut Paket 5 UU Politik, dan turunkan Soeharto, bertemu dengan keresahan ekonomi, sehingga memicu protes sosial di mana-mana.
Kronologi kejadian
Hari itu, 12 Mei 1998, mahasiswa Trisakti yang tergabung dalam Senat Mahasiswa Universitas Trisakti (SMUT), yang didukung oleh dosen dan pejabat universitas, berniat menyampaikan aspirasi di gedung DPR/MPR.
Namun, aksi mereka dihadang oleh barikade polisi tepat di depan pintu masuk kantor Wali Kota Jakarta Barat. Beberapa perwakilan mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan aparat. Negosiasi berlangsung alot. Sambil menunggu proses negosiasi, massa aksi duduk di jalan dan menggelar mimbar bebas. Beberapa mahasiswi membagikan bunga kepada aparat kepolisian.
Menjelang sore hari, sekitar pukul 16.00 lewat, tim negosiasi mengumumkan bahwa kedua pihak, mahasiswa dan kepolisian, bersepakat untuk sama-sama mundur. Saat mahasiswa perlahan-lahan mundur, seseorang yang mendaku alumni berteriak dan melontarkan kata-kata kotor ke arah massa aksi mahasiswa. Karena dikira oknum intel, alumni tersebut dikejar massa hingga ke arah aparat.

Situasi berubah menjadi kacau. Aparat bergerak maju ke arah mahasiswa, disertai tembakan gas air mata dan suara tembakan. Selain itu, aparat dengan kendaraan bermotor menggunakan rompi bertuliskan URC (Unit Reaksi Cepat) mengejar mahasiswa hingga ke kampus. Peluru karet maupun peluru tajam berhamburan menerjang mahasiswa yang berlari.
Akhirnya, mahasiswa memilih untuk mundur, tetapi justru diikuti oleh barikade aparat yang malah merangsek.
Satu jam usai kejadian horor itu, kampus Trisakti masih tegang sampai tengah malam, demikian dilaporkan Kompas pada Rabu, 13 Mei 1998.
Korban Tragedi Trisakti
Serangan brutal aparat dalam Tragedi Trisakti menyebabkan enam orang korban. Empat orang di antaranya adalah mahasiswa Trisakti, yakni:
- Elang Mulia Lesmana (Fakultas Arsitektur Trisakti, angkatan 1996)
- Hafidi Alifidin (Fakultas Teknik Sipil Trisakti, angkatan 1995) mengalami luka tembak di kepala.
- Heri Heriyanto (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin Trisakti, angkatan 1995) mengalami luka tembak di punggung.
- Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen Trisakti, angkatan 1996) mengalami luka tembak di pinggang
Selain korban tewas, kejadian itu juga menyebabkan puluhan mahasiswa mengalami luka-luka, baik berat maupun ringan.

Keadilan yang tak kunjung tiba
Pasca kejadian, ada tim pencari fakta yang dibentuk ABRI untuk mengusut kasus itu. Pengadilan militer pada 1998 menjatuhkan putusan kepada enam orang perwira pertama Polri. Kemudian, pada 2002, pengadilan militer kembali menjatuhkan hukuman kepada sembilan orang anggota Korps Brimob Polri.
Sayang, dua pengadilan itu hanya membawa pelaku lapangan, tetapi tidak pernah menyentuh penanggung jawab kejadian itu.
Pada 2000, atas desakan mahasiswa dan keluarga korban, DPR membentuk Pansus Trisakti, Semanggi I dan II. Ujungnya, Pansus menyatakan tidak ada pelanggaran HAM dalam kasus itu.
Pada 2001, Komnas HAM mulai mengusut kasus ini. Meski banyak hambatan, KPP HAM menyimpukan ada banyak bukti yang mengarah pada pelanggaran HAM berat. Temuan Komnas HAM diteruskan ke Kejaksaan Agung. Namun, hingga kini belum ada tindak lanjut penyelidikan dari Kejagung.
Sejak 2007, keluarga korban dan aktivis pro-demokrasi menggelar aksi setiap Kamis di depan Istana Negara. Aksi ini disebut Aksi Kamisan. Namun, 18 tahun tahun aksi itu berjalan, respons negara tak tampak. Belum terlihat ada hasil untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM ini.
Hingga kini, keadilan untuk menyingkap tragedi Trisakti tidak kunjung tiba.