Seorang kawan pernah berujar, selama lagu-lagu Iwan Fals masih relevan, maka selama itu pula Indonesia belum beranjak jauh dan masih sama dengan era Orde Baru (Orba).
Benar saja. Tiap kali lagu-lagu Iwan Fals diputar, kita seakan diseret kembali pada kenyataan yang tak pernah jauh-jauh dari luka yang sama: korupsi, nepotisme, upah buruh murah, ancaman PHK, anak jalanan, gaji guru yang tak seberapa, hingga kekuasaan yang terlalu angkuh dan tak mau mendengar.
Lagu-lagu Iwan Fals bisa menjadi kaca benggala untuk melihat Indonesia di masa lampau, terutama di tahun 1980-an dan awal 1990-an, dengan segala permasalahannya. Dan, pahitnya, setelah bercermin lewat lagu-lagu itu, kita kembali dibuat sadar: ah, Indonesia ternyata belum beranjak jauh.
Dalam tatanan Orba yang dibungkus dengan diksi “ketertiban sosial”, Iwan Fals memilih menyuarakan keadaan dengan apa adanya―kadang-kadang lewat syair humanis yang dibalut dengan pemilihan kata satir. Ia menolak membungkus kenyatan dengan selimut kedamaian palsu.
Kiprah Iwan berawal ketika bersekolah di Bandung. Kala itu ia mulai ngamen dengan lagu-lagu yang telah diciptakannya sendiri. Dari sebuah radio milik Institut Teknologi Bandung, Iwan dijumpai Bambang Bule untuk rekaman. Album Amburadul (1975) direkam, tetapi tidak laku.
Langkah Iwan berlanjut ke festival lagu humor, yang setelahnya justru membuat lagu-lagunya direkam oleh ABC Records. Lagi-lagi pendengarnya masih terbatas di kalangan anak muda.
Tahun 1981, di tengah masa puncak kedigdayaan Orba, lambat laun Iwan Fals mulai berkibar. Album Sarjana Muda yang di dalamnya terdapat lagu Guru Oemar Bakri, berhasil melejitkan namanya. Dan sejak itu, satu per satu lagunya yang bernuansa kritik sosial mulai meramaikan musik Indonesia yang kala itu penuh sedu-sedan.

Kritik sosial
Album pertama yang melejit, Sarjana Muda (1981), dipenuhi kritik sosial yang menyasar dunia pendidikan. Iwan memulainya dengan lagu Sarjana Muda, yang bertutur tentang generasi muda terpelajar yang kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Kritik terhadap dunia pendidikan berlanjut dengan lagu Oemar Bakri. Liriknya sederhana, tetapi mengena, yakni tentang guru dengan gaji tak seberapa tetapi terus mendapat potongan, sedangkan tugasnya sangat berat mendidik anak bangsa.
Di album itu juga ada lagu Ambulance Zig-Zag, yang mengkritik praktik diskriminatif dalam pelayanan kesehatan orang miskin dan orang kaya. Pasien kaya langsung mendapat perawatan, sementara si pasien miskin papa harus ditodong dengan kesanggupan membayar biaya rumah sakit terlebih dahulu.
Di album ini, Iwan juga menyelipkan penghormatan kepada sang proklamator kemerdekaan, Bung Hatta. Pada 14 Maret 1980, Hatta baru saja berpulang. “Hujan air mata dari pelosok negeri/Saat melepas engkau pergi/Berjuta kepala tertunduk haru/
Terlintas nama seorang sahabat/ Yang tak lepas dari namamu.”
Dalam album-album sesudahnya, Iwan semakin banyak melontarkan kritik sosial. Dari lagu Kereta Tiba Pukul Berapa di album Sumbang (1983), kita menjadi tahu bahwa polisi yang suka tawar-menawar harga saat melakukan tilang ternyata merupakan fenomena lama. Cerita itu rasanya belum jua beranjak hingga sekarang. Beberapa saat lalu, sebuah band punk dari Purbalingga, Sukatani, juga memotret budaya yang sama: bayar-bayar-bayar.
Di album Sugali (1984) dan Sore Tugu Pancoran (1985), kita disuguhi lagu-lagu yang menembak langsung kemiskinan dan ketimpangan. Mulai dari lagu Siang Seberang Istana, yang bicara kontras kehidupan pekerja anak dan gaya pejabat yang sangat elite. Lagu Sore Tugu Pancoran juga bicara tentang pekerja anak yang berjualan koran karena kemiskinan. Pada 2024, menurut statistik, masih ada 1,01 juta anak Indonesia yang terpaksa bekerja demi sesuap nasi dan menopang ekonomi keluarganya.

Menariknya, lagu Iwan Fals juga menangkap fenomena penting pada masanya. Seperti lagu Sugali yang berkisah tentang preman atau gali yang menjadi korban penembakan misterius (petrus), yaitu eksekusi non-yudisial terhadap mereka yang dianggap penjahat atau preman pada 1983-1985. Diperkirakan, sekitar 2.000-10.000 orang dibunuh tanpa melalui proses peradilan karena tuduhan sepihak sebagai penjahat. Konon, petrus bukan sekedar untuk meneror penjahat, tetapi juga menciptakan “shock therapy” bagi pembangkang politik.
Potret kehidupan buruh di masa Orba yang penuh jeritan pedih juga tersuarakan lewat lagu-lagu Iwan Fals: PHK (1987), Libur Kecil Kaum Kusam (1987), dan Robot Bernyawa (1998).
Kritik yang dilancarkan Iwan lewat lagu-lagunya sebetulnya menyasar medan sosial yang sangat luas, termasuk persoalan industrialisasi, urbanisasi, ancaman krisis ekologi, dan masih banyak lagi.
Dijegal Orde Baru
“Musik mengungkapkan apa yang tidak bisa dikatakan dan tidak mungkin untuk diam,” kata penulis besar Prancis, Victor Hugo. Dan, itulah yang dilakukan Iwan Fals.
Di masa ketika kritik lewat pers dibungkam, aksi protes di jalanan diharamkan, maka lagu menjadi pilihan terakhir. Dan, itu benar-benar berhasil. Rezim Orba terusik oleh lagu-lagu kritis Iwan Fals.
Pada 1984, usai konser di GOR Pekanbaru, Riau, Iwan Fals berurusan dengan polisi dan Kodim setempat. Penyebabnya, ia menyanyikan lagu Demokrasi Nasi dan Mbak Tini di acara tersebut. Lagu Demokrasi Nasi menggugat hukum yang tak bisa menghukum anak pejabat, sementara lagu Mbak Tini dianggap menyindir Ibu Negara kala itu, Tien Soeharto.

Tak lama sejak kejadian itu, banyak jadwal konser Iwan dilarang dan dibatalkan. Dalam kekangan dan pembatasan itu, Bengkel Teater WS Rendra beralih menjadi tempatnya untuk berekspresi. Selanjutnya, ia bergabung dengan Swami bersama Sawung Jabo.
Bukannya bungkam, melalui Swami, Iwan malah melahirkan lagu yang lebih pedas lagi: Bento dan Bongkar. Lagu Bento, yang diasosiasikan orang sebagai singkatan dari “Benteng Soeharto”, dianggap sindiran langsung kepada penguasa Orba itu. Sementara lagu Bongkar tak ubahnya sebuah manifesto politik yang menyerukan perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas. Dua lagu ini kelak menjadi simbol perlawanan terhadap rezim Orba.
Pada 1987, lewat album Wakil Rakyat, Iwan menulis lagu berjudul Surat Buat Wakil Rakyat, yang berisi kritikan terhadap DPR. Para wakil rakyat disebut tak ubahnya seperti paduan suara penguasa dan selalu tutup telinga terhadap suara dan aspirasi rakyat. Lagu ini sangat populer saat perjuangan reformasi 1998 dan masih sering dinyanyikan di sela-sela aksi demonstrasi hingga sekarang.
Masih bersama Jabo, ia juga memperkuat Kantata Takwa pada 1990. Kesaksian merupakan salah satu lagu yang mencuri perhatian karena menjadi semacam ode bagi kaum tertindas dan kaum termarjinalkan.

Masih relevan
Empat dekade berlalu, lagu-lagu Iwan Fals masih sangat banyak yang relevan. Situasi sosial yang menjadi objek kritik Iwan lewat lagu-lagunya masih kerap hadir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hari-hari ini.
Kita masih menyaksikan Oemar Bakri dalam wajah guru-guru honorer yang dibayar sangat murah. Buruh murah tak ubahnya robot bernyawa yang masih dibayar murah, dan sekarang sedang menghadapi terjangan badai PHK. Kita masih menyaksikan anak-anak yang seharusnya bersekolah, tetapi terpaksa hidup di jalanan demi sesuap nasi.
Kita juga masih melihat kelakuan pejabat maupun pengusaha yang tak ubahnya bento-bento modern. Dan, pahitnya, hukum acap tak mampu untuk menegakkan keadilan. Kita masih menyaksikan aparat dan penegak hukum yang gampang dibeli dengan uang.
Serta yang lebih terang benderang, DPR hari ini tetap tak ubahnya paduan suara yang hanya tahu nyanyian lagu setuju, selalu tutup mata dan telinga terhadap aspirasi rakyat, juga anggotanya mulai banyak disesaki sanak-famili (politik dinasti).
Pada akhirnya, lagu-lagu Iwan Fals adalah dokumentasi sosial, catatan luka, sekaligus suara harapan. Selama negeri ini masih bergumul dengan masalah lama dalam kemasan baru, selama janji-janji politik masih lebih banyak ketimbang realisasinya, selama keadilan masih mahal dan kebenaran mudah dibungkam, lagu-lagu Iwan akan terus punya tempat di hati rakyat.