Sejak rakyat Hindia mengenal berorganisasi, pelan-pelan kesadaran politik menyelinap dalam diskusi-diskusi kaum pergerakan.
Salah satu benih kesadaran, yang kemudian menjelma menjadi gerakan politik adalah lahirnya Indische Partij (IP). Dalam rekaman sejarah, Indische Partij tercatat sebagai partai politik pertama di Hindia atau Indonesia saat ini.
Indische Partij berdiri pada 25 Desember 1912. Pendirinya adalah tiga aktivis pergerakan paling maju dan radikal di masanya: Ernest Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi), RM Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), dan Tjipto Mangunkusumo. Para tokoh ini pun disebut sebagai Tiga Serangkai.
Indische Partij dideklarasikan lewat rapat akbar (vergadering) di Bandung. Saat berpidato, Douwes Dekker bilang, “IP merupakan sinar yang terang melawan kegelapan; peradaban melawan tirani; kebaikan melawan kejahatan; budak pembayar pajak kolonial melawan negara pemungut pajak.”

Indische Partij bersifat inklusif. Keanggotaannya terbuka kepada siapa saja yang mendukung perjuangan politik mereka. Dalam keanggotaan Indische Partij ada orang Indo, bumiputera, Tionghoa, dan Arab. Ini adalah organisasi politik paling inklusif pada masanya.
Dengan pintu keanggotaan yang inklusif, Indische Partij berusaha menjadi organisasi politik alternatif bagi orang-orang non-Jawa yang tidak bisa masuk ke Boedi Oetomo dan orang-orang non-muslim yang tidak punya tiket masuk menjadi anggota Sarekat Islam. Organisasi ini juga menampung mereka yang berpikiran revolusioner, yang menganggap Boedi Oetomo dan Sarekat Islam terlalu moderat.
Selain tercatat sebagai organisasi politik pertama di Hindia, Indische Partij juga merupakan organisasi perdana yang menyerukan Hindia terbebas dari Belanda lewat slogan mereka: Indië voor Indiërs (Hindia untuk Hindia) atau Indië los van Nederland (Hindia terbebas dari Belanda).
Organisasi ini menggunakan bendera dengan warna dasar hitam. Pada bagian kanan pinggir ada strip tiga warna: hijau-merah-biru.
Lantaran sikap radikalnya, Indische Partij cepat populer sekaligus membesar. Dalam waktu hanya setahun, keanggotaannya mencapai 7.000-an orang dan menyebar di 30-an cabang. Kota dengan keanggotaan terbanyak adalah Surabaya, Semarang, Batavia, dan Bandung.
Selain itu, Indische Partij memperkenalkan metode baru untuk mendidik kesadaran politik massa: vergadering atau rapat akbar. HOS Tjokroaminoto, yang sukses menggelar vergadering di Surabaya pada 1913, mengaku belajar dari pengalaman vergadering Indische Partij.
Untuk berbicara pada khalayak ramai, selain melalui vergadering, Indische Partij juga punya corong media bernama De Expres. Melalui koran ini, Ernest dan kawan-kawan melancarkan kritik tanpa ampun kepada pemerintah kolonial dan kebijakan-kebijakannya.
Ernest Douwes Dekker, salah satu pendiri Indische Partij, bilang kalau pendirian partainya itu sebuah pernyataan perang, yaitu sinar terang yang melawan kegelapan, kebaikan melawan kejahatan, peradaban melawan tirani, budak pembayar pajak kolonial melawan negara pemungut pajak. “Ini pembalikan terhadap politik etis,” kata penulis buku Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Takashi Shiraishi.
Pada Desember 1912, para pimpinan Indische Partij mulai mengurus legalitas organisasi. Mereka pun mengajukan permohonan badan hukum ke pemerintah. Namun, pada 4 Maret 1913, permohonan legalitas itu ditolak. Ada tiga kali upaya pengurus Indische Partij untuk memperjuangkan legalitas, tetapi semuanya ditolak.
Alasan penolakannya politis, Indische Partij dianggap perkumpulan yang mengancam keamanan umum. Ide-ide radikal Indische Partij benar-benar menggoyang tatanan kolonial.

Tanpa legalitas, Indische Partij dinyatakan bubar sejak 4 Maret 1913. Meski demikian, koran mereka De Expres tetap dipertahankan. Melalui koran ini, Tiga Serangkai terus melancarkan kritik pada pemerintah kolonial.
Pada 1913, Belanda membuat pesta besar untuk memperingati kemerdekaannya dari Prancis. Pahitnya lagi, rakyat Hindia-Belanda, yang notabene masih terjajah, dimintai sumbangan untuk membiayai pesta itu.
Tokoh-tokoh mantan Indische Partij melakukan protes. Selain mendirikan corong kampanye yang disebut Comite Boemi Poetera, mereka juga membuat artikel-artikel pedas.
Soewardi Soerjadiningrat menulis artikel berjudul “Als ik een Nederlander was” (Kalau saya seorang Belanda). Artikel itu dimuat De Express dan dicetak sebanyak 5.000 eksemplar. Pamflet kedua kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Abdoel Moeis. Sementara Tjipto menulis artikel berjudul Kracht of Vrees (Kekuatan atau Ketakutan).
Tulisan-tulisan itu menggemparkan Hindia-Belanda. Pemerintah Hindia-Belanda kepanasan dan akhirnya bertindak menggunakan tangan besi. Soewardi dan Tjipto ditangkap. Keduanya dibuang ke negeri Belanda.
Sementara Douwes Dekker yang memprotes penangkapan itu lewat artikel berjudul “Onze Helden: Tjipto Mangunkusumo en R.M. Suwardi Suryaningrat” (Pahlawan kita: Tjipto Mangunkusumo dan R.M. Suwardi Suryaningrat), juga ditangkap dan dibuang.
Akhirnya, tamatlah riwayat Indische Partij, sebelum sempat menjadi organisasi politik resmi. Van Deventer, seorang penulis dan pengacara berkebangsaan Belanda, menyebut Indische Partij ibarat bayi yang mati sebelum lahir.

Dalam pesan terakhirnya, Ernest mengajak pengikut Indische Partij untuk bergabung ke Insulinde. Organisasi politik yang berdiri sejak 1907 itu dianggap mewarisi jiwa-jiwa Indische Partij.
Sekembalinya ke Jawa, Tiga Serangkai kembali berusaha terjun ke politik dengan bergabung di Insulinde. Namun, karena organisasi ini dianggap terlalu elitis, maka mereka mendirikan Nationaal Indische Partij (NIP). Organisasi ini pun segera dibubarkan penguasa kolonial.
Begitulah kisah jatuh-bangun Indische Partij, sang pemula pergerakan politik di Indonesia.