Perubahan kekuasaan di Indonesia merantang panjang melintasi berbagai zaman. Di setiap masa, perubahan kekuasaan ini mencatatkan corak yang menarik untuk disimak.
Awalnya, masyarakat kita hidup secara kolektif dan setara di masa komunal primitif. Tanah sebagai faktor produksi terpenting dikuasi bersama dan hasilnya dinikmati untuk kesejahteraan semua orang.
Namun, sejarah terus berubah. Mulai muncul kehendak untuk saling mendominasi. Kerajaan-kerajaan berdiri, mengadopsi pikiran asing untuk melembagakan praktik feodal. Kekuasaan bertumpu kepada keagungan mistik para raja.
Di masa kejayaannya, kekuasaan feodal mendominasi banyak wilayah. Memotret fenomena ini, Nana Supriatna dalam buku Sejarah Indonesia menjelaskan: “kehidupan politik di Kerajaan Mataram ditandai dengan adanya perebutan kekuasaan serta usaha perluasan wilayah sejak pemerintahan Senopati hingga Sultan Agung, yakni pada tahun 1613-1645. Politik tersebut terus dilakukan dengan menaklukkan berbagai kerajaan kecil, baik yang berada di pesisir juga di pedalaman, sebagai usaha untuk mewujudkan keinginan menyatukan seluruh Jawa. Hingga akhir masa pemerintahan Sultan Agung, wilayah kekuasaan Mataram membentang dari Jawa Timur ke Jawa Barat bagian timur, termasuk Cirebon dan Galuh.”
Saat memperluas wilayah, kekuasaan feodal akan memberlakukan aturan setiap tanah adalah milik raja, dan rakyat wajib memberikan upeti atas tanah yang mereka tempati. Namun rakyat di desa tetap mesletarikan ikatan koleketif. Terkait hal ini, Bung Hatta menjelaskan bahwa di Indonesia zaman dulu hak milik tanah ada pada masyarakat desa, maka demokrasi desa bisa ditindas oleh kekuasaan feodal, tetapi tidak dapat dilenyapkan.
Dalam sistem feodal, kekuasaan raja bersifat mutlak dan hak atas kekuasaan diperoleh melalui ikatan keluarga. Kekuasaan yang tidak didapatkan secara objektif ini kerap menimbulkan tantangan antarbangsawan. Di masa kerajaan Mataram, misalnya, Amangkurat I sebagai raja Mataram lebih banyak menggunakan kekuasaan untuk menangani pemberontakan daripada mengurus pemerintahan.
Dimulai dari pemberontakan Pangeran Alit hingga pemberontakan Raden Trunojoyo. Dengan bantuan VOC, pemberontakan tersebut akhirnya dapat ditumpas. Dalam sejarah feodalisme, perang saudara telah menjadi hal yang lumrah. Rakyat dipaksa berperang dan ekonomi pertanian mengalami kemerosotan.
Karena itu, masuknya VOC tidak akan menghancurkan feodalisme. Mereka malah memanfaatkan kaum bangsawan dalam praktik akumulasi modal.
Lalu dimulailah zaman imperialisme kapitalisme di Nusantara, sebuah persekutuan antara kepentingan kekuasaan (para bangsawan) dan akumulasi kapital (VOC). Mereka memonopoli rempah-rempah dan melakukan perbudakan, meraup dividen sebesar 18,7 persen setiap tahun.
Menanggapi praktik-pratik semacam ini Marx mengatakan, Belanda yang pertama kali mengembangkan sistem kolonial, pada 1748 telah berdiri di puncak keagungan komersialnya. Total kapital Belanda barangkali lebih besar daripada total keseluruhan kapital di benua Eropa.
Setelah VOC bangkrut lalu dibubarkan, disusul berakhirnya perang Jawa dengan penyerahan diri kerajaan Mataram.
Peristiwa itu menandai penaklukan penuh kolonial Belanda atas pulau Jawa, kemudian dimulailah sistem tanam paksa. Kolonial Belanda mulai mengooptasi elit-elit penguasa lokal ke dalam struktur kekuasaanya. Para penguasa lokal pun secara efektif menjadi karyawan yang di upah dan ditunjuk oleh pemerintah kolonial.
Setiap desa diwajibkan menyisihkan 20 persen dari tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor. Praktiknya penduduk lebih banyak mengerjakan tanaman ekspor dibanding ladang milik sendiri. Penyebabnya adalah meningkatnya persentase ladang untuk komuditas ekspor. Dan, penduduk yang tidak memiliki tanah akan dipekerjakan di perkebunan Belanda. Para penguasa lokal justru mendapatkan bonus dari pemerintah kolonial (cultur presenten).
Setelah menyumbang 967 juta gulden untuk pemerintah kolonial, kebijakan cultuurstelsel digantikan dengan ekonomi liberal.
Kepentingan kapital swasta dari Belanda dan negara-negara eropa masuk, pabrik perkebunan swasta mulai dibangun hingga berjumlah ratusan. Demi menjamin kelancaran produksi, mereka membentuk persekutuan modal, salah satunya adalah Algemeene Syndicaat van Saikerfabricanten in Nederlandsch (Sindikat Pemilik Pabrik Gula di Hindia Belanda).
Berakhirnya tanam paksa dan naiknya jumlah kapital justru makin menyengsarakan rakyat. Sejarawan M.C. Ricklefs mengatakan meskipun pada masa ekonomi liberal industri perkebunan meningkat pesat, kesejahteraan justru mundur. Rakyat kehilangan tanah subur untuk menanam padi, belum lagi pajak tanah dan pembayaran lain masih harus diberikan pada pemerintah kolonial.
Masa ekonomi liberal berakhir saat harga komoditas industri perkebunan mengalami penurunan di pasar Eropa dan Amerika Serikat, banyak perkebunan swasta yang bangkrut dan gulung tukur tikar. Dimulainya politik etis memperbarui model kapitalisme di Indonesia, diikuti masuknya perusahaan seperti General Motors, Godyear dan Unilever.
Sekolah-sekolah yang dibangun banyak menghasilkan buruh kereta api, kasir, guru, jurnalis, dokter, dan lain sebagainya. Inilah cikal bakal kaum intelektual dan proletariat di Indonesia.
Di sinilah kemudian kaum intelektual dan proletariat bersama gerakan Islam terlibat aktif mengkampanyekan gagasan Indonesia merdeka. Mereka menggali identitas nasional. mempersatukan gerakan rakyat yang terpecah belah, hingga mengupayakan perlawan-perlawan anti-imperialisme dan kolonialisme.
Perjuangan itu mendapatkan kemenangan, dan terbentuklah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Setelah kemerdekaan, kehendak mengaktualisasi pasal 33 UUD 1945 menjadi arus utama yang berkembang. Langkah yang ditempuh adalah melakukan nasionalisasi perusahaan Belanda, Reforma agraria dan pembangunan koperasi.
Gerakan reforma agraria menjadi arus utama demokratisasi ekonomi. Perlawanan terhadap sistem pertanahan yang diwariskan dari masa feodalime dan kolonialisme ini berkembang sejak awal kemerdekaan. Gerakan anti-swapraja (tanah kerajaan) mendapatkan kemenangan setelah pemerintah mengambil alih beberapa tanah milik aparatur desa era Mangkunegaran, lalu dibagikan kepada para petani penggarap.
Pendudukan lahan eks kolonial yang dilakukan kaum buruh dan tani banyak direpresi oleh militer. Situasi ini memicu pemerintahan Soekarno mengesahkan Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954, aturan ini menegaskan bahwa pendudukan dan penggarapan lahan eks perusahaan perkebunan dan tanah partikelir Eropa oleh rakyat bukanlah perbuatan melanggar hukum.
Langkah nasionalisasi perusahaan Belanda awalnya dilakukan secara bertahap, namun menjadi semakin masif setelah mentoknya perundingan Irian Barat. Secara umum, gagasan ini dipimpin oleh Sukarno serta PKI bersama organisasi buruh dan tani.
Namun ketika aturan Keadaan Bahaya disahkan, seketika terjadi arus balik dalam situasi ekonomi politik di Indonesia. Militer terlibat aktif menghentikan aksi-aksi kaum buruh, sekaligus merebut kendali atas perusahan asing yang sebelumnya direbut dengan upaya dari kaum buruh. Tindakan militer kala itu bertentangan dengan sikap Sukarno bahwa setelah nasionalisasi, perusahaan-perusahaan tersebut akan dikelola oleh manajer profesional dan kalangan buruh.
Di samping berjalanya dua program tersebut, Hatta dari pinggir kekuasaan juga secara aktif mengkampnyekan koperasi. Pembangunan koperasi mendapatkan sambutan positif dari banyak kalangan, termasuk Aidit. Pertentangannya dengan Hatta tidak membuatnya serta merta menolak ide tersebut.
Pemerintahan Sukano menjadi semakin terintegrasi dengan kaum buruh dan tani, membentuk identitas sebagai negara merdeka yang tidak tunduk pada kepentingan imperialisme kapitalisme Amerika Serikat. Gestapu mengakhiri kekuasaan Sukarno, bermandikan darah ratusan ribu rakyat Indonesia, hingga naiklah Soeharto sebagai presiden.
Di masa Soeharto kebijakan negara bertumpu pada pendanaan IMF, investasi asing, eksploitasi sumber daya alam, tenaga kerja murah, industri pertanian, sistem otoritanisme, Dwi Fungsi ABRI, kebijakan masa mengambang, pengendalian partai politik, serta depolitisasi. Orde baru menciptakan stabilitas politik dan keamanan investasi, mengatasi inflasi yang terjadi di masa Sukarno.
Namun sikap tak acuhnya pada demokrasi dan keberpihakanya pada korporasi swasta terus mendapatkan perlawanan. Krisis moneter 1998 memberikan dampak besar bagi pemerintahan Soeharto. Ketergantunganya pada IMF dan model produksi kapitalis menghancurkan pondasi ekonomi. Krisis kapitalisme menambah kemarahan rakyat, dukungan dari intelektual dan kelompok oposisi mempercepat pergantian kekuasaan.
Setelah jatuhnya Soeharto, model produksi kapitalis tidak direformasi. Eksploitasi sumber daya alam, investasi swasta, dan utang luar negeri terus ditingkatkan, tapi jumlah pekerja formal menurun.
Tenaga kerja murah dipertahankan, sektor pertanian mengalami darurat impor. Pengiriman buruh migran besar-besaran tanpa jaminan keamanan jamak terjadi.
BUMN korporasi jadi ladang bagi-bagi kekuasaan, pengagguran berpendidikan meningkat, jumlah kelas menengah turun. Kekayaan nasional terkonsentrasi pada 1 persen orang terkaya, dan ketimpangan meningkat. Ekonomi-politik alternatif tidak berkembang, 20 persen penduduk berpontesi terkena gangguan mental.
Terbukanya arus demokrasi menciptakan model demokrasi borjuis, kekuasaan politik bertumpu pada keluarga-keluarga elit dan suplai kapital oligarki. Eksekutif membegal sistem multipartai, dewan perwakilan dipenuhi para pemburu rente. Politik legislasi anti-demokrasi ekonomi.
Persepsi korupsi stagnan, peringkat IPK menurun. Indeks demokrasi menurun, institusi demokrasi terdegradasi. Rakyat tidak mampu mengorganisasi dirinya sendiri, dominasi kekuasaan bergaya feodal juga tak terbendung.