Selama 48 tahun, Ibu-Ibu Plaza de Mayo tak pernah absen berdiri di depan Istana Presiden Argentina, menuntut kejelasan nasib ribuan orang yang dihilangkan rezim militer. Dengan saput kepala putih dan foto anak-anak mereka, mereka mengubah duka menjadi gerakan politik yang mengguncang dunia. Mereka tak sekadar melawan lupa—mereka menolak rekonsiliasi tanpa keadilan.
30 April 1977, 14 perempuan pemberani menampik rasa takut. Mereka berdiri di alun-alun Plaza de Mayo.
Hari itu, rezim militer Argentina sedang beringas-beringasnya. Para ibu itu, yang kelak disebut “Ibu-ibu Plaza de Mayo” (Madres de Plaza de Mayo), menggelar aksi protes untuk mencari kejelasan nasib anak-anaknya yang dihilangkan oleh rezim militer.
Sejak hari itu, setiap hari Kamis, mereka berdiri di alun-alun Plaza de Mayo, di seberang Istana Kepresidenan Argentina (Casa Rosada).
Kudeta militer
Pada 24 Maret 1976, militer di bawah komando Jenderal Jorge Videla melancarkan kudeta. Mereka menggulingkan pemerintahan Isabel Perón. Begitu berkuasa, rezim Videla melarang serikat buruh dan organisasi politik. Kongres dibubarkan, sejumlah bekas menteri di era Isabel Peron ditangkapi.
Hari-hari itu, tentara memenuhi jalan-jalan. Namun, pabrik beroperasi, pertandingan sepak bola pun tetap berlangsung dan ditayangkan televisi.

Perang kotor
Perang kotor adalah istilah represi yang digunakan rezim militer Argentina yang berlangsung sepanjang 1974-1983.
Berdasarkan investigasi organisasi HAM, sebanyak 22.000 sampai 33.000 orang dibunuh dan dihilangkan dalam periode itu. Termasuk 1.500-2.000 orang yang dibunuh, lalu diterbangkan menggunakan helikopter dan dibuang ke laut. Tragedi ini disebut “penerbangan kematian”. Dan, diperkirakan lebih dari 8.500 orang tak diketahui nasibnya hingga sekarang.
Jejak perjuangan
Pada 1977, setahun setelah kudeta militer, “Ibu-ibu Plaza de Mayo” memulai aksinya setiap hari Kamis. Rezim militer menyebut mereka “las locas” (perempuan gila).

Gerakan ini dimulai dari belasan ibu-ibu, yaitu Azucena Villaflor de De Vincenti, Berta Braverman, Haydée García Buelas; María Adela Gard de Antokoletz, Julia, María Mercedes dan Cándida Gard (four sisters); Delicia González, Pepa Noia, Mirta Acuña de Baravalle, Kety Neuhaus, Raquel Arcushin, serta Senora De Caimi.
Pada 1978, saat Argentina menjadi tuan rumah Piala Dunia, ibu-ibu Plaza de Mayo menggelar protes besar-besaran untuk menarik perhatian dunia. Aksi mereka terekam kamera wartawan internasional dan mendunia.
Tahun 1983, setelah kekalahan dalam perang Falklands dan tercekik krisis ekonomi, rezim militer akhirnya runtuh. Pemilu lalu digelar di tahun itu juga, hingga melahirkan rezim sipil.
Pada 1985, digelar pengadilan terhadap penjahat HAM era junta militer (Juicio a las Juntas). Sejumlah petinggi militer diadili, termasuk mantan diktator Jorge Rafael Videla diseret ke pengadilan. Ia dijatuhi hukuman penjara lima tahun.
Pada 1990, Videla mendapat pengampunan dari Presiden Carlos Menem. Pada saat bersamaan, Menem juga mengampuni sejumlah mantan gerilyawan kiri yang dianggap bersalah. Tampak seperti “pengadilan yang impas”, tetapi menyisakan luka ketidakadilan yang menganga.
Tahun 2003, ketika Nestor Kichner berkuasa, pengadilan HAM kembali dibuka. Pada 2006, Jorge Videla kembali diseret ke pengadilan. Amnesti Carlos Menem dianggap tidak konstitusional. Pada 2010, Videla dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Ia meninggal dalam penjara pada 2013.
Nasibnya berbeda jauh dengan diktator Indonesia, Soeharto. Begitu lengser, Soeharto tidak berhadapan dengan proses hukum untuk mempertanggung jawabkan pelanggaran HAM di masa pemerintahannya.
Pada 2000, ia sempat menjadi tersangka terkait tuduhan korupsi, tetapi tak pernah dihadirkan di pengadilan. Pada 2006, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas kasus Soeharto.
Hingga meninggal pada 2008, Soeharto tak pernah diseret ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan kejahatan HAM maupun korupsi pada masa pemerintahannya.

A luta continua
Pada 1986, gerakan “Ibu-ibu Plaza de Mayo” mengalami perpecahan organisasi. Pertama, faksi Founding Line, yang fokus pada legislasi dan pencarian anak-anak mereka. Sementara faksi yang satu, Hebe de Bonafini, mengambil jalan radikal. Mereka menolak kompensasi dan menuntut seluruh pelaku diadili.
Pada 2016, lebih dari 1.000 algojo atau pelaku penyiksaan dan pembunuhan telah diadili. Sebanyak 700 orang di antaranya sudah dijatuhi hukuman.
Pada 30 April 2023, aksi Ibu-ibu Plaza de Mayo memasuki tahun ke-46 dan sudah menggelar aksi selama 2.392 kali.
Banyak dari ibu-ibu ini yang terhenti perjuangannya karena tutup usia. Namun, pada Mei 2017, setengah juta orang tumpah di alun-alun Plaza de Mayo untuk memprotes impunitas terhadap pelanggar HAM.
Kisah perjuangan mereka telah menginspirasi dunia untuk tidak takut melawan tirani dan tak gampang lupa dengan kejahatan tiran di masa lampau. Di Indonesia, korban pelanggaran HAM menggelar aksi setiap hari Kamis di depan Istana Negara, Jakarta. Aksi itu kemudian dikenal sebagai Aksi Kamisan.
Kisah perjuangan ibu-ibu Plaza de Mayo sudah abadikan dalam film maupun lagu-lagu. Mulai dari film domenter hingga film layar lebar. Bahkan, grup musik U2 mengabadikannya dalam lagu Mothers of the Disappeared (1987).