Asal-Usul Kata Merdeka

Mural di masa Revolusi Kemerdekaan (Wikipedia)

Kata “merdeka” sering diucapkan, bahkan dipekikkan. Begini asal usul kata “merdeka” yang lekat dengan derap perjuangan bangsa Indonesia.

Kata “merdeka” berasal dari bahasa Sansekerta, maharddhika, yang berarti kaya, sejahtera, dan kuat. Makna lainnya: bebas dari kekangan atau belenggu.

Kata ini sudah muncul dalam kakawin Nitisastra pada abad ke-15. Begini bunyinya:

Lwirning mangdadi jana, surupa dhana kalakulina yowana. Lawan tan sura len kasuran, agawe wereh i manahikang sarat kabeh. Yan wanten sira sang dhaneswara, surupa guna dhanakulina. Yan tan wada, maharddhikeka pangaranya sira putusi sang pinandita”.

Artinya:

Hal-hal yang menjadikan manusia itu mabuk adalah paras yang bagus, kekayaan, kebangsawanan dan keremajaan, dan minuman keras dan keberanian itu yang dapat membuat hati menjadi mabuk. Jika ada orang kaya, tampan wajahnya, pandai, banyak harta benda, bangsawan dan muda, tetapi tidak mabuk karenanya, ia itu adalah orang yang bijaksana, seseorang yang berbudi mahardika (telah bebas dari soal keduniaan)”.

Di sini, maharddhika memiliki makna spiritual dan transendental. Mahardika menunjukkan sikap tertinggi dari manusia berbudi: bijaksana.

Nah, selain maharddhika, ada kata “mardijkers”, yang berarti vrijgelaten slaaf (pembebasan dari perbudakan). Mardijkers merujuk pada budak yang berasal dari wilayah taklukan Portugis dan Spanyol yang sudah dibebaskan pada abad ke-17 dan 18.

Mereka dibawa oleh VOC (Belanda), setelah penaklukan Malaka oleh Belanda pada 1641, ke Batavia. Di Hindia Belanda, mereka disebut Mardijker. Sebutan Mardijker ini yang kemudian terucapkan dalam bahasa Melayu: merdika/mardika.

Istilah ini populer pada awal abad ke-20, ketika diadopsi oleh kaum pergerakan. Saat itu kaum pergerakan memakai istilah “mardika”. Kata ini kerap bersandingan dengan kata “merdika”.

Mardika menjadi nama organisasi perempuan yang berdiri pada 1912: Poetri Mardika. Di beberapa tempat, mardika menjadi nama koran: Sora Merdika (Pasundan, 1920), Benih Merdeka (Medan, 1918), Sora Ra’jat Merdika (Garut, 1931), dan Soeara Merdeka (Batavia, 1931).

Dalam sastra, Mas Marco Kartodikromo menerbitkan novel berjudul “Rasa Merdika” (1918).

Lalu, siapa yang paling pertama sekali menyatakan merdeka sebagai tujuan politik?

Indische Partij (IP), yang didirikan oleh tiga serangkai E.F.E Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantara, merupakan organisasi pertama yang berani menyatakan Hindia sebagai negara merdeka lewat slogan: Indië voor Indiërs (Hindia untuk Hindia) atau Indië los van Nederland (Hindia terbebas dari Belanda).

Ketika para pemimpin IIP dibuang ke negeri Belanda, gagasan mereka ikut menyeberang ke sana dan mempengaruhi pelajar-pelajar Hindia yang menuntut ilmu di negeri Belanda.

Pada 1922, Indische Vereeniging berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia (PI).

Dua tahun kemudian, giliran koran mereka, Hindia Poetra, berubah menjadi Indonesia Merdeka. Saat itu, mereka mulai eksplisit menyatakan Indonesia merdeka dalam penyataan politik maupun risalah-risalah lainnya.

Di dalam negeri, kata-kata merdeka sebagai tujuan politik mulai menghiasi tulisan Tan Malaka sejak 1922. Pada 1926, lewat karya masterpiece-nya, Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, Sukarno juga mulai menggunakan kata merdeka sebagai tujuan politik.

Sejak saat itu, kata mardika mulai banyak digantikan oleh merdeka. Kata merdeka mulai populer dan diadopsi banyak organisasi pergerakan.

Pada 1940-an, banyak karya jurnalistik mulai menggunakan kata “merdeka” ketimbang “merdika” atau “mardika”. Saat BPUPKI mulai terbentuk dan membahas rancangan Indonesia merdeka, kata yang digunakan adalah merdeka.

Bahkan, proklamasi kemerdekaan Indonesia menggunakan kata merdeka. Pasca proklamasi itu, Sukarno kerap memberi salam dengan pekik “Merdeka”.

Puncaknya, atas usulan Si Jalak Harupat (Otto Iskandar Dinata), pada 31 Agustus 1945, Sukarno mengeluarkan maklumat yang menetapkan pekik “Merdeka” sebagai salam nasional.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Kisah Kaum Merah Di Jong Java Cabang Surabaya

Kisah Kaum Merah Di Jong Java Cabang Surabaya

Jong Java, yang bermula dari Tri Koro Darmo pada 1915, merupakan salah satu

Next
Sistem Zonasi Pendidikan ala Salvador Allende

Sistem Zonasi Pendidikan ala Salvador Allende

Sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) dengan sistem zonasi, yang sekarang

You May Also Like
Total
0
Share