Dunia Kerja Indonesia: Diskriminatif Sejak dari Perekrutan

Para pencari kerja di Job Fair Bekasi 2023 (Kredit foto: KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN)

“We are Hiring. Kualifikasi: Wanita/pria belum menikah, usia maksimal 25 tahun, berpenampilan menarik, dll.”

Kalian, para pencari lowongan kerja (loker) se-Indonesia, tentu akrab dengan lowongan kerja yang mencantumkan kualifikasi semacam itu. Di negeri kita tercinta, loker dengan kualifikasi semacam itu sangat jamak. Bahkan, sekelas Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) RI pernah menyebar loker semacam itu di twitter (X), loh.

Itu sebetulnya lucu dan ironis, sih. Sementara jargon meritokrasi begitu banyak bertebaran dalam pernyataan pejabat, iklan layanan masyarakat, artikel maupun publikasi, atau seminar-seminar publik dan bisnis. Dunia kerja kita masih lebih mempertimbangkan hal-hal yang tidak berkait dengan kecakapan dan pertimbangan rasional.

Selain itu, kualifikasi loker semacam itu juga berpotensi diskriminatif. Sebab, menjadikan pertimbangan fisik dan usia sebagai pertimbangan untuk mengeliminasi hak dan kesempatan warga negara.

FYI, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak termaktub sebagai hak dasar di konstitusi (pasal 27 ayat 2). Kemudian, pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 5 menegaskan: “setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.”

Diskriminasi berbasis “ageism”

Di Indonesia, kebanyakan loker mencantumkan batas usia maksimum 25-27 tahun. Paling tinggi 30 tahun. Akibatnya, warga negara dengan usia 30 tahun sering kehilangan kesempatan di pasar tenaga kerja. Padahal, kategori usia produktif adalah 15-64 tahun.

Tentu saja, itu tergolong diskriminasi. Di banyak negara, praktik pembatasan usia dalam lowongan kerja dikategorikan sebagai bentuk diskriminasi berbasis usia atau ageism. Argumentasinya sederhana: usia bukanlah indikator yang tepat untuk melihat kecakapan atau kemampuan kerja seseorang.

Di Indonesia, kesempatan kerja itu setipis tisu. Daya serap investasi terhadap tenaga kerja makin menurun. Pada 2013, setiap Rp 1 triliun investasi masih bisa menyerap hingga 4.594 tenaga kerja. Namun pada 2021, Rp 1 triliun investasi hanya mampu menyerap 1.340 orang.

Di negeri ini, mayoritas tenaga kerja berjubel di sektor informal, yang jumlahnya mencapai 60,12 persen (BPS, Februari 2023). Situasi saat ini penuh dengan ketidakpastian kerja. Sementara, fenomena precarious work sedang menjalar.

Para pekerja yang sedari awal rentan (precarious), seperti pekerja kontrak dan outsourcing, paling terdampak oleh praktik ageism ini. Bayangkan, pekerja dengan masa kontrak hanya 4-5 tahun. Bakal terjadi, ketika kontraknya selesai, usianya sudah di atas 25 tahun. Maka peluang untuk mendapat pekerjaan lagi menjadi sempit.

Bentuk diskriminasi lainnya adalah persyaratan belum menikah. Selain kualifikasi ini mencampuri urusan privat warga negara, yaitu hak menikah atau berumah-tangga, ini juga bentuk praktik diskriminasi.

Menikah atau berumah tangga adalah hak setiap warga negara. Di Indonesia, menikah juga terkait dengan syariat agama dan tuntutan kultural. Di Indonesia, jangankan pilihan melajang seumur hidup, menikah dalam usia tua saja juga menjadi bahan pertanyaan.

Sekali lagi, menikah atau melajang bukanlah ukuran kecakapan, kinerja, maupun produktivitas kerja. Jadi, mencantumkan syarat belum menikah dalam loker bukan cuma diskriminatif, tapi tak ada kaitannya dengan perbaikan kualitas tenaga kerja dan produktivitasnya.

Bahaya “lookism”

Selain itu, banyak kualifikasi loker di Indonesia juga mencantumkan syarat berpenampilan menarik. Dalam banyak kasus, berpenampilan menarik ini terkait dengan penampilan fisik. Di sini kita berkenalan dengan konsep “lookism”

Konsep “lookism” sendiri mengacu pada bentuk diskriminasi berdasarkan penampilan fisik individu. Anehnya, meski tergolong anggapan kuno, tetapi penilaian berbasis penampilan fisik individu masih lestari hingga era kapitalisme 4.0 ini.

Perlu diperjelas, penilaian berbasis penampilan fisik sangatlah diskriminatif. Seringkali perspektif tentang “lookism” lahir dari cara pangan yang bias, baik karena dipengaruhi oleh norma kapitalisme maupun rasisme.

“Tidak ada pembenaran sejarah maupun biologis terhadap mitos kecantikan,” kata Naomi Wolf, penulis buku The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women. Persepsi terhadap kecantikan terbentuk secara sosial dan selalu berbeda sesuai perkembangan masyarakat.

Masyarakat Yunani dan Romawi kuno mengaitkan kecantikan dengan spiritualitas. Pada abad pertengahan, kecantikan terkait dengan keperawanan (kesucian). Baru pada abad ke-15, muncul persepsi kecantikan yang identik dengan kulit putih, pirang, dan bermata biru. Cara pandang inilah yang dibawa kolonialis ketika menaklukkan bangsa-bangsa Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

Kapitalisme merawat cara pandang itu untuk memberi karpet merah pada industri kecantikan. Kapitalisme menciptakan berbagai produk, dari kosmetik, produk perawatan kulit, produk perawatan rambut, parfum, dan berbagai produk lainnya, demi penampilan fisik itu. Dan sialnya, mayoritas kita patuh demi mendapat validasi sosial bahwa kita termasuk golongan masyarakat berpenampilan menarik.

Selain itu, penilaian terhadap tampilan fisik, seperti warna kulit maupun rambut, bisa lahir dari asumsi yang rasialis. Seorang HRD yang rasis akan menggunakan kualifikasi “berpenampilan menarik” ini untuk mengeliminasi mereka yang berkulit agak gelap atau berambut keriting.

Paling merugikan perempuan

Dari tiga kualifikasi ini (usia, belum menikah, berpenampilan menarik), perempuanlah yang berpotensi paling dirugikan.

Di Indonesia, berdasarkan data Susenas 2020, mayoritas perempuan menikah dalam rentang usia 19-24 tahun. Jumlahnya mencapai 48,59 persen. Bahkan ada 34,74 persen yang menikah dalam rentang usia 18 tahun ke bawah.

Sudah begitu, banyak perempuan yang berhenti bekerja karena menikah. Namun, setelah memiliki anak dan berkeinginan kembali ke dunia kerja demi menambah penghasilan keluarga, usia mereka sudah melewati batas usia yang disodorkan oleh kebanyakan loker.

Standar berpenampilan menarik juga sangat merugikan perempuan, bahkan perempuan yang masuk kategori “berpenampilan menarik”. Sering terjadi, berpenampilan menarik dibuat tipis perbedaannya dengan tuntutan berpenampilan seksi.

Hasil survei L’Oreal Paris melalui IPSOS Indonesia pada 2021 menunjukkan, sebanyak 82 persen perempuan Indonesia pernah mengalami pelecehan seksual di tempat publik, termasuk tempat kerja. Kasus karyawati di Cikarang yang diajak “staycation” oleh bosnya hanya kepingan kecil dari banyaknya kasus kekerasan seksual di tempat kerja.

Tidak bisa dibantah, kualifikasi loker yang diskriminatif berdampak pada angka partisipasi kerja perempuan yang hanya 60,18 persen dan laki-laki 86,97 persen (BPS, 2023).

Sudah saatnya Indonesia mendorong lowongan kerja yang lebih adil, yang memberi kesempatan kerja kepada seluruh warga negara yang produktif (usia 18-64 tahun) sesuai dengan kecakapan dan kemampuan kerjanya.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Kutipan Paus Fransiskus tentang Kapitalisme, Keadilan Sosial, Demokrasi, dan Ekologi

Kutipan Paus Fransiskus tentang Kapitalisme, Keadilan Sosial, Demokrasi, dan Ekologi

Selasa, 3 September 2024, Paus Fransiskus menginjakkan kakinya di bumi

Next
Perusahaan Platform Mengebiri Hak Pekerja Ojol

Perusahaan Platform Mengebiri Hak Pekerja Ojol

Ekonomi gig dianggap membawa harapan dan menjadi tren ketenagakerjaan di masa

You May Also Like
Total
0
Share