10 Aksi Boikot Politik Paling Berani dalam Dunia Olahraga

Meski olahraga selalu dibilang netral, tapi sejarah membuktikan sebaliknya. Dari rasisme, hak asasi manusia (HAM), kesetaraan gender, hingga demokrasi, para atlet dan organisasi olahraga sering memilih tidak bertanding demi memperjuangkan keadilan. Boikot mereka bukan sekadar aksi protes, tapi juga jadi titik balik yang mengubah aturan main dalam dunia olahraga dan politik global.

Berikut 10 aksi boikot paling berani yang pernah terjadi di dunia olahraga!

Mohammad Ali menunjukkan headline koran tentang aksi memprotes perang Vietnam. Kredit: Bettmann/Getty Images

Mohammad Ali – Tolak wajib militer (1967), “Saya tidak punya masalah dengan Viet Cong”

Saat Amerika Serikat (AS) terlibat dalam Perang Vietnam, pemerintah mewajibkan semua pemuda, termasuk atlet, untuk ikut wajib militer. Tapi petinju Mohammad Ali menolak keras dengan alasan perang itu tidak adil, terutama bagi orang kulit hitam yang masih mengalami diskriminasi di negaranya sendiri. “Mereka enggak pernah manggil saya ‘n***er’,” kata Ali saat ditanya kenapa dia enggan bertempur.

Akibat sikapnya, Ali kehilangan gelar juara dunia, izin bertandingnya dicabut, dan terancam dipenjara. Namun, aksinya kemudian dihormati sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan rasial.

Tommie Smith dan John Carlos mengepalkan tangan sebagai simbol solidaritas atas perjuangan hak-hak sipil di As, saat Olimpiade 1968. Kredit: Landscape.com

Tommie Smith dan John Carlos – Salam kepalan tangan hitam (Olimpiade 1968)

Olimpiade 1968 berlangsung di tengah ketegangan rasial di AS. Ketika Tommie Smith dan John Carlos memenangkan medali di cabang lari 200 meter, mereka melakukan aksi ikonik: berdiri di podium sambil mengangkat tinju berbalut sarung tangan hitam. Itu adalah simbol Black Power, perlawanan terhadap rasisme yang masih merajalela. Aksi ini bikin mereka langsung dikeluarkan dari tim nasional AS dan dikucilkan dari dunia olahraga. Kendati begitu warisan mereka tetap hidup sebagai momen penting dalam perjuangan hak sipil.

Eric Reid dan Colin Kaepernick berlutut saat lagu kebangsaan AS diperdengarkan sebagai protes atas diskriminasi terhadap warga kulit hitam. Kredit: Michael Zagaris/San Francisco 49ers/Getty Images

Colin Kaepernick – Berlutut saat lagu kebangsaan berkumandang (2016)

Ketika lagu kebangsaan AS dikumandangkan sebelum pertandingan NFL, quarterback Colin Kaepernick memilih berlutut sebagai protes terhadap kebrutalan polisi terhadap orang kulit hitam. Aksinya memicu kontroversi besar—beberapa mendukung, tapi banyak juga yang mengecam. Akibatnya, dia kehilangan kontraknya dan tak lagi bermain di NFL. Tapi aksinya menginspirasi gerakan serupa di berbagai cabang olahraga di seluruh dunia.

Billie Jean King dalam pertandingan “Battle the Sexes” melawan Bobby Riggs, mantan juara dunia. Bobby, yang berusia 55 tahun, menantang pemain tenis perempuan terbaik, Billie Jean. Ia bilang, meskipun sudah tua, ia bisa mengalahkan pemain tenis perempuan terbaik. Dalam pertingan legendaris itu, Billie Jean menang tiga set sekaligus mengubur kecongkakan pria. Kredit: Bettmann/Bettmann Archive

Billie Jean King – Boikot turnamen demi kesetaraan gender (1973)

Pada era 1970-an, hadiah uang di turnamen tenis perempuan jauh lebih kecil dibandingkan pria. Billie Jean King, petenis terbaik saat itu, menolak ikut turnamen yang tidak membayar atlet perempuan secara adil. Tekanan dari dia dan kelompoknya akhirnya membuahkan hasil: US Open menjadi Grand Slam pertama yang memberi hadiah setara bagi atlet laki-laki dan perempuan—sebuah kemenangan besar bagi kesetaraan gender di olahraga.

Juara dunia F1, Lewis Jamilton, berlutut ala Colin Kaepernick sebagai dukungan terhadap gerakan Black Live Matter. Kredit: Mark Thompson/Getty Images

Lewis Hamilton – Dukung gerakan Black Lives Matter (2020)

Setelah pembunuhan George Floyd, juara dunia F1 Lewis Hamilton menggunakan platformnya untuk menyuarakan gerakan Black Lives Matter. Dia mengenakan kaus bertuliskan “Arrest the cops who killed Breonna Taylor” dan mendesak F1 agar lebih aktif melawan rasisme. Hasilnya, F1 akhirnya membuka ruang bagi aksi anti-rasisme sebelum balapan digeber dan mulai mempromosikan keberagaman dalam dunia balap.

    Tim basket perempuan Atlanta Dream melakukan protes terhadap Kelly Loeffer, sang pemilik klub, karena sikapnya yang terang-terangan menentang Black Live Matter. Kredit: ESPN

    Tim Basket Perempuan Atlanta Dream – Lawan bos sendiri (2020)

    Kelly Loeffler, pemilik tim basket perempuan Atlanta Dream, terang-terangan menentang gerakan Black Lives Matter. Para pemainnya enggak tinggal diam—mereka melawan bosnya sendiri dengan mendukung lawannya dalam pemilu Senat AS. Alhasil, Loeffler kalah, dan tekanan dari para pemain akhirnya memaksa dia menjual timnya. Sebuah bukti bahwa atlet bisa menumbangkan kekuatan politik lewat aksi kolektif.

    Naomi Osaka mengenakan masker bertuliskan nama-nama wargakulit hitam yang menjadi korban kekerasan Polisi.

    Naomi Osaka – Menolak bertanding demi Black Lives Matter (2020)

    Di turnamen tenis Western & Southern Open 2020, Naomi Osaka mengundurkan diri dari semifinal sebagai bentuk protes atas penembakan Jacob Blake, pria kulit hitam yang ditembak polisi di AS. Aksinya bikin penyelenggara turnamen menunda seluruh pertandingan sebagai bentuk solidaritas—sesuatu yang jarang terjadi dalam dunia olahraga profesional.

    Milwaukee Bucks, tim basket yang berkompetisi di NBA, melakukan aksi bertulut sebagai dukungan kepada gerakan BLM. Kredit: New York Times.

    Denver Nuggets dan Milwaukee Bucks– Boikot Playoff NBA setelah penembakan Jacob Blake (2020)

    Kasus Jacob Blake juga mengguncang NBA. Tim Denver Nuggets dan Milwaukee Bucks memilih tidak turun ke lapangan di babak playoff sebagai bentuk protes. Boikot ini bikin seluruh liga menghentikan sementara semua pertandingan dan memaksa NBA mengambil langkah lebih tegas dalam mendukung keadilan sosial.

    Timnas perempuan Norwegia memprotes diskriminasi gender dalam sepak bola. Kredit: New York Times

    Tim Sepak Bola Perempuan Norwegia – Protes gaji (2017)

    Timnas perempuan Norwegia memboikot acara penghargaan federasi sepak bola negaranya untuk menuntut kesetaraan gaji dengan tim laki-laki. Mereka akhirnya menang, dan Norwegia jadi salah satu negara pertama yang menyamakan gaji pemain timnas laki-laki dan perempuan—sesuatu yang masih diperjuangkan di banyak negara lain hingga hari ini.

    Novak Djokovic di Australia Open, 2025. Kredit: Mike Frey-Imagn Images

    Novak Djokovic – Tolak vaksin Covid-19, didepak dari Australia Open (2022)

    Beda dari yang lain, ini bukan soal HAM atau rasisme, tapi soal prinsip pribadi. Petenis Novak Djokovic menolak divaksin Covid-19, meskipun aturan Australia mewajibkan vaksin bagi semua peserta turnamen. Akibatnya, dia dideportasi dan dilarang bermain di Australia Open 2022. Keputusan itu bikin dia kehilangan kesempatan menambah koleksi Grand Slam, tapi tetap teguh pada keyakinannya.


    Boikot dalam olahraga bukan sekadar aksi protes, tapi juga alat perubahan yang kuat. Dari rasisme, kesetaraan gender, hingga hak sipil, para atlet ini membuktikan bahwa berani melawan bisa lebih berarti daripada sekadar menang di lapangan. Olahraga pun bukan sekadar soal skor—tapi juga tentang keberanian memperjuangkan keadilan.

    Total
    0
    Shares
    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Prev
    Serikat Ojol Tolak Aturan BHR Diskriminatif

    Serikat Ojol Tolak Aturan BHR Diskriminatif

    Selama ini pengemudi ojol, taksol dan kurir bekerja produktif dengan kinerja

    Next
    Ramai-ramai Mengadang Arus Balik Dwifungsi TNI

    Ramai-ramai Mengadang Arus Balik Dwifungsi TNI

    Kendati dihujani protes masyarakat, pembahasan rancangan undang-undang (RUU) TNI

    You May Also Like
    Total
    0
    Share