Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah tancap gas melakukan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Kendati dihujani protes masyarakat, pembahasan rancangan undang-undang (RUU) TNI itu tak terlihat akan dihentikan. Malah, diperkirakan, RUU yang di dalamnya terdapat pasal-pasal yang akan mengembalikan praktik dwifungsi TNI bakal segera dibawa dan disahkan dalam rapat paripurna.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamananan menyebut, revisi undang-undang itu harus ditolak secara keras, karena memberikan legitimasi kepada militer untuk masuk ke ranah sipil. Hal ini dikhawatirkan bakal kembali mengulang praktik-praktik buruk seperti di masa Orde Baru.
Koalisi yang berisikan ratusan tokoh, akademisi, aktivis serta kelompok pro-demokrasi itu cemas: jika RUU itu disahkan, militer aktif bakal merangsek menduduki aneka jabatan sipil.
Melalui petisi bertajuk Tolak Kembalinya Dwifungsi Melalui Revisi UU TNI, yang dilansir di situs change.org, Koalisi menilai agenda revisi undang-undang TNI justru bakal melemahkan profesionalisme militer. Terlebih sebagai alat pertahanan negara, selama ini TNI dilatih, dididik dan disiapkan untuk berperang, bukan untuk mengisi fungsi non-pertahanan, seperti menduduki jabatan sipil.
“Perluasan penempatan TNI aktif itu tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko memunculkan masalah, seperti menguatkan dominasi militer di ranah sipil dan memicu terjadinya kebijakan maupun loyalitas ganda. Selain itu, juga merebut jabatan sipil dan memarginalkan ASN dan perempuan dalam akses posisi-posisi strategis,” sebut petisi yang telah diteken hampir 15 ribu orang, dikutip Selasa (18/3).
Koalisi pun mencontohkan dampak buruk atas perluasan jabatan sipil dalam RUU TNI. Hal ini, di antaranya penempatan militer aktif di Kejaksaan Agung. TNI, lanjut Koalisi, adalah alat pertahanan negara untuk perang. Sedangkan Kejaksaan Agung merupakan lembaga penegak hukum. “Maka, salah jika anggota TNI aktif duduk di institusi Kejaksaan Agung. Contoh itu cerminan praktik dwifungsi TNI,” seru mereka.
Koalisi juga menuntut pelanggaran terhadap Undang-Undang TNI selama ini dievaluasi dan ditertibkan. Mereka mendesak agar anggota TNI aktif yang menduduki jabatan sipil di luar yang telah diatur dalam pasal 47 ayat 2 undang-undang tersebut, segera mengundurkan diri atau mengajukan pensiun dini. Dalam catatan Koalisi, selama ini masih ada anggota TNI aktif yang menduduki jabatan sipil tanpa mengundurkan diri terlebih dulu. Mereka, di antaranya Letnan Kolonel Teddy Indra Wijaya yang kini didaulat Presiden Prabowo menduduki Sekretaris Kabinet dan Mayor Jenderal Ariyo Windutomo yang menjabat Kepala Sekretariat Presiden.
Selain itu, Koalisi meminta agar militer tidak dilibatkan dalam menangani masalah narkotika. Jika ini terjadi, bisa membahayakan Indonesia sebagai negara hukum. Apalagi, selama ini, penanganan masalah tersebut, lebih berada dalam koridor kesehatan, penegakan hukum proporsional, bukan perang. Mereka bilang, selama ini, model penegakan hukum saja seringkali bermasalah dan tidak proporsional dalam mengatasi masalah. Menggunakan “war model” dengan melibatkan militer, dikhawatirkan akan menimbulkan terjadinya kekerasan berlebihan secara serius.
“Apa yang terjadi di Filipina pada masa Rodrigoue Duterte dalam ‘war model’ untuk penanganan narkoba adalah contoh yang tidak baik, karena telah mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM,” urai Koalisi.
Yang juga tak kalah berbahaya, lanjut Koalisi, RUU TNI berupaya merevisi klausul pelibatan tentara dalam operasi militer selain perang (OMSP) tanpa perlu persetujuan DPR. Nantinya, operasi ini cukup diatur dalam peraturan pemerintah. Padahal, operasi semacam itu termasuk kebijakan politik negara, yakni presiden dengan pertimbangan DPR sebagaimana diatur oleh pasal 7 ayat 3 UU TNI No 34 Tahun 2004.
“RUU TNI mau meniadakan peran parlemen sebagai wakil rakyat. Ini akan menimbulkan konflik kewenangan atau tumpang tindih dengan lembaga lain dalam mengatasi masalah di dalam negeri. Secara tersirat, perubahan pasal itu merupakan bentuk pengambilalihan kewenangan wakil rakyat oleh TNI dalam operasi militer selain perang dan menghilangkan kontrol sipil,” lanjut Koalisi dalam petisi itu.
Atas upaya tersebut, Koalisi menilai, revisi hanya untuk melegitimasi mobilisasi dan ekspansi keterlibatan prajurit TNI dalam permasalahan domestik. Hal ini seperti makan bergizi gratis (MBG), distribusi gas elpiji, ketahanan pangan, penjagaan kebun sawit, pelaksanaan proyek strategis nasional (PSN) serta penertiban dan penjagaan kawasan hutan bahkan sampai pengelolaan ibadah haji.
Aliansi Perempuan Indonesia juga menyerukan agar DPR dan pemerintah segera menghentikan pembahasan RUU TNI. Selain tidak memiliki urgensi transformasi TNI ke arah profesional, penambahan fungsi militer di ranah sipil dalam revisi dinilai akan membangkitkan trauma kolektif masyarakat Indonesia atas berbagai peristiwa kekerasan yang melibatkan militer di masa Orde Baru.
Aliansi menyebut, kewenangan besar militer dalam ruang sipil dan politik acap digunakan untuk membungkam kritik terhadap kekuasaan. Beragam praktik militerisme dengan pendekatan kekerasan sebagai solusi utama dalam menangani persoalan konflik sosial, sebut Aliansi, juga telah menyebabkan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Sementara, di sisi lain, politik impunitas membuat kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia tak mampu diusut secara tuntas. Para petinggi militer Orde Baru yang terlibat dalam peristiwa itu, banyak tak tersentuh oleh tangan-tangan hukum.
Dalam situasi saat ini, ketimbang merevisi Undang-Undang TNI, gerakan masyarakat sipil lebih mendorong DPR dan pemerintah untuk memprioritaskan modernisasi alutsista, memastikan TNI adaptif terhadap ancaman eksternal, meningkatkan kesejahteraan prajurit, serta memperhatikan keseimbangan gender dalam organisasi TNI, yang mencakup peningkatan representasi perempuan dalam berbagai posisi strategis.
“Langkah menghapus hambatan struktural dalam karier militer, serta jaminan lingkungan kerja yang aman dan bebas dari diskriminasi, lebih penting dilakukan demi mewujudkan profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara,” ujar mereka.
Sedangkan dalam konteks reformasi sektor keamanan, masyarakat sipil meminta pemerintah dan DPR mendorong agenda reformasi peradilan militer melalui revisi Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Agenda revisi undang-undang ini dinilai lebih penting ketimbang RUU TNI. Apalagi agenda tersebut merupakan kewajiban konstitusional negara untuk menjalankan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) bagi semua warga negara, tanpa kecuali. Reformasi peradilan militer juga merupakan mandat TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Di tengah gempuran protes untuk membendung arus balik dwifungsi TNI, anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI-Perjuangan, TB Hasanuddin ikut angkat bicara. Dia mengatakan RUU TNI telah mengalami perubahan dalam rapat Senin (17/3) malam lalu. Perubahan itu, di antaranya menghapus Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai lembaga yang bisa diduduki anggota TNI aktif, serta tidak ada lagi poin terkait TNI yang memiliki wewenang untuk membantu menangani masalah narkotika.