Hari yang kunantikan itu datang juga: wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer. Sekira medio 2005, aku berkesempatan mewawancarai tokoh sastra terkemuka itu di rumahnya di Bojong Gede.
Berkat bantuan Mbak Titi Toer, putri Pram, akhirnya wawancara untuk Tabloid Kontan itu dapat terlaksana. Aku dan Pieter Situmorang, fotografer Kontan kala itu, menunggu di ruang tamu dengan perasaan senang. Persis perasaan seperti seorang fans ketemu idola. Novel Pram tidak asing di masa mahasiswa di kampus Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Membeli, menenteng, membaca dan mendikusikan isi buku-buku Pramoedya adalah kebanggaan tersendiri di masa mahasiswa. Level bersastra mendadak naik kelas begitu sudah menjadikan buku Pramoedya sebagai referensi. Bukan sekadar buku wajib bagi aktivis kiri, tapi juga menjadi role model bertutur dan menulis sastra. Cita rasa seakan mencapai maksimal begitu dapat bercerita banyak tentang buku-buku Pram.
Karya tetralogi Pramoedya merupakan goals pecinta sastra untuk dibeli dan dibaca: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca adalah karya-karya Pramoedya yang melegenda. Selain buku sastra tetralogi, novelnya berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Arus Balik dan Arok Dedes juga sangat terkenal. Dua novel di atas malah semasa mahasiswa aku pinjam baca dari kawan Imron yang sudah membelinya. Kelak setelah bekerja aku lengkapi perburuan karya-karya Pram. Ada 50 karya yang sudah diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa di dunia.

Setelah menunggu beberapa saat keluarlah sosok sastrawan terkemuka tersebut dari dalam rumah. Mengenakan kaos putih dan bersarung ia duduk di hadapanku. Ia bercerita aktivitas sehari-harinya di masa tua. Saban hari Pram menghabiskan waktu untuk istirahat, membaca dan menulis. Namun ada satu kegemarannya yang tak pernah ditinggalkan yaitu menyapu halaman belakang dan membakar sampah organik. “Ada kenikmatan tersendiri membersihkan sampah dan melihat halaman yang bersih,” seloroh Pram. Ia pun bercerita pada saat melakoni hukuman penjara di Pulau Buru, aktivitasnya juga sama seperti itu.
Hanya bedanya, Pram tidak bisa keluar dari Pulau Buru. Pram dipenjara rezim Orde Baru selama hampir 20 tahun lamanya, tanpa proses pengadilan, justru melahirkan karya monumental novel tetralogi. Pram dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) lantaran ia menjadi anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi sayap kebudayaan yang berafiliasi ke PKI. Pram bercerita di penjara Buru itu ia hidup bertani, memelihara ayam dan bebek. Ia menghabiskan waktu dengan menulis, termasuk membaca apa saja yang ditemui, seperti koran-koran bekas yang sampai ke Pulau Buru, Kepulauan Maluku. “Saya paling tidak suka kalau ada apel,” kata Pram.
Ia bercerita atas bantuan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Jenderal Soemitro, sewaktu kerkunjung ke Pulau Buru tahun 1973, ia meminta bantuan agar diberikan mesin tik karbon, kertas ketik dan sejumlah kertas untuk menulis. Dari bantuan inilah Pram bisa menulis novel dan menulis rancangan isi buku (outline) yang kelak menjadi buku, termasuk buku Kronik Revolusi Indonesia. Ada kata-kata Pram yang terus melekat pada ingatanku saat wawancara: “Dengan menulis engkau akan melintasi segala zaman,” begitu kata Pram.
Di rumahnya yang asri dan luas di Bojong Gede itu Pram sehari-hari bekerja tidak jauh dari urusan tulis menulis, termasuk aktivitas mengkliping koran dan majalah. Ia tak mau disibukkan dengan menerima banyak tamu, ia hanya memilih menerima tamu dan wartawan yang datang meminta wawancara. Aku beruntung berkesempatan untuk wawancara cukup lama dengan Pram.
Pram menyalakan korek untuk menyulut rokok Djarum di tangannya. Di sinilah dialog terjadi dengan foto yang ikonik. Foto yang terlihat itu aku setengah beteriak di dekat telinga Pram yang dibantu tangan kirinya mendekat ke telinga. Ia meminta lebih keras lagi suaraku. Aku bertanya berkali-kali soal rokok ini tapi Pram tak mendengar dengan jelas. Mungkin suaraku yang terlalu pelan, apalagi aku dikenal cedal alias tidak bisa melafalkan R dengan jelas, atau Pram yang ia akui sendiri mulai menurun pendengarannya.
“Rokoknya apa, Pak,” tanyaku.
“Apa?,” tukas Pram sembari menempelkan tangan kiri ke telinganya. Tiga kali aku mengatakan kata rokok, tapi Pram tak kunjung mendengarnya.
“Rokok,” kataku.
“Djarum!,” kata Pram.
“Berapa bungkus sehari?,” tanyaku.
“Tiga!,” kata Pram.

Foto ikonik yang dijepret Peiter itu begitu membanggakanku. Sampai sekarang foto itu masih kupajang di display foto akun Twitter @ulinyusron. Setahun setelah wawancara itu Pram berpulang ke pangkuan pemilik semesta pada 18 April 2006.
Dari dialog soal rokok itulah Pram bercerita ihwal pendengarannya yang menurun akibat pernah dipopor tentara ABRI, waktu rumahnya digeledah dan sebagian karya-karyanya dirampas. Bagian karya yang dirampas itulah yang membuat Pram masih geram, dendam pada rezim Orde Baru. “Banyak karya saya dirampas tentara. Saya akan tetap menuntut dikembalikan. Apalagi banyak buku harian yang juga ikut dirampas. Bagaimana harus menulisnya kembali. Tidak mungkin itu!,” kata Pram dengan nada suara meninggi. “Saya diperlakukan sebagai anjing kurap!,” seloroh Pram.
Aku menanyakan kepada Pram rencana beberapa novelnya akan dijadikan film . Konon pada waktu itu tersiar kabar bahwa salah satu karya tetralogi “Bumi Manusia” yang akan diangkat ke layar lebar. Film Bumi Manusia sendiri baru ditayangkan pada 2019, berjarak 13 tahun setelah Pram meninggal pada 2006. Tentu saja melalui proses produksi yang panjang dengan dinamika tersendiri.
Aku juga bertanya tentang proses kreatif Pram yang mengagumkan. Pram menceritakan bahwa pengalaman sejak kecil hingga keluar masuk penjara sangat membekas dan mempengaruhi proses berkarya. Di setiap zaman, ia mengalami penjara. Di masa agresi militer Belanda, Pram dipenjara di Salemba tahun 1947-1949 karena dituduh terlibat aksi melawan Belanda. Lalu selepas agresi militer Belanda II ia dijebloskan lagi oleh tentara kolonial Belanda ke penjara Bukittinggi tahun 1949-1951. Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1951, Pram dipindahkan ke penjara Glodok selama setahun. Ia benar-benar bebas dari penjara pada tahun 1952. Nahas sekali lagi, pasca peristiwa Gerakan Satu Oktober (Gestok) alias Gerakan 30 September ia ditahan tanpa proses peradilan dan diasingkan ke Pulau Buru dari tahun 1969-1979. Tahun 1979-1980 status Pram dipindahkan ke penjara Cipinang. Lalu dipindahkan lagi ke penjara Nirbaya tahun 1980-1988. Hampir dua dasawarsa Pram menghabiskan masa mudanya di penjara Orde Baru. Tahun 1995-1996 Pram sempat dipenjara lagi atas tuduhan makar. Tulisan-tulisannya dianggap Orde Baru berbahaya karena membangkitkan heroisme ideologi kiri.
“Waktu muda saya habis di penjara. Saya tak punya kedekatan dengan anak, istri dan tidak punya banyak teman,” kata Pram.

Hari ini kita merayakan 100 tahun lahirnya Pramoedya Ananta Toer dengan penuh antusias. Pram, yang juga seorang pengarsip detail, teliti dan tekun itu telah 19 tahun meninggalkan kita semua. Namun jejak karya-karyanya abadi, dibaca dan didiskusikan. Kutipan Pramoedya yang diambil dari buku-buku karangannya, pidatonya, juga dari sejumlah wawancara di media massa telah menjadi bara api bagi angkatan muda di sepanjang zaman. Benarlah kata Pram: tulisannya telah melintasi segala zaman.
Dirgahayu! Selamat ulang tahun Pramoedya Ananta Toer yang ke-100. Rangkaian huruf, kata dan kalimat dalam tulisanmu akan terus abadi sepanjang masa. Namamu terus hidup, meski engkau sudah lama meninggal. Di swargaloka tempatmu kini, pasti engkau tengah menikmati rokok Djarum kesukaanmu!
6 Februari 1925-6 Februari 2025