Skandal Cokelat dan Korupsi SYL

PADA 1995, skandal politik mengguncang Swedia. Mona Sahlin, politisi partai Sosial Demokrat yang sedang naik daun dan sedang menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, menggunakan kartu kredit pemerintah untuk membayar belanja pribadi.

Skandal ini menyeruak politik Swedia. Dari investigasi media diketahui, Sahlin menggunakan kartu kredit dinas untuk membayar belanja pribadi, dari membeli pakaian hingga biaya perjalanan pribadi, termasuk beberapa keping cokelat.

Saat itu, Sahlin tengah mencalonkan diri sebagai ketua partai. Jika partainya menang Pemilu, ia akan menjadi Perdana Menteri dan sekaligus perempuan pertama yang menduduki jabatan itu dalam sejarah Swedia.

Namun, skandal itu telah menggiring jalan politiknya ke ujung tanduk. Dalam keadaan terdesak, Sahlin menggelar konferensi pers. Ia berusaha memadamkan api kemarahan publik, termasuk kawan separtainya, atas kasus yang menyandungnya.

Dia berdalih agak kesulitan membedakan kartu kredit pribadi miliknya dengan kartu kredit dinas. Ia juga mempersoalkan ketiadaan aturan yang jelas soal penggunaan kartu kredit dinas.

Ia juga menyebut nilai kartu kredit yang dipakainya tidak banyak, hanya makanan, termasuk beberapa batang cokelat Toblerone. Jadilah skandal itu dikenang dalam sejarah dengan sebutan “skandal Toblerone”.

Meski kasus ini kemudian dihentikan karena tidak ditemukan pelanggaran, jalan politik Sahlin sudah terlanjur meredup.

Dukungan dari rekan separtainya sangat minim. Sementara 66 persen warga Swedia menganggap dia tidak layak menduduki jabatan publik sekelas Perdana Menteri. Dari kasus itu, kita bisa memetik pelajaran: kemerdekaan pers bisa menjadi senjata efektif untuk melawan korupsi.

Swedia adalah negara pertama di dunia yang mencantumkan kebebasan pers dalam Konstitusinya, pada 1776. Dalam kasus Sahlin, jurnalisme investigasi lah yang mengendus skandalnya pertama sekali.

Kedua, kasus Sahlin telah memantik diskusi tentang perlunya transparansi, termasuk hak rakyat untuk mengakses berbagai dokumen publik terkait belanja pejabat dan penggunaan anggaran dinas. Prinsip transparansi ini turut menjadi mata tombak dalam pemberantasan korupsi.

Ketiga, Swedia sudah meruntuhkan cara pandang politik tradisional, yang menempatkan pejabat politik sebagai pemegang hak istimewa dan harus dihormati. Orang-orang Swedia memperlakukan pejabat politiknya tak berbeda dengan rakyat biasa.

Seperti diceritakan oleh Claudia Wallin dalam bukunya, Sweden: The Untold Story (2018), para menteri dan anggota parlemen di Swedia bepergian dengan bus dan kereta umum. Tidak ada mobil dinas atau sopir pribadi.

Tidak ada kemewahan atau hak istimewa bagi wakil rakyat. Anggota parlemen juga tinggal di apartemen kecil dan mencuci serta menyetrika pakaian mereka sendiri di binatu umum. Gaji mereka sekitar dua kali lipat gaji guru sekolah dasar.

Kisah korupsi SYL

Di Indonesia, dari tumpukan kasus korupsi yang menggunung seperti Himalaya, ada satu kasus korupsi terbaru yang sangat menyita perhatian publik saking memalukannya, yaitu korupsi mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL).

Kasus SYL menunjukkan alur gelap penggunaan anggaran negara. Bayangkan, dari Rp 44,5 miliar uang Kementerian yang mengalir ke kantong SYL dan keluarganya. Semuanya mengalir untuk urusan pribadi, seperti perjalanan pribadi, belanja istri, pembelian mobil untuk anak, urusan make-up anak dan cucu, gaji ART, hingga urusan paket sembako. Bahkan ada yang mengalir untuk biduan. Dan itu berlangsung lama.

Selama setahun, seorang biduan didaftarkan sebagai tenaga honorer di Kementan dengan gaji Rp 45 juta untuk setahun (Rp 4,3 juta per bulan), meskipun hanya dua kali menampakkan batang hidungnya di kantor Kementan. Bayangkan, seorang didaftarkan sebagai tenaga honorer tanpa penjabaran kerja yang jelas, itu pun hanya masuk kerja dua kali, tetapi menerima gaji per bulan selama setahun. Kok bisa?

Ada lagi yang tak kalah pahit dan miris. Kakak kandung dan cucu SYL masing-masing menerima Rp 10 juta per bulan. Keduanya diberi jabatan tempelan: staf ahli. Kok begitu gampangnya keluarga menteri diangkat menjadi staf ahli dan diberi gaji.

Kedua, kasus SYL menunjukkan tidak adanya batasan yang jelas antara urusan jabatan dan urusan pribadi. Seharusnya pemberian fasilitas maupun anggaran dinas bagi pejabat hanya terkait dengan urusan jabatannya.

Di negeri kita tercinta, karena tidak jelasnya batasan tersebut, fasilitas negara bisa digunakan pejabat untuk kepentingan pribadinya. Mobil dinas digunakan di luar urusan kantor/dinas. Perjalanan dinas pejabat menyertakan keluarga dan kerabat.

Ketiga, kasus SYL menunjukkan betapa negatifnya politik dinasti. Ketika dia mendapatkan kekuasaan politik, mulai dari Bupati Gowa (1994–2002), Gubernur Sulsel (2008–2018), dan Kementan RI (2019–2023), hampir seluruh keluarganya juga kecipratan jabatan politik.

Saudara perempuannya berkarier di parlemen, dari DPRD hingga DPR-RI. Sedangkan dua adik laki-lakinya menjabat bupati di dua daerah yang berbeda. Dua anaknya juga terjun ke politik dan berkarier di birokrasi pemerintahan.

Menariknya, selain kasus korupsi yang menjerat SYL kini, dua saudaranya juga pernah terseret kasus korupsi: Dewie Yasin Limpo, anggota DPR-RI, terseret kasus suap proyek pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai, Papua; sedangkan Haris Yasin Limpo terjerat korupsi saat menjabat Direktur PDAM kota Makassar.

Keempat, dalam banyak kasus, termasuk kasus SYL, terdakwa korupsi dihukum ringan. SYL hanya divonis 10 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider empat bulan penjara. Pendekatan semacam ini tidak akan memberi efek jera kepada koruptor.

Dalam banyak kasus, penjara seumur hidup saja tak membuat jera, sepanjang koruptor dan keluarganya masih punya aset dan bisnisnya masih bernapas lega.

Mereka bisa membeli kenyamanan dalam penjara, lalu menyembunyikan atau memindahkan asetnya ke luar negeri, atau mengontrol bisnisnya dari dalam penjara.

Negara ini membutuhkan perombakan radikal dalam strategi pemberantasan korupsi, terutama terkait metode penghukuman yang memberi efek jera, dengan mempertimbangkan pendekatan pemiskinan koruptor.

Belajar dari Swedia, untuk merobohkan benteng kokoh korupsi, kita harus melepaskan banyak tembakan. Peran pers dengan laporan investigasinya juga harus diberi ruang selebar-lebarnya dan dilindungi oleh UU. Prinsip transparansi harus ditegakkan.

Sudah saatnya, publik atau pembayar pajak diberi akses informasi terkait penggunaan uang negara untuk fasilitas, tunjangan, maupun biaya perjalanan dinas pejabat lewat laporan yang rutin setiap lembaga negara.

Terakhir, pemberantasan korupsi perubahan kultur politik dan nilai-nilai sosial. Kita perlu meruntuhkan konsep politik yang menempatkan pejabat politik sebagai pemilik hak istimewa yang harus dihormati. Sudah saatnya politisi diperlakukan layaknya rakyat biasa.

Dan terpenting, celah untuk korupsi makin menyempit manakala ada nilai-nilai sosial yang dianut oleh masyarakat semakin tidak memberi toleransi korupsi.

Salah satu bentuknya: masyarakat sebagai pemilih/pemegang hak suara dalam Pemilu tidak memberi peluang kepada calon/kandidat yang punya rekam jejak korupsi untuk menduduki jabatan politik.


Artikel ini sudah tayang sebelumnya di kolom Kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2024/07/19/11211231/skandal-cokelat-dan-korupsi-syl?page=all#page2

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next
Politisi Termuda dalam Sejarah Politik Indonesia

Politisi Termuda dalam Sejarah Politik Indonesia

Wajah politik Indonesia makin menua

You May Also Like
Total
0
Share