Tidak lama pasca penyerahan kedaulatan RI oleh Belanda, tepatnya 25-30 Agustus 1950, Indonesia menyelenggarakan kongres tentang perumahan rakyat. Kongres itu dinamai Kongres Perumahan Rakyat Sehat.
Seberapa urgen urusan tempat tinggal ini sampai-sampai dibuatkan kongres khusus tak lama setelah penjajah Belanda angkat kaki dari negeri ini?
Bagi Mohammad Hatta, wakil presiden RI yang membuka kongres itu, soal tempat tinggal bukan sekadar soal hak dasar manusia, tetapi juga soal kualitas hidup manusianya.
“Gubuk-gubuk yang lebih merupakan kandang sapi dari tempat kediaman manusia harus berangsur-angsur lenyap. Keadaan orang yang masih diam di bawah jembatan adalah satu tamparan kepada peradaban,” kata Bung Hatta dalam risalahnya, Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia, terbitan Djambatan, 1963.
Hari ini, tujuh dekade setelah kongres itu digelar, persoalan tempat tinggal belum juga selesai. Merujuk data BPS pada 2019, masih ada 20 persen rakyat Indonesia yang belum punya rumah. Itu pun hanya 54,75 persen yang layak huni.
Sementara, berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2020, kesenjangan antara ketersediaan dengan kebutuhan rumah (backlog) masih cukup tinggi, yaitu 12,75 juta. Jumlah itu belum termasuk kebutuhan akibat pertumbuhan rumah tangga baru sekitar 700-800 ribu per tahun.
Mekanisme pasar
Sementara angka backlog perumahan masih sangat tinggi, lantaran harga rumah diserahkan ke mekanisme pasar. Akibatnya, harga rumah pun sangat tinggi. Berdasarkan catatan Real Estate Indonesia (REI), kenaikan harga rumah di kota-kota besar mencapai 10-30 persen. Jauh di atas inflasi dan persentase kenaikan upah minimum.
Di kota besar seperti Jakarta, pekerja dengan upah UMP sebesar Rp 5,06 juta, hanya bisa membeli rumah yang harganya di bawah Rp 200 juta. Itu pun mereka harus menyisihkan 35 persen (Rp 1,6 juta) dari gajinya untuk membayar cicilan per bulan selama 12 tahun (hitungan bunga rendah).
Masalahnya, sangat sulit mendapatkan rumah dengan harga di bawah Rp 200 juta di Jakarta. Potensi mendapatkan rumah dengan harga itu hanya ada di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek).
Makanya, kepemilikan rumah di Jakarta hanya 48,33 persen. Tahun 2021, jumlah rumah tangga yang tinggal di rumah sewa atau kontrak mencapai 34,63 persen.
Rumah sewa atau kontrakan pun tidak murah di Jakarta. Rumah petak dengan satu kamar, ruang tamu kecil, dan dapur kecil saja sudah di atas Rp 1 juta. Artinya, bagi pekerja dengan upah sesuai UMP, pengeluaran untuk sewa kontrakan itu mencapai sepertiga dari gaji.
Lalu, bagaimana nasib pekerja informal yang gajinya di bawah UMP? Merujuk data BPS DKI Jakarta, gaji pekerja informal di Jakarta pada 2020 hanya di kisaran Rp 3 juta ke bawah.
Ke depan, seiring dengan perkembangan kota-kota dan urbanisasi, ada banyak kota besar lain di Indonesia yang akan mengalami persoalan perumahan seperti di Jakarta. Apa yang harus dilakukan?
Kebijakan “rent control”
Di beberapa tempat di bawah kolong langit ini, upaya menjaga akses rakyat terhadap tempat tinggal dilakukan lewat kebijakan pengontrolan sewa atau rent control.
Tahun 2019, ada 200-an kota kecil yang mengadopsi beragam kebijakan terkait sewa, termasuk rent control. Bahkan ada tiga negara bagian di AS, yaitu New York, New Jersey, dan California, yang mengadopsi rent control.
Beberapa kota lain di Spanyol, Jerman, Irlandia, dan Prancis, juga menerapkan kebijakan rent control.
Rent control adalah kebijakan yang mengatur batas maksimum nilai sewa tempat tinggal/hunian, mulai dari sewa rumah, kontrakan, apartemen, rumah susun, dan lain-lain.
Penerapan rent control di banyak tempat berbeda-beda. Namun, pada umumnya, kebijakan ini menetapkan batas maksimum sewa per unit dan batas kenaikan sewa per tahun. Rent control juga mencegah pengusiran sepihak penyewa oleh pemilik (landlord).
Pengendalian sewa bertujuan untuk menjaga pasar perumahan agar sewa rumah/kontrakan tetap bisa terjangkau oleh warga, terutama yang berpendapatan menengah ke bawah.
Di kota-kota besar, seperti Jakarta, rent control bukan hanya menjaga akses warga miskin terhadap tempat tinggal, tetapi juga membantu usaha kecil (usaha rumah tangga dan UMKM). Maklum, ada banyak rumah kontrakan yang berfungsi sekaligus sebagai tempat usaha.
Namun demikian, rent control tak bisa menjadi solusi permanen terhadap hak warga negara atas tempat tinggal. Dalam banyak kasus, rent control bisa meredupkan bisnis perumahan, sehingga berpengaruh pada jumlah pasokan.
Karena itu, ke depan Indonesia harus punya strategi perumahan nasional yang memberi peta jalan bagi pemenuhan hak rakyat atas tempat tinggal yang layak dan sehat.