Dom Helder Câmara, yang lahir pada 7 Februari 1909, merupakan salah satu pemuka agama yang selalu berpihak pada kaum miskin. Suaranya menggema membela demokrasi, kemanusiaan, dan keadilan sosial.
Câmara lahir dari keluarga kelas menengah di Fortaleza, Ceará. Dia belajar di sekolah Katolik dan kemudian seminari.
Pada usia yang masih sangat muda, ia sudah ditahbiskan sebagai imam. Namun, di masa-masa itu, dia condong pada politik dan ide-ide kanan yang fasistik. Dia bahkan sempat menjadi pendukung partai Aksi Integralis Brasil (AIB).
Saat itu dia menjadi penganut paham integralisme, yang menjadi pokok pikiran kaum fasis di Brasil. Mereka menganggap bangsa sebagai satu kesatuan yang organik dan eksklusif. Lucunya, kendati menyerukan persatuan multiras, tetapi mereka anti-Yahudi dan cenderung rasis.
Namun itu tak brrlangsung lama. Câmara mulai bersentuhan dan melayani kaum miskin. Dalam pelayanannya itulah dia melihat langsung jerit penderitaan rakyat jelata. Pelan-pelan ia menyadari relasi ekonomi dan politik yang menyebabkan rakyat menjadi miskin.
Dari pergulatannya bersama kaum papa, muncul kata-katanya yang terkenal: “Ketika aku memberi makanan kepada orang miskin, mereka menyebut aku orang suci. Ketika aku bertanya mengapa mereka miskin, mereka menyebut aku komunis.”
Dalam aktivitasnya dengan kaum miskin, Câmara menghidupkan “komunitas basis” melalui praktik keagamaan yang terhubung langsung dengan aktivitas sosial.
Tuhan bersemayam di gubuk kaum miskin
Dalam pelayanannya pada kaum miskin, Câmara banyak keluar-masuk perkampungan kumuh (favela). Ia melihat langsung kehidupan tak layak orang-orang dalam rumah sempit, yang ruang tamu, dapur, dan ruang tidur kadang menyatu sekaligus. Jalan-jalannya sempit, tak ada sanitasi memadai.
Hatinya tersentuh oleh nasib pahit orang-orang miskin di perkampungan kumuh. Di sisi lain, dia menyadari bahwa iman dan perintah Tuhan tak bisa mengelak dari pelayanan kepada si miskin dan ketidakadilan.
Persis seperti kata-kata Sukarno: “Orang tidak bisa mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin.”
Pada 1956, Brasil dipimpin oleh seorang politisi yang aktif mendorong pembangunan dan industrialisasi. Kebetulan, Câmara menjadi salah satu penasihat dari sang presiden. Ia pun mendorong agar program si presiden bisa menengok penderitaan dan kebutuhan kaum miskin.
Câmara mendorong banyak program perumahan untuk kaum miskin. Dia pun dijuluki “uskup kaum gubuk kumuh”.
Selain isu perumahan, dia juga bicara tentang pemberdayaan kaum miskin. Dia bicara tentang upah, sanitasi, pendidikan, program melek huruf, dan kesehatan bagi rakyat.
Dan, yang terpenting, dia adalah salah satu dari sedikit tokoh agama yang mendukung redistribusi sumber daya agraria agar berkeadilan. Dia setuju program presiden Brasil kala itu (1961-1964), João Goulart, yang aktif mendorong reforma agraria.
Pembela demokrasi
Pada 1964, sebuah kudeta militer berhasil menggulingkan pemerintahan demokratis João Goulart. Dalam hitungan jam, Brasil jatuh dalam masa kelam kediktatoran militer.
Empat hari setelah kudeta itu, Câmara ditunjuk sebagai Uskup Agung di Olinda dan Recife, daerah timur laut Brasil yang saat itu agak tertinggal dan banyak penduduk miskinnya.
Begitu tiba di Recife, hal pertama yang dilakukan Câmara adalah menjual mobil Cadillac yang menjadi fasilitas Uskup Agung. Dia memilih meminta tumpangan pada setiap orang ketika hendak bepergian atau melakukan tugas pelayanan.
Saat itu, rezim militer mulai menarget Recife dengan menangkapi aktivis kiri dan pro-demokrasi di sana. Menyikapi hal ini, Câmara mulai bersuara lantang. Suaranya terdengar keras membela hak-hak para tahanan politik yang dipersekusi rezim militer.
Kekejaman rezim militer menggiring banyak orang mengambil jalan radikal. Tak sedikit imam yang memilih jalan gerilya, seperti pendeta Camilo Torres di Kolombia yang memilih jalan gerilya. Hal itu juga terjadi pada Câmara dalam kadar yang berbeda. Ia tak lagi hanya bersuara keras, tapi juga mulai ikut menyusun kekuatan perlawanan di atas prinsip non-kekerasan.
Meski memilih jalan non-kekerasan, Câmara tetap menjadi target baru rezim militer. Dia berkali-kali mendapat ancaman pembunuhan. Kehadirannya di ruang publik kerap berhadapan dengan pembatasan. Tulisan-tulisannya dilarang tayang di media massa.
Saat mendapat kesempatan ke luar negeri, seperti ke Paris, dia langsung menggunakannya untuk mengabarkan pada dunia akan nasib kelam bangsanya di bawah kekejian rezim militer.
Ketika namanya masuk nominasi penerima penghargaan nobel, rezim militer di Brasil langsung menekan Norwegia untuk tak memberikannya pada Helder Câmara.
Tahun 1971, dia menulis “Spiral of Violence”, yang berbicara tentang alur kekerasan yang tampak hanya berputar-putar. Pertama, ketidakadilan struktural yang memiskinkan dan menindas rakyat. Kedua, rakyat kemudian merespons ketidakadilan itu dengan perlawanan, bahkan pemberontakan. Ketiga, negara kembali merespons perlawanan itu dengan represi lebih besar.
Pada 1980, Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Recife dan bertemu dengan Câmara. Dalam pertemuan yang ditayangkan oleh televisi itu, Paus bilang, “Orang ini adalah kawannya kaum miskin. Dia juga kawanku.”
Dia pensiun sebagai Uskup Agung pada 1985. Sejak itu hingga mengembuskan napas terakhirnya pada 27 Agustus 1999, dia tetap bersuara keras memprotes ketidakadilan dan ketimpangan sosial.