Jakarta dan sampah. Dua kata yang rasanya sulit dipisahkan. Setiap hari, ibu kota ini menghasilkan sekitar 8.000 ton sampah. Dari jumlah itu, sebagian besar diangkut ke TPST Bantar Gebang yang sudah kian sesak, sementara sisanya tercecer di jalan, sungai, atau bahkan bermuara di laut. Kota ini darurat sampah. Namun apakah ada jalan keluarnya?
Menjadi pemimpin baru di Jakarta, pasangan Pramono Anung dan Rano Karno (Pram-Doel) berhadapan dengan tantangan besar. Apa usulan yang perlu kita ulurkan ke mereka? Yuk, kita kupas!
Masalah sampah
Setiap kali hujan deras mengguyur, Jakarta seperti mendapat “serangan balik” dari sampahnya sendiri. Kali dan saluran air mampet, jalanan banjir, dan warga kebanjiran. Bukan hanya air tetapi juga plastik dan sisa makanan yang mengambang di mana-mana. Ini bukan sekadar masalah estetika, tetapi juga bencana lingkungan.
Menurut data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, dari total 8.000 ton sampah per hari, hanya sekitar 60 persen yang bisa dikelola dengan baik. Sisanya? Berakhir entah di mana. Padahal, kalau diolah dengan benar, sebagian besar sampah ini bisa didaur ulang atau dimanfaatkan untuk energi.
Tapi, kenapa sih sampah di Jakarta seperti lingkaran setan yang tak ada ujungnya?
Pertama, sebagian warga Jakarta masih terperangkap dalam mentalitas: buang, lupakan. Mereka menganggap sampah sebagai masalah pemerintah. Setelah dibuang ke tong sampah, urusan selesai. Padahal, tanpa pemilahan dari sumbernya, pengolahan sampah jadi lebih sulit.
Kedua, cara pandang penyelesaian urusan sampah di Jakarta masih terfokus ke hilir: tempat pembuangan akhir (TPA). Sangat sedikit pendekatan untuk mengurangi sampah di hulu.
Ketiga, minimnya infrastruktur daur ulang. Fasilitas pengolahan sampah di Jakarta masih minim. Bank sampah ada, tapi belum cukup banyak dan belum semua warga aktif memanfaatkannya.
Perlunya pengelolaan sampah berbasis warga
Meskipun ibu kota negara akan berpindah ke Kalimantan, Jakarta tetap akan berhadapan dengan persoalan urbanisasi. Jakarta masih menjadi magnet yang menarik impian banyak orang untuk mengubah nasibnya.
Lonjakan populasi berarti juga lonjakan sampah yang akan dihasilkan. Belum lagi, sebagai kota metropolitan terbesar di Indonesia, dengan aktivitas ekonomi dan bisnis yang berputar nyaris 24 jam, akan menambah beban sampah di Jakarta.
Di sisi lain, TPST Bantar Gebang sudah beroperasi sejak 1989 dan kini menampung tumpukan sampah 55 juta ton dengan ketinggian 40 meter, yang menjadi hilir penyelesaian urusan sampah di Jakarta, mulai kewalahan.
Sudah saatnya, pengelolaan sampah di Jakarta digencarkan di hulu. Dalam hal ini, pengelolaan sampah berbasis warga menjadi konsep yang relevan. Apalagi, ada 49 persen sampah yang ada di Jakarta adalah sampah makanan yang sebenarnya bisa dikelola di tingkat rumah tangga atau bidang usaha
Semasa kampanye, Pram-Doel banyak berbicara tentang penyelesaian persoalan Jakarta berbasis partisipasi warga. Dalam konteks ini, dalam benak saya, persoalan sampah pun bisa diselesaikan dengan pendekatan berbasis warga.
Pertama, memaksimalkan bank sampah di setiap RW. Saat ini baru sekitar 1.900 RW dari total 2.748 RW di Jakarta yang punya bank sampah. Bank sampah harus menjadi ujung tombak penanganan sampah berbasis warga. Karena itu, setiap RW harus punya bank sampah. Bank sampah ini akan jadi tempat warga menukar sampah plastik, kertas, dan barang anorganik lainnya dengan uang atau saldo belanja.
Kedua, insentif untuk warga yang rajin memilah sampah. Untuk membangkitkan partisipasi warga dalam mengurus sampah, bisa juga dimulai dengan pancingan insentif. Misalnya yang mulai dilakukan di banyak tempat: warga yang memilah sampah dari rumah bisa menukar sampahnya dengan token listrik.
Di Kolombia, pemerintah menggunakan mesin ECOBOT yang memberikan hadiah seperti kupon belanja atau tiket bioskop kepada warga yang mendaur ulang botol plastik. Ini mendorong budaya daur ulang dengan memberikan insentif langsung
Ketiga, pelatihan pembuatan kompos. Warga di setiap lingkungan Jakarta perlu dibekali pelatihan untuk mengubah sampah menjadi kompos. Dengan begitu, sampah dapur bisa diolah jadi pupuk kompos, bukan berakhir di TPS.
Keempat, memberdayakan pemulung lewat koperasi. Soal ini, kita perlu belajar dari Brasil. Negeri Samba ini menjadi pionir yang mengintegrasikan pemulung melalui koperasi ke dalam sistem pengelolaan sampah kota.
Para pemulung itu diintegrasikan dalam koperasi, memberi mereka pelatihan memilah sampah, bahkan mengintegrasikan mereka dalam pengelolaan sampah kota. Pada Piala Dunia 2014, koperasi pemulung Brasil mendapat kontrak untuk membersihkan stadion-stadion pasca pertandingan.
Pendekatan ini bisa diterapkan di Jakarta. Selain mengurangi persoalan sosial, seperti tunawisma dan pemukiman kumuh, pemberdayaan pemulung juga akan mengefektifkan pengelolaan sampah di Jakarta agar tak semuanya berakhir di TPA.
Selain itu, TPA Zero Waste perlu diperbanyak. Alih-alih hanya membuang sampah ke TPA, pemerintah Jakarta perlu memperbanyak fasilitas pemrosesan sampah yang bisa mengubah sampah jadi energi atau bahan bakar alternatif.
Bisakah Jakarta bebas sampah?
Mimpi Jakarta bebas sampah mungkin terdengar mustahil. Tapi dengan kombinasi edukasi warga dan pemanfaatan teknologi, bukan tidak mungkin Jakarta bisa mengurangi ketergantungannya pada Bantar Gebang dan mengelola sampah dengan lebih cerdas.
Yang jelas, kalau hanya mengandalkan pemerintah, masalah ini tidak akan selesai. Dibutuhkan peran aktif warga Jakarta untuk memilah, mengolah, dan mengurangi sampah dari sumbernya. Pram-Doel punya tantangan meletakkan penyelesaian sampah berbasis warga.
Apakah ini akan berhasil? Mari kita lihat dalam lima tahun ke depan.