Di tengah gemerlap kota-kota besar di Brasil, ada sekelompok pekerja yang jarang mendapat sorotan, namun perannya sangat vital. Mereka adalah para pemulung, orang-orang yang setiap hari, dalam panas maupun hujan, mengumpulkan, memilah, dan menjual sampah daur ulang.
Tanpa mereka, pengelolaan sampah di Brasil bisa berantakan. Jumlah mereka tak main-main, sekitar 800 ribu orang. Mereka bertanggung jawab atas lebih dari 90 persen dari seluruh sampah yang didaur ulang di negara ini. Tanpa mereka, Brasil bisa tenggelam dalam lautan sampah.
Sampah di Brasil: angkanya mencengangkan
Brasil menghasilkan sekitar 80 juta ton sampah setiap tahun. Dari jumlah ini, hanya 4 persen yang benar-benar masuk ke sistem daur ulang resmi. Sisanya, sebagian besar diolah oleh para pemulung. Mereka bekerja tanpa lelah, hujan atau panas terik, demi menyelamatkan lingkungan sekaligus mencari nafkah. Menurut laporan Institute for Applied Economic Research (IPEA), para pemulung mengumpulkan lebih dari 800 ribu ton material daur ulang setiap tahunnya.
Tak hanya berdampak pada lingkungan, kerja keras mereka juga menghemat anggaran negara. Menurut Asosiasi Perusahaan Kebersihan Publik dan Limbah Khusus Brasil (ABRELPE), aktivitas daur ulang yang dilakukan pemulung menghemat miliaran real dalam biaya pengelolaan sampah dan mengurangi emisi karbon dalam jumlah yang signifikan.

Pemberdayaan pemulung
Brasil merupakan negara pertama di dunia yang mengintegrasikan pemulung dalam sistem pengelolaan sampah kota. Sejak 2010, saat Kebijakan Nasional tentang Limbah Padat (PNRS) resmi diberlakukan, menjadikan Brasil sebagai negara pertama yang secara hukum mengakui peran pemulung dalam sistem pengelolaan sampah.
Ini bukan sekadar aturan di atas kertas—PNRS mewajibkan pemerintah kota untuk bekerja sama dengan koperasi pemulung dalam mengelola sampah daur ulang. Artinya, pemulung yang dulu hanya dianggap “tukang mengais sampah” kini bisa mendapatkan kontrak resmi sebagai penyedia layanan daur ulang. Regulasi ini juga melarang pembuangan sampah langsung ke tempat pembuangan akhir (TPA) tanpa pemrosesan, sehingga membuka lebih banyak peluang bagi pemulung untuk memilah dan mengolah sampah sebelum dibuang.
Peran koperasi pemulung dalam sistem ini krusial. Di bawah regulasi PNRS, pemerintah kota bisa membayar koperasi pemulung untuk jasa pengelolaan sampah daur ulang, memberikan mereka pemasukan yang lebih stabil dibanding hanya bergantung pada penjualan material daur ulang ke perantara. São Paulo, misalnya, memiliki lebih dari 25 koperasi resmi yang bekerja sama dengan pemerintah kota untuk memilah sampah dari ribuan rumah tangga. Belo Horizonte bahkan menyediakan fasilitas pengolahan sampah khusus bagi koperasi, termasuk gudang dan alat-alat pemrosesan, sehingga pemulung tak perlu bekerja di jalanan yang penuh risiko.
Tak berhenti di situ, pemerintah Brasil juga memberi berbagai insentif untuk mendukung koperasi pemulung. Salah satunya adalah program kredit mikro dan hibah peralatan untuk koperasi yang ingin meningkatkan kapasitasnya. Dengan dana ini, koperasi bisa membeli mesin pencacah plastik, alat pemadat kardus, atau kendaraan pengangkut sendiri, tanpa harus bergantung pada tengkulak yang sering memberi harga rendah. Ada juga program pelatihan dan sertifikasi bagi pemulung, agar mereka bisa lebih profesional dalam mengelola koperasi dan menegosiasikan harga jual sampah daur ulang. Dengan begitu, koperasi tidak hanya jadi tempat kerja, tapi juga pusat pemberdayaan ekonomi bagi pemulung.

Keuntungan bergabung dengan koperasi juga terlihat dari sisi kesejahteraan pekerja. Pemulung dalam koperasi lebih terlindungi dari dampak cuaca ekstrem, seperti gelombang panas atau banjir, karena mereka bisa menyimpan material daur ulang di fasilitas yang lebih aman dibanding harus menumpuknya di pinggir jalan. Laporan Wiego menunjukkan bahwa pemulung yang tergabung dalam koperasi lebih siap menghadapi bencana lingkungan dibanding mereka yang bekerja secara individu. Selain itu, koperasi juga sering kali memberikan akses ke layanan kesehatan, bantuan sosial, bahkan beasiswa untuk anak-anak pemulung.
Dengan kombinasi regulasi yang kuat dan peran koperasi yang terus berkembang, Brasil telah menunjukkan bahwa pemulung bukan sekadar pencari nafkah dari sampah, tapi bagian dari solusi dalam mengatasi krisis lingkungan dan sosial. Model ini tidak hanya menguntungkan pemulung, tapi juga menghemat anggaran kota, mengurangi sampah di TPA, dan menekan emisi karbon. Jika dunia ingin mencari contoh sukses tentang pemberdayaan pemulung, Brasil adalah jawabannya.
Piala Dunia 2014: pemulung jadi pahlawan di luar lapangan
Saat dunia terfokus pada Neymar dan kawan-kawan di Piala Dunia 2014, ada tim lain yang bekerja keras di balik layar—bukan di stadion, tapi di tempat sampah. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pemulung di Brasil resmi menjadi bagian dari ajang sepak bola terbesar ini. Bukan sebagai penonton, tapi sebagai pekerja yang diberdayakan dalam sistem pengelolaan sampah stadion.

Pemerintah Brasil dan FIFA menggandeng Movimento Nacional dos Catadores de Materiais Recicláveis (MNCR), organisasi nasional pemulung, untuk menangani limbah di stadion dan zona penggemar di seluruh negeri. Lebih dari 800 pemulung dari berbagai kota dipilih untuk bekerja di stadion-stadion besar, termasuk Maracanã di Rio de Janeiro dan Arena Corinthians di São Paulo. Mereka tidak hanya mengumpulkan sampah, tetapi juga memilah material daur ulang, memastikan botol plastik, kaleng aluminium, dan kertas tidak terbuang percuma ke TPA.
Yang membuat program ini istimewa adalah pemulung akhirnya dibayar dengan upah layak dan mendapatkan fasilitas kerja yang lebih manusiawi. Jika biasanya mereka harus mengais sampah di jalan tanpa perlindungan, kali ini mereka diberikan seragam resmi, perlengkapan keselamatan, serta akses ke fasilitas sanitasi yang layak. Mereka juga menerima pelatihan pengelolaan limbah sebelum turnamen dimulai, agar bisa bekerja lebih efisien dan memastikan daur ulang berjalan maksimal.
Hasilnya luar biasa. Menurut laporan MNCR, selama Piala Dunia 2014, pemulung berhasil mengumpulkan lebih dari 2.500 ton material daur ulang, jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan event-event sebelumnya. Ini bukan hanya mengurangi sampah di stadion, tapi juga memberikan pendapatan tambahan bagi pemulung yang selama ini sering dipinggirkan. Beberapa pemulung bahkan mengaku pendapatan mereka selama sebulan di Piala Dunia setara dengan tiga bulan kerja biasa.
Kesuksesan ini membuktikan bahwa ketika pemulung diberi akses, pelatihan, dan pengakuan, mereka bisa menjadi bagian penting dari sistem pengelolaan limbah kota. Piala Dunia 2014 bukan hanya ajang sepak bola, tapi juga panggung bagi pemulung untuk menunjukkan bahwa pekerjaan mereka punya nilai besar—bukan hanya bagi lingkungan, tapi juga bagi ekonomi sirkular yang lebih berkelanjutan.