Bukan rahasia lagi perusahaan menahan ijazah pekerja secara sepihak atau menjadi bagian dari perjanjian kerja di Indonesia. Sejak zaman Orde Baru hingga sekarang praktik ini lazim dilakukan di sebagian perusahaan. Sepanjang pengalaman saya mengadvokasi buruh, aksi menahan ijazah sering dilakukan oleh perusahaan yang tidak memenuhi syarat-syarat ketenagakerjaan.
Alih-alih memenuhi aturan, manajemen lebih memilih mengontrol buruh dengan menahan ijazahnya sebagai jaminan. Selain ijazah, ada pula yang menahan sebagian upah sebagai jaminan agar pekerja tak bertindak di luar kemauan pengusaha. Bahkan tak sedikit pula perusahaan yang memasukan klausul ini dalam perjanjian kerja.
Belakangan viral kasus penahanan ijazah di beberapa tempat, hingga mengundang reaksi publik dan pejabat terkait. Sampai-sampai Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer turun tangan hingga menyulut kontroversi lantaran sikapnya yang dinilai terlalu arogan. Ini adalah fenomena gunung es yang mencerminkan sejumlah masalah struktural dan sistematis dalam dunia ketenagakerjaan dan hubungan industrial.
Pertama, praktik menahan ijazah menunjukkan kurangnya kepercayaan perusahaan terhadap pekerja, yang mungkin dipicu oleh pengalaman pelanggaran kontrak atau turnover yang tinggi. Namun, ini juga mencerminkan pendekatan manajemen yang otoriter, di mana perusahaan menggunakan ijazah sebagai alat untuk memaksa kepatuhan pekerja. Hal ini menunjukkan hubungan industrial yang tidak seimbang, karena pekerja berada dalam posisi lemah secara hukum dan ekonomi.
Kedua, menahan ijazah pekerja melanggar regulasi ketenagakerjaan, khususnya prinsip perlindungan hak pekerja. Dari perspektif hukum pidana, hal ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum, khususnya terkait dengan hak kepemilikan dan kebebasan individu.
Ijazah adalah dokumen pribadi yang tidak boleh digunakan sebagai jaminan dalam hubungan kerja. Praktik ini menunjukkan lemahnya penegakan hukum ketenagakerjaan di Indonesia, baik karena kurangnya pengawasan dari pemerintah maupun rendahnya kesadaran hukum di kalangan pekerja dan pengusaha.
Ketiga, adanya ketimpangan dalam hubungan industrial. Praktik ini menegaskan adanya ketimpangan kekuasaan antara pekerja dan perusahaan. Pekerja, terutama yang baru masuk dunia kerja atau berada dalam kondisi ekonomi rentan, sering kali tidak memiliki daya tawar untuk menolak praktik ini. Ijazah yang ditahan menjadi alat pemaksa agar pekerja tetap bekerja dalam kondisi yang mungkin tidak ideal, seperti upah rendah, jam kerja berlebihan, atau lingkungan kerja yang tidak sehat.
Keempat, lemahnya peran negara dalam pengawasan ketenagakerjaan. Pemerintah, melalui Kementerian Ketenagakerjaan dan Dinas Ketenagakerjaan, memiliki fungsi pengawasan untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi ketenagakerjaan. Namun, maraknya praktik menahan ijazah menunjukkan bahwa pengawasan ini tidak efektif. Faktor seperti keterbatasan sumber daya, korupsi, atau kurangnya koordinasi antarlembaga dapat menjadi penyebabnya. Selain itu, rendahnya sanksi bagi pelaku pelanggaran membuat perusahaan tidak merasa jera sehingga terus berulang.
Kelima, keterbatasan lapangan kerja dan lemahnya daya tawar pekerja. Tingginya angka pengangguran dan terbatasnya lapangan kerja formal di Indonesia memperburuk situasi. Banyak pekerja, terutama lulusan baru, terpaksa menerima syarat kerja yang tidak adil, termasuk penahanan ijazah, karena takut kehilangan peluang kerja. Ini menunjukkan kompleksitas struktural dalam penyediaan lapangan kerja yang berkualitas, yang menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengatasinya melalui kebijakan ekonomi dan ketenagakerjaan yang inklusif.
Penahanan ijazah tidak hanya melanggar hak pekerja, tetapi juga berdampak pada kesejahteraan psikologis mereka. Pekerja yang ijazahnya ditahan merasa terjebak, kehilangan kebebasan untuk mencari peluang kerja lain, dan mengalami tekanan psikologis karena ketidakpastian. Hal ini memperburuk kualitas hubungan kerja dan produktivitas secara keseluruhan.
Praktik menahan ijazah pekerja mencerminkan masalah kompleks dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia, termasuk ketidakpercayaan perusahaan, pelanggaran regulasi, ketimpangan kekuasaan, lemahnya pengawasan pemerintah, dan terbatasnya lapangan kerja.
Untuk mengatasi fenomena ini, diperlukan langkah konkret seperti penguatan pengawasan ketenagakerjaan, peningkatan literasi hukum bagi pekerja, sanksi tegas bagi perusahaan pelaku, dan kebijakan ekonomi yang mendorong penciptaan lapangan kerja yang luas berkualitas.
Selain itu, dibutuhkan regulasi yang dapat memayungi dan memastikan hubungan industrial dipahami dan dapat dipraktikan oleh perusahaan dan pekerjanya dalam hubungan kerja serta pemerintah sebagai regulator.
Pembentukan sebuah Komisi Nasional Hubungan Industrial (KNHI) dapat menjadi solusi sistematis, agar semua aturan hubungan industrial, termasuk di dalamnya aturan ketenagakerjaan, dapat dipastikan berjalan dengan baik. Komisi ini memiliki fungsi penguatan dan memastikan implementasi regulasi, pencegahan, pembinaan/pemberdayaan, pengawasan serta penindakan terhadap pelanggaran.
Tanpa intervensi secara sistematis, praktik ini akan terus merugikan pekerja dan menghambat pembangunan hubungan industrial dan dunia kerja yang adil dan manusiawi.