Flexing, Ketimpangan Ekonomi, dan Pentingnya Pajak Kekayaan

Mario Dandy (Detik Oto)

FLEXING alias pamer kekayaan menjadi fenomena baru sejak era media sosial. Terbaru, flexing yang dilakukan oleh Mario Dandy Satrio, yang terlibat kasus penganiayaan pada 20 Februari 2023 lalu.

Anak pejabat di Direktorat Jenderal Pajak itu suka flexing di media sosialnya. Ia kerap memamerkan mobil hingga sepeda motor mewah, seperti Rubicon dan Harley Davidson.

Ada dua hal yang mencuat belakangan. Pertama, tidak semua barang mewah itu terlaporkan di LHKPN. Kedua, beberapa barang mewah yang dipamerkan Dandy, seperti Jeep Rubicon, terindikasi menunggak pembayaran pajak.

Ini yang bikin geli. Tidak sedikit orang kaya yang suka flexing, tetapi kontribusi pajak mereka sangat minimal.

Kontribusi pajak orang kaya

Dari tahun ke tahun, jumlah orang kaya Indonesia terus meningkat. Bahkan, ketika situasi ekonomi dunia dibuat muram oleh pandemi, jumlah orang kaya Indonesia tetap meningkat.

Dalam laporan The Wealth Report 2022 yang dipublikasikan Knight Frank per 1 Maret 2022, jumlah orang super-kaya Indonesia (ultra high net worth individuals/UNWHI) dengan kekayaan bersih 30 juta dollar AS (Rp 458 miliar, kurs 15.000/dollar AS) mencapai 1.403 orang pada 2021. Jumlah ini meningkat 1 persen dari 1.390 pada 2020.

Dari laporan itu juga diprediksi, jumlah orang kaya Indonesia (High Net Worth Individuals/HNWI) dengan kekayaan di atas 1 juta dollar AS (Rp 15 miliar, kurs: 15.000/dollar AS) akan meningkat sebesar 63 persen sepanjang 2021 hingga 2026. Ironisnya, kontribusi pajak orang kaya masih sangat minimal.

Berdasarkan laporan DJP tahun 2021, kontribusi PPh Orang Pribadi (OP) non-karyawan hanya berkontribusi 0,7 persen atau sekitar Rp 10,77 triliun dari total realisasi penerimaan pajak yang senilai Rp 1.448,2 triliun. Kontribusi tersebut kalah jauh dari kontribusi PPh orang pribadi kelompok karyawan (PPh 21) yang mencapai 9,9 persen atau sekitar Rp 143,8 triliun dari total penerimaan pajak.

Bahaya ketimpangan ekonomi

Di sisi lain, negara ini sedang berhadap-hadapan dengan ketimpangan ekonomi yang cukup lebar. Data World Inequality Report (WIR) 2022 menunjukkan, sebanyak 50 persen masyarakat lapisan bawah punya pendapatan rata-rata Rp 22,6 juta per tahun (Rp 1,9 juta per bulan). Sementara 10 persen masyarakat lapisan atas pendapatannya rata-rata Rp 285 juta per tahun (Rp 23,7 juta per bulan).

Lebih lanjut, dalam 100 tahun terakhir, 10 persen masyarakat terkaya menguasai 40–50 persen pendapatan nasional. Sebaliknya, 50 persen ekonomi terbawah hanya menguasai 12–18 persen dari total pendapatan nasional.

Tentu saja, ketimpangan ekonomi bukan sekadar soal merenggangnya jarak sosial dan kehidupan antarwarga negara. Bukan sekedar perbedaan nasib dan peluang hidup. Bukan sekedar rumah mewah yang dikurung tembok tinggi versus rumah-rumah kumuh yang berdempetan.

Lebih dari itu, ketimpangan ekonomi juga memupuk kekecewaan, ketidakpuasan, dan kebencian. Ketimpangan menciptakan ketegangan sosial, yang jika tak terselesaikan dengan baik, bisa berubah menjadi letupan sosial.

Flexing atau pamer harta di tengah ketimpangan seperti menyiram bensin ke dalam kobaran api. Itu hanya memancing amarah mereka yang hidup di bagian terbawah piramida ekonomi.

Presiden Joko Widodo sebetulnya sangat menyadari ini. “Saya ingatkan masalah gaya hidup, lifestyle, jangan sampai dalam situasi yang sulit ada letupan-letupan sosial karena ada kecemburuan sosial ekonomi, kecemburuan sosial ekonomi, hati-hati,” kata Jokowi saat memberikan arahan kepada pejabat Polri di Istana Negara, Jakarta, Jumat (14/10/2022).

Pentingnya pajak kekayaan

Demi memangkas jarak ketimpangan, sekaligus menaikkan penerimaan negara dari pajak, pajak kekayaan bisa menjadi salah satu solusinya. Pajak kekayaan bisa menjadi instrumen untuk mendorong redistribusi kekayaan dan mengurangi ketimpangan.

Selain itu, pajak kekayaan bisa bisa menutupi lubang fiskal negara yang tergerus oleh krisis akibat covid-19 dan lesunya ekonomi global. Ini bukanlah ide yang radikal. Dua lembaga yang dianggap kampiun kapitalisme global, Bank Dunia dan IMF, ikut mendengungkan perlunya pajak kekayaan saat ini.

Tak sedikit ekonom juga yang menyokong ide progresif ini. Bahkan, di dunia ada ratusan miliarder yang menyebut diri “Millionaires for Humanity” mendukung perlunya pajak kekayaan sekarang ini.

Di Indonesia, pajak kekayaan bisa diterapkan lewat dua pilihan. Pertama, pajak sebesar 1–2 persen untuk orang kaya dengan kekayaan bersih di atas 5 juta dollar AS (sekitar 76 miliar, kurs Rp 15.000/dollar AS) atau The very-high-net-worth individual (VHNWI). Kedua, pajak sebesar 2–3 persen untuk orang super kaya (UNWH) yang kekayaannya di atas 30 juta dollar AS (Rp 458 miliar, kurs 15.000/dollar AS).

Tentu saja, pajak kekayaan bukan tanpa tantangan. Pajak kekayaan mensyaratkan sistem perpajakan yang bersih dan transparan. Selain itu, jika tak hati-hati, pajak kekayaan juga bisa memicu penghindaran pajak dan pelarian modal (capital flight).


Artikel ini sebelumnya sudah tayang di kolom Kompas.com, dengan tautan: https://money.kompas.com/read/2023/02/28/142917126/flexing-ketimpangan-ekonomi-dan-pentingnya-pajak-kekayaa

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Politisi Termuda dalam Sejarah Politik Indonesia

Politisi Termuda dalam Sejarah Politik Indonesia

Wajah politik Indonesia makin menua

Next
“Perempuan Lebih Sadis”: Langgengnya Stereotip Bias Gender Elit Politik

“Perempuan Lebih Sadis”: Langgengnya Stereotip Bias Gender Elit Politik

Indonesia, negeri yang belum terbebas dari sisa-sisa feodalisme, anggapan sosial

You May Also Like
Total
0
Share