Istilah “penyakit Belanda” atau “Dutch Disease” pertama sekali muncul di majalah The Economist, pada edisi 26 November 1977.
Istilah ini merujuk pertumbuhan pesat pada sektor ekonomi tertentu (booming export sector)―biasanya sektor ekstraktif, yang berdampak pada pelemahan sektor yang lain (lagging export sector).
Istilah itu merujuk pada situasi ekonomi yang menjangkiti ekonomi Belanda pada 1970-an setelah penemuan cadangan gas terbesar di negeri itu.
Kisah Belanda
Pada 1959, Belanda menemukan cadangan gas di Groningen. Cadangan gas tersebut merupakan yang terbesar di Eropa dan masuk 10 terbesar di dunia.
Seperti berkah sumber daya alam pada umumnya, Belanda langsung mendapat rezeki nomplok. Nilai ekspornya meroket. Pada 1965, PDB Belanda tumbuh sebesar 8, 64 persen, tertinggi dalam sejarah Negeri Kincir Angin.
Berkah minyak itu membawa beberapa dampak.
Pertama, lonjakan ekspor gas menggiring masuk mata uang asing dalam skala besar, yang menyebabkan permintaan atas gulden meningkat pesat. Akibatnya, gulden menguat atas mata uang asing lainnya.
Kedua, penguatan gulden berdampak pada ekspor non-gas, terutama manufaktur dan pertanian, lebih mahal dan tidak kompetitif. Sektor manufaktur dan pertanian Belanda pun melemah. Selain itu, karena mata uang asing lebih murah, impor juga meningkat pesat.
Ketiga, sumber daya (modal dan tenaga kerja) akan bergeser dari lagging sector (manufaktur dan pertanian) ke booming sector (ekstraktif/gas). Akibatnya, lagging sector melambat. Ini yang disebut efek pergeseran sumber daya (resource movement effect).
Keempat, sektor ekstraktif, termasuk gas, merupakan bisnis padat modal, tetapi penyerapan tenaga kerjanya lebih kecil. Akibatnya, booming sektor ekstraktif tidak banyak berdampak pada penyerapan tenaga kerja.
Bahaya penyakit Belanda
Penyakit Belanda memang menjanjikan berkah ekonomi jangka pendek, tetapi akan membawa kerusakan struktural yang sifatnya jangka panjang dan tak mudah disembuhkan.
Venezuela mewakili kisah pedih penyakit Belanda ini. Sejak awal abad ke-20, Venezuela sudah menjelma sebagai raksasa minyak dunia. Booming minyak menarik modal dan tenaga kerja ke sektor minyak. Sektor manufaktur dan pertanian tertinggal.
Hampir 90 penerimaan Venezuela disumbang oleh minyak. Minyak juga menarik 90 persen populasi untuk tinggal di kota. Hampir semua kebutuhan rakyatnya didapatkan lewat impor.
Masalah muncul ketika harga minyak dunia anjlok. Penerimaan negara seret, sementara hampir semua kebutuhan hidup diimpor dari luar negeri.
Secara umum, ada beberapa bahaya jangka panjang dari penyakit Belanda.
Pertama, pelemahan sektor manufaktur yang bisa menyebabkan deindustrialisasi dini (premature deindustrialization). Padahal, industrialisasi menjadi motor terpenting bagi sebuah negara untuk memacu kemajuan ekonomi.
Gejala deindustrialisasi itu memicu pengangguran dan membengkaknya sektor informal.
Kedua, ketergantungan terhadap impor sebagai konsekuensi dari rendahnya mata uang asing, deindustrialisasi, dan melemahnya sektor pertanian.
Ketiga, penerimaan negara bergantung pada volatilitas harga komoditas di pasar dunia.
Keempat, terperangkap dalam jebakan “ekstraktivisme”, yaitu ekonomi yang bergantung pada sektor ekstraktif, yang minim nilai tambah, berpotensi merusak lingkungan, rent-seeking, korupsi dan kapitalisme kroni, mengabaikan pengembangan SDM, dan lain-lain.
Bagaimana dengan Indonesia?
Sebagai negara yang kaya sumber daya alam, Indonesia pernah berkali-kali menikmati rezeki nomplok dari booming komoditas (commodity boom): minyak bumi (1970-an), kayu (1980-an), minerba dan sawit (2000-an).
Sayang sekali, selain menyuburkan korupsi, Indonesia merasa nyaman menikmati lonjakan pertumbuhan ekonomi melalui ekspor komoditas. Ironisnya, hanya segelintir oligarki yang menikmati booming komoditas itu.
Sampai hari ini, Indonesia belum terbebas dari ketergantungan terhadap ekspor SDA. Hingga 2023, dari 10 produk ekspor unggulan Indonesia, penyumbang terbesarnya masih dari sektor ekstraktif: batubara, minyak kelapa sawit, dan karet.
Di sisi lain, negara ini mengidap gejala dini deindustrialisasi. Merujuk data BPS, sejak 2010 kontribusi industri manufaktur konsisten menurun, dari 22,4 persen (2010) menjadi 18,34 persen (2022).
Menariknya, ada irisan antara booming komoditas (2000-2014) dan penurunan industri manufaktur. Saat terjadi booming komoditas, pertumbuhan sektor industri cenderung melambat. Secara teoritik, Indonesia dalam bayang-bayang terjangkit penyakit Belanda.
Jalan keluar
Tentu kita harus menghindar dari jebakan penyakit Belanda. Ada beberapa jalan keluar yang bisa ditempuh.
Pertama, diversifikasi ekonomi. Ini bisa dimulai dengan mengalihkan keuntungan dari booming sector untuk mendukung sektor ekonomi yang tertinggal maupun baru. Selain itu, perlu dipikirkan subsidi dan proteksi untuk sektor-sektor yang tertinggal.
Kedua, hilirisasi dan reindustrialisasi. Sudah saatnya menghentikan total kebiasaan ekspor sumber daya alam dalam bentuk mentah lewat kebijakan hilirisasi. Selain untuk nilai tambah, hilirisasi diletakkan untuk mendukung industrialisasi di dalam negeri.
Ketiga, memperbanyak investasi untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM). Keuntungan dari booming sector diinvestasikan untuk pengembangan sumber daya manusia, terutama pendidikan dan kesehatan, demi memajukan tenaga produktif sekaligus memajukan inovasi teknologi.