Begitu mendengar kata “terpimpin”, banyak orang langsung mengerutkan kening. Ada kesan kaku, otoriter, dan negara serba ikut campur. Yang dibayangkan adalah statisme: negara mengurusi semuanya.
Apalagi, ingatan kita masih terdistorsi dalam melihat sejarah penerapan demokrasi terpimpin pada 1959 hingga 1965: inflasi hingga 600 persen, devaluasi mata uang, sembako tak terbeli, dan cadangan devisa yang menipis.
Seolah-olah kata “terpimpin” sinonim “sentralisasi”. Jadinya, bila mendengar kata tersebut, imajinasi kita langsung mengarah ke otoritarianisme.
Untuk diketahui, kata “terpimpin” bukan hanya khas istilah politik, namun juga diadopsi dalam lapangan ekonomi. Namanya ekonomi terpimpin. Istilah ini pernah populer pada 1960-an.
Mohammad Hatta, bapak bangsa yang mengusung konsep demokrasi ekonomi (pasal 33 UUD 1945), pernah mengulas konsep ini panjang lebar pada 1959. Kuliah-kuliahnya tentang ekonomi terpimpin dikumpulkan dalam risalah berjudul Ekonomi Terpimpin.

Antitesa dari laissez-faire
Bung Hatta meletakkan ekonomi terpimpin sebagai antitesa terhadap ekonomi liberal dengan mantranya laissez-faire (biarkan berjalan sendiri). Gagasan laissez-faire, yang berkembang sejak abad ke-18, menganggap ekonomi yang berjalan bebas, tanpa campur tangan negara, akan lebih efisien dan mendatangkan kemakmuran.
Hatta berada di barisan yang tidak setuju dengan dalil itu. Menurutnya, jika ekonomi dibiarkan berjalan bebas dan mekanisme pasar bekerja sendiri, maka itu sama saja membiarkan yang kuat memangsa yang lemah.
“Membiarkan perekonomian berjalan menurut apa yang dikatakan permainan merdeka (bebas) dari tenaga-tenaga masyarakat, berarti membiarkan yang lemah menjadi makanan empuk dari yang kuat,” katanya.
Menurut Bung Hatta, ekonomi liberal meletakkan nasib rakyat di tangan orang-seorang (para kapitalis) yang menjadi “juru-mudi” dalam segala tindakan ekonomi. Akibatnya, ekonomi liberal hanya membawa kemerdekaan dan kemakmuran bagi satu golongan kecil saja, yakni kaum kapitalis. “Kepentingan Orang-seorang didahulukan dari masyarakat,” jelasnya.
Dia menegaskan, persaingan bebas bisa saja memberi manfaat, asalkan semua subjek punya kedudukan dan kemampuan yang sama: sama-sama cerdik, sama-sama punya kepandaian, tak ada kesenjangan teknologi, dan memiliki sumber daya yang sama.
Kenyataannya, masyarakat kapitalis terbelah dalam kelas-kelas, antara pemilik alat produksi dan mereka yang tidak punya akses terhadap alat produksi. Mereka yang menguasai alat produksi mengontrol segalanya: dari produksi material untuk pemenuhan kebutuhan manusia hingga produksi gagasan. Sementara yang tidak punya akses terhadap alat produksi dipaksa menjual tenaga kerja untuk bisa mendapatkan upah agar tetap bertahan hidup.

Begitu juga dalam konteks negara bangsa. Perkembangan kapitalisme di setiap negara tidaklah sama. Selain itu, warisan kolonialisme dan imperialisme membuat negara bangsa terbelah antara negara maju (Utara) dan negara berkembang (Selatan). Akibatnya, ketika perdagangan bebas diberlakukan, ada negara yang tampil sebagai pemenang dan lainnya sebagai pecundang.
Pasar bebas kedengarannya adil—semua orang bebas bersaing. Tapi dalam praktiknya, hanya mereka yang sudah punya modal dan akses yang bisa menang. Yang miskin? Disuruh berjuang lebih keras, padahal awalnya saja sudah tertinggal jauh. Hatta melihat langsung bagaimana sistem ini bekerja kejam saat krisis malaise melanda Hindia Belanda. Harga jatuh, panen tak laku, dan petani dibiarkan terjerembap.
Bung Hatta bukan satu-satunya yang alergi terhadap kapitalisme. Hampir seluruh arus besar gerakan kebangsaan waktu itu anti-kapitalis. Boedi Oetomo menyebut kapitalisme sebagai “tanaman asing yang tak cocok tumbuh di Indonesia”. Tjokroaminoto menyebutnya “kapitalisme murtad”. Semua sepakat, sistem ekonomi warisan kolonial ini harus ditinggalkan.
Esensi ekonomi terpimpin
Berbeda dengan laissez-faire, ekonomi terpimpin justru menganggap penting campur tangan negara untuk mengatur dan mengarahkan ekonomi, sehingga setiap warga negara memperoleh manfaat yang sama. Ekonomi terpimpin meletakkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi.
Konsep ekonomi terpimpin sendiri sangat beragam, tergantung dari spektrum ideologi di belakangnya, seperti sosialisme, komunisme, sosial-demokrasi, solidarisme (Kristen Demokrat), ekonomi kesejahteraan (welfare economics), Keynesian, dan lain-lain.
Namun demikian, kata Bung Hatta, meskipun tampaknya beragam berdasarkan basis ideologinya, konsep ekonomi terpimpin punya dua nilai umum. Pertama, penolakan terhadap individualisme; dan kedua, memberikan tempat teristimewa kepada pemerintah untuk mengatur dan memimpin dalam perekonomian.
Hatta membeberkan beberapa tujuan terpenting dari ekonomi terpimpin, yaitu: satu, menciptakan kesempatan kerja penuh (full employment), sehingga rakyat terbebaskan dari pengangguran; dua, standar hidup yang lebih baik; tiga, mengurangi ketimpangan ekonomi; dan empat, keadilan sosial.
Menariknya, meskipun menyokong ekonomi terpimpin, Hatta tidak setuju dengan model ekonomi komunis. Menurutnya, komunisme terlalu “pure collectivism” atau kolektivisme murni. Alhasil, komunisme tidak memberi tempat kepada kepemilikan dan inisiatif pribadi. Selain itu, kata Hatta, komunisme menyerahkan seluruh keputusan dan rencana ekonomi secara terpusat di pimpinan tertinggi. Model ekonomi komunistik juga mematikan inisiatif pribadi. “Rakyat tidak lagi berekonomi, melainkan mengerjakan ekonomi menurut perintah dan disiplin,” jelasnya.
Namun, Hatta mengakui, model ekonomi komunistik, yakni sistim ekonomi berencana, lebih kebal terhadap krisis. Penyebabnya, dalam sistem ekonomi berencana, proses produksi disesuaikan dengan tingkat kebutuhan atau konsumsi rakyat. Jadinya, sistem ekonomi berencana tidak mengenal krisis “over produksi”. Selain itu, karena disusun berdasarkan perencanaan yang matang dan sistematis, pemanfaatan sumber daya juga bisa efektif dan tidak boros.
Bagi Hatta, konsep ekonomi terpimpin tetap harus bekerja di bawah logika ekonomi “mengejar hasil yang sebesar-besarnya dengan tenaga atau sumber daya yang sekecil-kecilnya.” Karena itulah ekonomi terpimpin ala Hatta juga berbicara mengenai efisiensi dan efektivitas. Produksi harus dijalankan dengan seefisien mungkin tanpa menghisap kaum buruh. Penggunaan kapital harus efektif dan terencana. Pembelian dan penggunaan barang/bahan baku juga harus secara rasional.

Dalam konteks pengelolaan perusahaan negara, Bung Hatta mengusung profesionalisme, yakni menyerahkan manajemen kepada orang-orang yang ahli atau terampil. Jadi, kalau hari ini masih hidup, Hatta tidak akan merelakan BUMN menjadi tempat penampungan orang-orang partai politik dan relawan politik pendukung pemerintah.
Hatta tidak menutup ruang untuk sektor swasta. Tapi, swasta harus berjalan seiring dengan rencana nasional. Tak boleh ada swasta yang melenggang sendirian, apalagi merampok sumber daya dan menyetir kebijakan demi profit. Kalau swasta bisa ikut menyejahterakan rakyat, silakan. Tapi begitu mulai merusak tatanan, negara wajib turun tangan.
BUMN, koperasi, dan unit usaha rakyat harus jadi tulang punggung ekonomi nasional. Tapi, agar tidak jadi sarang korupsi dan kolusi, BUMN harus dikelola oleh profesional yang ahli dan jujur. Ini bukan ruang bagi “orang dekat kekuasaan”, tapi untuk mereka yang kompeten dan punya integritas.
Ekonomi terpimpin bukan ide liar. Justru konstitusi kita sudah menegaskan hal ini sejak awal. Pasal 33 UUD 1945 adalah penegas paling terang: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.” Kata kuncinya: “disusun”—artinya direncanakan, dipimpin, diarahkan. Bukan dibiarkan liar.
Pasal ini juga menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting dan strategis harus dikuasai negara. Air, listrik, tanah, dan tambang bukan komoditas untuk dijual ke pasar, melainkan hak dasar rakyat yang harus dikelola demi kesejahteraan bersama.
Empat prinsip utama ekonomi terpimpin terangkum di sini: anti-kapitalisme dan anti-individualisme, peran aktif negara, kepemilikan sosial atas alat produksi, dan orientasi pada kesejahteraan rakyat, bukan laba semata.
Kini, saat ketimpangan makin lebar, dan pasar bebas malah memperparah krisis demi krisis, ide ekonomi terpimpin pantas dibaca ulang. Bukan sebagai warisan masa lalu yang ketinggalan zaman, tapi sebagai tawaran alternatif yang masuk akal dan relevan. Tentu saja, konsep ini perlu diletakkan dengan konteks sekarang: kemajuan teknologi, dorongan untuk demokrasi partisipatif, dan keterbukaan.