Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) mengecam keras rencana pengemudi ojek online (ojol) dilarang menggunakan BBM bersubsidi. Hal ini akan semakin memberatkan pengemudi ojol yang saat ini pendapatannya tidak pasti karena statusnya sebagai mitra. Kondisi ini juga tidak hanya menimpa ojol tapi juga pekerja platform lainnya seperti taksi online (taksol) dan kurir.
Saat ini platform yang beroperasi di Indonesia, antara lain Gojek, Grab, Maxim, Shopee Food, Lalamove, InDrive, Borzo, dan lainnya masih menggunakan hubungan kemitraan untuk mengelak memberikan hak-hak pekerja yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, seperti upah minimum layak, upah lembur, THR, delapan jam kerja, cuti haid dan melahirkan, jaminan sosial serta pesangon.
Pencabutan subsidi sudah pasti membebani para pengemudi, karena akan makin mengeluarkan banyak uang untuk membeli BBM setiap harinya. Biaya BBM bagi ojol dan kurir rata-rata per hari menghabiskan Rp 30-Rp 40 ribu. Sementara taksol mencapaai Rp 150 ribu per hari. Pendapatan bersih kami rata-rata hanya Rp 50-Rp 100 ribu, untuk roda dua maupun roda empat.
Pencabutan subsidi ini semakin memberatkan karena pengemudi sudah menanggung banyak biaya operasional seperti biaya parkir, suku cadang, servis kendaraan, biaya pulsa, paket data, cicilan kendaraan, cicilan atribut (helm, jaket, tas) dan biaya lainnya.
Selain itu potongan platform juga sangat memberatkan, sebesar 25-70 persen. Praktik ini jelas melanggar ketentuan pemerintah yang mengatur potongan platform maksimal 20 persen.
Belum lagi adanya potongan pinjaman online yang ditawarkan platform melalui aplikasi pengemudi. Sehingga setiap harinya pengemudi harus menambah jam kerja, bahkan hingga 24 jam untuk bisa membayar utang.
Selain itu karena kondisi ekonomi juga sedang menurun, maka pengemudi online menolak subsidi BBM dicabut karena akan berdampak pada naiknya harga-harga dan otomatis akan mengurangi orang untuk menggunakan jasa transportasi online.
Pemberian BLT bagi kami juga sudah terlambat karena harga barang kebutuhan rakyat sudah terlanjur melambung. Dan, berdasarkan pengalaman dua tahun lalu, kami hanya mendapat janji manis akan diberikan BLT BBM. Tapi nyatanya kami tidak mendapatkan apa-apa dan sepertinya negara tidak hadir di negeri ini.
Jadi persoalannya bukan soal kendaraan ini milik pengemudi atau platform. Tapi pemerintah harus membuat regulasi yang berpihak pada rakyat, bukan mencabut subsidi. Terkait dengan kepastian pendapatan yang manusiawi, kami juga menuntut segera diterbitkan Permenaker yang melindungi pekerja platform dan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan mengakui kami sebagai pekerja tetap.